Integrasi
Nasional dalam Taruhan (3)
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Sikap
serupa ditunjukkan Bung Hatta sebelumnya, saat perbedaan pandangannya dengan
Bung Karno sudah makin tajam, tidak bisa didamaikan lagi. Bung Hatta sama
sekali tidak melakukan perlawanan, demi integrasi nasional agar tetap utuh.
Sekalipun tidak setuju dengan sistem Demokrasi Terpimpin (1959-1966) ciptaan
Bung Karno, yang dinilainya telah melanggar prinsip demokrasi, Bung Hatta dalam
artikel Demokrasi Kita (pertama kali dimuat dalam majalah Panji Masyarakat, 22
Mei 1960), menulis:
Sebab itu
pula sistem yang dilahirkan Soekarno itu tidak akan lebih panjang umurnya dari
Soekarno sendiri. Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi,
sistemnya itu akan roboh dengan sendirinya seperti satu rumah dari kartu ....
Bagi saya yang lama bertengkar dengan Soekarno tentang bentuk dan susunan
pemerintahan yang efisien, ada baiknya diberikan fair chance dalam waktu yang
layak kepada Presiden Soekarno untuk mengalami sendiri, apakah sistemnya itu
akan menjadi suatu sukses atau suatu kegagalan. (Lih. Emil Salim (Ketua Dewan
Redaksi) dkk, Karya Lengkap Bung Hatta, Kemerdekaan dan Demokrasi, Buku
2.Jakarta: LP3ES, 2000, hlm. 432- 433).
Demikianlah
cara Bung Hatta menyampaikan perbedaan pendapatnya. Sekalipun kritik tersebut
tajam sekali, nada hujatan yang kasar dan penuh kebencian amat jauh dari
bangunan kepribadian Bung Hatta. Perbedaan pandangannya dengan Bung Karno tidak
pernah merusak hubungan pribadi kedua pemimpin bangsa itu.
Saat Bung
Karno sedang bergumul dengan maut, Bung Hatta menjenguknya. Air mata kedua
sahabat itu sama-sama berjatuhan! Masih banyak warisan lain yang ditinggalkan
oleh para pendiri bangsa.
Perbedaan
sikap dan pandangan politik tetap berada dalam kawalan akal sehat, dijaga agar
tidak sampai melemahkan rajutan integrasi nasional. Kesadaran tentang utamanya
keutuhan dan per satuan bangsa tidak pernah hilang di hati dan otak para
pendiri bangsa itu. Lain halnya dengan fenomena konflik politik dalam proses
pemilu sejak lima tahun terakhir yang menunjukkan suatu yang baru, ganjil, dan
meresahkan, sebagaimana yang akan dibicarakan berikut ini.
Berawal
dari tuduhan terhadap Ahok sebagai penghina Alquran dan ulama dalam proses
Pilkada DKI Jakarta 2016, diikuti demo besar 212 akhir tahun itu, panggung
politik Indonesia terlihat aneh, bahkan menakutkan. Penggunaan medsos secara
bebas tak terkendali oleh mereka yang tunatanggung jawab makin membawa situasi
politik ke tingkat ketegangan tinggi. Akibatnya masalah integrasi nasional
dirasakan makin rentan, bahkan berada dalam sebuah taruhan yang sarat tanda
tanya besar, suatu keadaan yang dihindari oleh para pendiri bangsa.
Politisasi
agama (Islam) digunakan secara masif tanpa kendali moral dan nalar sehat.
Situasi semacam ini tetap dipelihara dalam pilpres dan pileg April 2019.
Masjid, mushalla, dan tempat- tempat pertemuan lain telah digunakan untuk
menguatkan politik identitas yang merusak ini. Polarisasi masyarakat dirasakan
di tingkat akar rumput sampai menjangkau dusun-dusun yang tersuruk.
Aktor-aktor
yang terlibat dalam politik identitas ini berasal dari berbagai latar belakang
kepentingan yang tumpang- tindih. Kolaborasi semu mereka terbentuk dengan
tujuan tunggal: mengalahkan lawan politik mereka yang dinilai telah
mengkhianati bangsa.
Bagi
saya, perbedaan pilihan dalam sistem demokrasi adalah lumrah belaka. Tidak ada
yang perlu dikhawatirkan.
Namun, yang
terasa aneh dan ajaib adalah kenyataan adanya cara menempatkan seorang calon
sebagai mewakili politik Islam tanpa tersedianya sama sekali rekam jejak untuk
mendukung klaim semacam itu.
Sedangkan,
calon lain dikategorikan sebagai kutup anti-Islam dengan fakta yang direkayasa.
Hasil Pilpres 2019 dengan telanjang menunjukkan bahwa kedua calon itu punya
pendukung yang kuat menurut garis etnisitas yang berbeda, sekalipun terdapat
perbedaan suara yang cukup tinggi.
Jika
ditempatkan dalam lensa integrasi nasional, tidak ada pilihan lain yang mulia
bagi kedua calon yang sama-sama nasionalis itu kecuali berangkulan kembali
dengan mengarusutamakan kepentingan yang lebih besar: hari depan bangsa dan
negara Indonesia.
Semua
pihak perlu menyadari bahwa rapuhnya kohesi sosial kita juga tidak lepas dari
pengaruh dan penyusupan ideologi impor yang berasal dari kawasan lain yang
sedang dikoyak oleh perang saudara. Anehnya ideologi itu punya pembeli di
Indonesia karena berlindung di balik dalil-dalil agama yang terlepas dari
maknanya yang benar dan autentik.
Islam
sering ditelikung dan disandera oleh kelakuan elitenya yang kalah, kalap,
tetapi haus kekuasaan. Pilar-pilar integrasi nasional Indonesia harus
dibebaskan dari segala bentuk ideologi impor yang menghancurkan ini! []
REPUBLIKA,
23 Juli 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar