Muhammadiyah-NU;
Nobel Perdamaian (3)
Oleh:
Azyumardi Azra
Seminar
roadshow untuk sosialisasi pencalonan Muhammadiyah-NU mendapatkan Hadiah Nobel
Perdamaian 2019 diselenggarakan di jantung Komite Nobel, Oslo, Norwegia (20/6).
Seminar bertajuk “Challenging Islamic Extremism in Indonesia” diselenggarakan
atas prakarsa Dubes Todung Mulya Lubis/KBRI (bekerja sama dengan CSIS Jakarta)
dan Peace Research Institute Oslo (PRIO).
Seminar
menghadirkan pembicara kunci Pastor Profesor Franz Magnis-Suseno, Yenni Wahid,
dan penulis “Resonansi” ini. Tampil dua peneliti senior PRIO: Marte Nielsen dan
Trond Bakkevig. Selain itu, juga ada Philip Vermonte, direktur CSIS; Rikard
Bagun (jurnalis senior harian Kompas); dan Nezar Patria (pemred harian the
Jakarta Post).
Seminar
dipimpin Henrik Urdal, direktur Peace Research Institute Oslo (PRIO).
Yang
menarik, PRIO membuat “Henrik Urdal’s 2019 Nobel Prize Shortlist”. Memang,
dalam daftar pendek Henrik Urdal untuk ketiga kali sejak dia menjadi direktur
pada 2017 ini belum ada nama Muhammadiyah dan NU. Namun, PRIO menyusun daftar
kandidat penerima Hadiah Nobel Perdamaian, yang termasuk Muhammadiyah dan NU.
Memimpin
langsung seminar mengenai peran kedua ormas ini dalam menghadapi ekstremisme
dan radikalisme, Henrik Urdal dapat mengetahui lebih banyak tentang
Muhammadiyah dan NU. Dengan begitu, ormas Islam Indonesia ini diharapkan dapat
masuk ke dalam “Daftar Singkat [Kandidat] Hadiah Nobel 2019”.
Pembicaraan
Romo Magnis yang tampil sebagai pembicara pertama sudah dijelaskan dalam
“Resonansi” lalu. Tanpa mengulangi, yang paling penting adalah Romo Magnis
mendukung sepenuhnya pencalonan Muhammadiyah-NU untuk mendapatkan Hadiah Nobel
Perdamaian 2019.
Bertajuk
“Islamic Extremism”, seluruh pembicara lebih banyak bicara tentang kiprah
penting Muhammadiyah dan NU sebagai Islamic-based civil society dalam membangun
dan mempertahankan perdamaian. Peran ini telah dimainkan sejak masa kolonial,
berlanjut di masa kemerdekaan dengan berbagai gejolak perubahan sampai masa
sekarang yang tengah berjalan.
Tampil
setelah Franz Magniz-Suseno, penulis “Resonansi” ini (Azra) memulai pembicaraan
dengan “mengonter” pernyataan Dubes Todung Mulya Lubis dalam pembukaan seminar.
Dubes merasa cemas dengan masa depan Indonesia menghadapi tendensi radikalisme
dan intoleransi yang kelihatan terus meningkat.
“Jangan-jangan
Indonesia nanti tinggal nama,” kata dia. Untuk itu, Dubes Mulya Lubis melihat
urgensi penguatan moderasi Islam, khususnya lewat Muhammadiyah dan NU yang
merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia.
Menurut
penulis “Resonansi” ini, pesimisme tentang bertahannya Indonesia yang bersatu
bukan baru. “Sejak menjelang berakhirnya Perang Dunia II, sudah ada sarjana
Inggris, JS Furnival, yang meramalkan, jika kolonial Belanda tidak kembali
berkuasa, Indonesia akan pecah berkeping—karena menurut dia tidak ada faktor yang
mempersatukan negeri ini.”
Ramalan
gelap Furnival, alhamdulillah, tidak menjadi kenyataan. Tetapi, skenario gelap
itu tetap saja muncul dari waktu ke waktu, khususnya pada saat krisis politik.
Contohnya ketika Indonesia mengalami gelombang demokrasi berikutan dengan
krisis moneter, ekonomi, dan politik 1997-1998.
“Banyak
kalangan ahli dan pengamat asing yang bicara tentang Balkanisasi Indonesia,
yaitu terpecahnya Indonesia seperti Uni Soviet, Yugoslavia, dan
Cekoslovakia—negara-negara di Semenanjung Balkan, Eropa Timur.”
Sekali
lagi, Indonesia terhindar dari skenario menyeramkan tersebut. Kenyataan ini
tidak terlepas dari corak masyarakat Indonesia yang beragam, tetapi dengan
moderasi Islam sebagai agama yang dipeluk mayoritas penduduk. “Sikap akomodatif
dan inklusif moderasi Islam membuat Indonesia yang sangat plural terus bisa
bertahan.”
“Lebih
jauh, meski masih saja ada pihak yang mengkhawatirkan Indonesia pecah di masa
depan, saya tetap optimistis selama kita bisa menjaga Pancasila. Saya yakin Muhammadiyah
dan NU adalah guardian Pancasila dan nilai kebangsaan lain. Keduanya berperan
besar dalam menjaga kohesi sosial dalam transisi damai menuju demokrasi. Seusai
pemilu demokratis 1999, Gus Dur yang ketua umum PBNU menjadi presiden dan Amien
Rais, ketua umum PP Muhammadiyah, menjadi ketua MPR RI.”
Sedangkan,
Yenny Wahid, pendiri The Wahid Foundation, sebagai pembicara terakhir
menekankan pentingnya NU dan Muhammadiyah untuk kembali menjadi aktor utama
dalam melakukan kontra-narasi dan kontra-identitas, bukan hanya terhadap gejala
radikalisme yang meningkat, tetapi juga terhadap penyebaran hoaxes dan fake
news dalam media sosial.
“NU dan
Muhammadiyah perlu terus bersuara lantang melawan tantangan intoleransi,
ekstremisme, dan radikalisme. Tantangan ini tidak ringan dan sederhana. Oleh
karena itu, NU dan Muhammadiyah perlu dukungan kerja lapangan lintas agama dan
kelompok sosial untuk menjaga kerukunan, persaudaraan, dan perdamaian bangsa
Indonesia.” []
REPUBLIKA,
11 Juli 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar