Penjelasan Umum tentang
Kafarat, Fidyah, dan Dam (2)
Secara bahasa, kaffârah (Arab)—sebagian kita
mengenalnya dengan istilah kifârah atau kifarat—berasal dari kata kafran yang
berarti ‘menutupi’. Maksud ‘menutupi’ di sana adalah menutupi dosa.
Makna itu kemudian dipergunakan untuk makna
lain, bahkan untuk makna yang berseberangan, termasuk makna perbuatan yang tak
sengaja, seperti kesalahan dalam membunuh, sebagaimana dikemukakan dalam
Tahrîru Alfâzhit Tanbîh karya An-Nawawi (wafat 676 H) [Damaskus, Darul Qalam:
1408 H], cetakan pertama, jilid I, halaman 125).
Tetapi pada kesempatan kali ini, kami akan
meneruskan penjelasan kami mengenai kafarat yang sampai pada jenis kedua.
Kedua, kafarat hubungan badan siang hari di
bulan Ramadhan. Adapun urutan kifaratnya sebagaimana kafarat zhihar,
yakni memerdekakan hamba sahaya perempuan yang beriman, berpuasa selama
dua bulan berturut-turut atau memberi makanan kepada 60 orang miskin,
masing-masing sebanyak satu mud.
Kifarat di atas berdasarkan hadis Abu
Hurairah. Disebutkannya, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw.
lantas berkata, “Celakalah aku! Aku mencampuri istriku (siang hari) di bulan
Ramadhan. Ia bersabda, “Merdekakanlah seorang hamba sahaya perempuan.” Dijawab
oleh laki-laki itu, “Aku tidak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berpuasalah
selama dua bulan berturut-turut.” Dijawab lagi oleh laki-laki itu, “Aku tak
mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berikanlah makanan kepada enam puluh orang
miskin,” (HR Al-Bukhari).
يجب
مع القضاء للصوم الكفارة العظمى والتعزير على من أفسد صومه في رمضان يوما كاملا
بجماع تام آثم به للصوم
Artinya, “Selain qadha, juga wajib kifarah
‘uzhma disertai ta‘zir bagi orang yang merusak puasanya di bulan Ramadhan
sehari penuh dengan senggama yang sesungguhnya dan dengan senggama itu
pelakunya berdosa karena puasanya.” (Lihat Syekh Salim bin Sumair Al-Hadhrami,
Safînatun Najâ, [Tanpa keterangan kota, Darul Ihya: tanpa tahun], cetakan
pertama, halaman 112).
Ketiga, kafarat pembunuhan. Maksud pembunuhan
di sini adalah pembunuhan yang tidak disengaja. Sebab, pembunuhan yang
disengaja tidak ada kafarat di dalamnya, yang ada hanya qisas atau diyat tunai
yang ditanggung si pembunuh, jika tidak dibebaskan oleh keluarga terbunuh.
Adapun kafarat pembunuhan yang tak disengaja—di saamping membayar diat—adalah
memerdekakan seorang budak perempuan mukmin. Jika tidak mampu, maka kafaratnya
adalah berpuasa selama dua bulan berturut-turut, berdasarkan ayat
berikut:
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh
seorang mukmin (yang lain), kecuali karena kesalahan (tak sengaja), dan
barangsiapa yang membunuh seorang mukmin karena kesalahan (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada
perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta
memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya,
maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk
penerimaan taubat dari pada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana, (Q.S. al-Nisa’ [4]: 92).
Keempat, kifarat yamin. Yamin itu berarti
‘sumpah’. Sehingga, maksud kafarat yamin adalah kafarat sumpah. Ia dilakukan
karena melanggar sumpah atau menyampaikan sumpah palsu. Contohnya seseorang
bersumpah, “Demi Allah, aku tidak akan masuk lagi ke rumah si anu.” Kemudian,
ia memasukinya, maka wajiblah ia menjalankan kifarat. Atau seseorang
mengatakan, “Demi Allah, aku tidak mengambil barangmu,” padahal dia
mengambilnya. Termasuk ke dalam sumpah ini adalah sumpah untuk meninggalkan kebaikan,
seperti, “Demi Allah, aku tidak akan membantu anak yatim.” Maka sumpah itu
harus dilanggarnya dan dibayar kafaratnya.
Adapun bentuk kafaratnya adalah memberi
makanan kepada sepuluh orang miskin, memberi pakaian kepada mereka,
memerdekakan budak, atau berpuasa selama tiga hari. Hanya saja, kafarat ini
bersifat pilihan. Artinya, boleh dipilih sesuai dengan kemampuan dan
keinginan.
Perihal kafarat ini, Allah telah
menjelaskannya dalam Al-Quran, Allah tidak menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar)
sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian,
maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat
sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu.
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur
(kepada-Nya), (Surat Al-Ma’idah ayat 89).
Sebagaimana kafarat yang lain, kafarat ini
berlaku secara akumulatif. Artinya, ketika seseorang melakukan sumpah palsu
sebanyak 5 kali, maka 5 kali pula kifarat yang harus dijalankannya.
Termasuk ke dalam kafarat yamin ini adalah
kafarat ‘ila. Walau dari segi praktik, ila sama dengan zhihar sebagai salah
satu cara menceraikan istri pada zaman Jahiliah. Tetapi dari segi pelanggaran,
ia termasuk ke dalam kafarat yamin. Sebab, ila sendiri tak lain adalah
sumpah. Contohnya, “Aku bersumpah tidak akan mencampuri istri.” Dengan sumpah
ini jelas istrinya menderita, karena tidak dicampuri, tidak pula diceraikan.
Suami yang meng-ila istrinya setelah 4 bulan harus memilih antara kembali
mencampuri isterinya dengan membayar kafarat sumpah atau
menceraikan.
Kelima, kafarat haji. Sesungguhnya penggunaan
istilah kafarat dalam ibadah haji lebih dikenal karena pelanggaran bersenggama
sebelum tahalul pertama. Kafaratnya adalah menyembelih unta atau sapi dengan
konsekuensi hajinya batal. Sedangkan kafarat atas pelanggaran lainnya lebih
dikenal dengan istilah dam atau fidyah, dengan rincian:
Jika melanggar larangan ihram, seperti
mencukur atau mencabur rambut, memotong kuku, memakai pakaian yang dijahit bagi
laki-laki, memakai cadar atau sarung tangan bagi perempuan, memakai wewangian,
maka fidyah atau damnya adalah memilih salah satu di antara: berpuasa tiga
hari, bersedekah setengah sha‘ atau dua mud, atau menyembelih kambing.
Jika melanggar larangan membunuh hewan
buruan, maka fidyah atau damnya adalah menyembelih hewan yang sebanding dengan
yang diburu, bersedekah kepada fakir miskin senilai hewan yang diburu, atau
berpuasa.
Kemudian, jika pelanggaran bersenggama
terjadi setelah tahalul pertama, maka hajinya tidak batal dan wajib membayar
dam satu ekor unta atau sapi. Sedangkan jika pelanggaran senggamanya setelah
tahalul kedua, maka damnya hanya berupa seekor kambing.
Kemudian, jika seseorang tidak ihram dari
miqat dan tidak pula kembali ke salah satu miqat, maka damnya adalah satu ekor
kambing, atau berpuasa selama 10 hari: tiga hari pada masa haji, tujuh hari di
luar luar masa haji.
Demikianlah gambaran umum tentang kafarat,
fidyah, dan dam. Semoga bermanfaat. Wallahu ‘alam. []
(Selesai…)
Ustadz M Tatam Wijaya, Pengasuh Majelis
Taklim Syubbanul Muttaqin Jayagiri, Sukanegara, Cianjur, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar