Ancaman bagi Orang yang
Menyamakan Jual Beli dengan Riba
Banyak orang yang beranggapan bahwa ekonomi yang
dibangun di atas landasan sistem ekonomi syariah adalah sama dengan sistem
ekonomi riba. Padahal keduanya jauh berbeda dalam pelaksanaannya. Ekonomi
syariah klasik dibangun di atas landasan “halalnya jual beli dan mengambil
keuntungan”. Sementara ekonomi ribawi dibangun di atas fondasi “anda juga harus
memberikan keuntungan pada saya yang telah berjasa memberimu pertolongan.”
Konsep ekonomi syariah modern dibangun di atas landasan “saya dan anda
sama-sama berhak mendapatkan keuntungan.” Setidaknya ketiga konsep ini yang
untuk sementara waktu kita catat sebagai satu sisi kajian.
Masih bergelut pada penafsiran Syeikh Abu
Ja’far at-Thabari tentang riba, kali ini kita akan mengupas kelanjutan ayat
dari Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 275, yang berbunyi:
ذَٰلِكَ
بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: “Demikian itu (orang yang kelak akan
dibangkitkan dari kubur seperti orang gila), adalah disebabkan sesungguhnya
dulu mereka telah berkata bahwa jual beli adalah sama dengan riba. Sementara
Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Ayat ini diturunkan dengan latar belakang
tradisi masyarakat jahiliyah pada waktu itu yang apabila melepaskan harta yang
menjadi haknya kepada orang yang berutang, lalu terjadi penundaan pembayaran
dari orang yang meminjam, maka si peminjam menyertainya dengan ucapan:
زدني
في الأجل وأزيدك في مالك
Artinya: “Beri aku tempo lagi, nanti aku beri
(konsekuensi penundaan) berupa tambahan lagi kembaliannyakepadamu”(Abu Ja’fa
Al-Thabary, Jâmi’u al-Bayân ‘an Ta’wili ayi al-Qur’ân, Kairo, Daru Hijr,
2001, Juz 5, halaman 38)
Awal prosesnya terjadinya transaksi jual beli
yang disertai tambahan keuntungan. Namun seiring perjalanan waktu saat
pelunasan, ternyata pihak yang berutang belum bisa melunasinya. Akhirnya, pihak
yang berutang menyampaikan ucapan seperti di atas. Ketika keduanya ditegur,
bahwa apa yang mereka lakukan adalah riba dan tidak halal, lalu mereka
mengatakan:
إِنَّمَا
الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
Artinya: “Sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba” (QS. Al-Baqarah: 275)
Maksud mereka dengan perkataan ini adalah
bahwa konsekuensi tambahan karena faktor penundaan adalah dianggap sah-sah
saja. Mereka beralasan bahwa mau disampaikan di awal transaksi jual beli atau
disampaikan di akhir masa pelunasan, konsekuensi penundaan tersebut adalah sama
saja.
Padahal, menurut syariat, kedua hal ini
adalah berbeda. Jika disampaikan di awal transaksi jual beli, maka ini adalah
keuntungan dan hukumnya adalah halal. Jika disampaikan di akhir masa jatuh
tempo pelunasan—yang diakibatkan adanya penundaan lagi – maka ini tidak sah dan
masuk kategori riba. Oleh karena itu, Allah subhanahu wata’ala membantah
dengan kelanjutan ayat:
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: “Allah menghalalkan jual beli, dan
mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Maksud dari ayat ini, sebagaimana disampaikan
oleh at-Thabari adalah:
وأحلّ
الله الأرباح في التجارة والشراء والبيع "وحرّم الربا" يعني الزيادةَ
التي يزاد رب المال بسبب زيادته غريمه في الأجل، وتأخيره دَيْنه عليه
Artinya: “Allah menghalalkan keuntungan dalam
niaga dan jual beli, dan mengharamkan riba, yakni tambahan yang ditambahkan ke
pemilik asal harta (rabbu al-maal) disebabkan adanya tambahan waktu penundaan
tempo pembayaran orang yang berutang kepadanya, atau penundaan pelunasan
utangnya.” (Abu Ja’fa Al-Thabary, Jâmi’u al-Bayân ‘an Ta’wili ayi al-Qur’ân,
Kairo: Daru Hijr, 2001, Juz 5, halaman 38)
Maksud dari ayat adalah bahwa jual beli
dengan tempo itu boleh-boleh saja dan halal. Yang tidak halal adalah apabila
terjadi penundaan, kemudian dilakukan adanya penambahan harta sebagai
konsekuensi dari penundaan tersebut. Tentu dalam hal ini, sifat dari tambahan
antara proses jual beli dan riba adalah jauh berbeda dari segi dampaknya. Oleh
karena itu, menurut at-Thabari, seolah dalam ayat ini, Allah berfirman:
فليست
الزيادتان اللتان إحداهما من وَجه البيع،والأخرى من وجه تأخير المال والزيادة في
الأجل، سواء. وذلك أنِّي حرّمت إحدى الزيادتين = وهي التي من وجه تأخير المال
والزيادة في الأجل = وأحللتُ الأخرى منهما، وهي التي من وجه الزيادة على رأس المال
الذي ابتاع به البائع سلعته التي يبيعها، فيستفضلُ فَضْلها
Artinya: “Tiada antara dua tambahan yang
salah satunya diperoleh dari jalan jual beli dan yang lain dari akibat
penundaan utang dan konsekuensi tempo adalah sama. Salah satu dari kedua
tambahan ini Aku haramkan, yaitu yang berasal dari akibat penundaan utang dan
konsekuensi tempo (denda). Namun Aku menghalalkan yang lain yang diperoleh dari
tambahan terhadap “harga pokok” (ra’sul mâl) dagangan yang dijual oleh penjual,
lalu ia mengambil kelebihannya.” (Abu Ja’fa Al-Thabary, Jâmi’u al-Bayân ‘an
Ta’wili ayi al-Qur’ân, Kairo: Daru Hijr, 2001, juz 5, halaman 38)
Yang dimaksud sebagai kelebihan dari harga
pokok adalah keuntungan hasil jual beli. Yang dimaksud sebagai harga pokok
barang adalah “harga dasar” saat penjual membelinya dari pasar
tengkulak/grosir. Keuntungan penjualan yang dihalalkan adalah diperoleh dengan
jalan menaikkan harga lalu dijual ke konsumen. Selisih antara harga pokok
dengan harga jual adalah besar nilai keuntungan. Baik dijual secara kontan atau
kredit, keduanya adalah sah dan halal, asalkan ada ketentuan yang jelas dalam
aqad di awal sebelum berpisah majelis. Misalnya pembeli memutuskan membeli
secara kredit. Atau misalnya, pembeli memutuskan secara kontan. Yang tidak
boleh adalah apabila pembeli dan penjual tidak memutuskan cara belinya, dengan
kontankah, atau dengan cara kreditkah. Ini yang dilarang.
Sementara itu, kelebihan yang didapat dari
riba, adalah berbasis waktu tunda dan denda (الزيادة
في الأجل). Misalnya, karena
seorang pembeli tidak bisa melunasi pada waktu yang telah disepakati, maka ia
dikenai kompensasi (denda) akibat penundaan waktu pembayaran. Transaksi seperti
ini yang diindikasikan sebagai riba.
Kesimpulan dari tulisan ini adalah, bahwa
keuntungan yang diperoleh dari hasil jual beli adalah tidak sama dengan
tambahan yang ditetapkan dengan cara riba, semisal lewat denda. Kembali pada
pokok ayat bahwa lewat QS al-Baqarah 275 ini, Allah subhanahu wata’ala
menghalalkan jual beli, yang berarti menghalalkan pula dalam mengambil untung
dari hasil jual beli. Sementara itu, Allah mengharamkan riba yang berarti pula
mengharamkan mengambil kompensasi tambahan akibat penundaan waktu pelunasan
(denda).
Kedudukan orang menyamakan keuntungan jual
beli dengan kompensasi denda pelunasan, atau menyamakan jual beli dengan riba,
sama dengan orang yang kelak akan dibangkitkan dari
kubur dalam kondisi gila, sebagaimana permulaan Al-Qur’an Surat
al-Baqarah ayat 275 ini. Oleh karena itu, marilah kita terus dan terus belajar
mu’amalah agar tidak terjebak di dalam kajian lain yang tanpa landasan dasar
pendapat ulama salaf sehingga berani mengharamkan transaksi murabahah ekonomi
syariah! Semoga bermanfaat!
Wallahu A’lam. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar