Palestina versus Arab Saudi
Oleh: Zuhairi Misrawi
Beberapa hari ini beredar luas sebuah video warga Arab Saudi yang
diolok-olok oleh warga Palestina yang sedang berziarah ke Masjid al-Aqsha di
Jerusalem. Kata-kata kasar bernuansa ujaran kebencian terlontar, yang dapat
menggambarkan situasi kebatinan Palestina secara umum terhadap Arab Saudi saat
ini. Apa yang sebenarnya terjadi?
Sejak Donald Trump naik ke tampuk kekuasaan sebagai orang nomor wahid, siap Arab Saudi terhadap solusi masa depan Palestina cenderung mengikuti narasi yang sedang dibangun oleh AS dan Israel. Dimulai dengan langkah AS memindahkan Kedutaan Besar dari Tel Aviv ke Jerusalem hingga munculnya skenario gila yang sedang dipersiapkan oleh Jared Kushner perihal solusi "satu negara".
Dalam beberapa tahun terakhir tidak ada sikap keras Arab Saudi terhadap Israel dan AS. Alih-alih bersikap keras, Arab Saudi ditengarai justru bermain mata dengan AS dan Israel untuk menghadang terwujudnya kemerdekaan Palestina. Manuver Kushner dalam pertemuan terakhir di Bahrain dengan menawarkan solusi ekonomi dengan cara menggelontorkan bantuan 5 miliar dolar AS untuk pembangunan infrastruktur dan kawasan ekonomi.
Semua tahu, bahwa otak dan penyokong utama di balik manuver Kushner adalah Muhammad bin Salman, sang Putera Mahkota Arab Saudi. AS, Israel, dan Arab Saudi bersatu dalam cinta segitiga untuk melawan dan menghambat pengaruh Iran di Timur-Tengah, bahkan mungkin Dunia Islam. Arab Saudi ingin melakukan apa saja, asalkan Iran semakin kecil pengaruh.
Namun, sayang seribu sayang, langkah Arab Saudi tersebut bisa berdampak negatif bagi Palestina. Tak ayal, Palestina tidak hadir dalam pertemuan mutakhir di Bahrain yang digadang-gadang sebagai solusi terbesar abad ini. Bukan hanya itu, semua faksi politik Palestina berada dalam satu barisan menolak rencana yang diusung oleh Arab Saudi, Israel, dan AS. Intinya, solusi ekonomi bukan menjadi prioritas bagi Palestina saat ini.
Secara implisit Palestina ingin menegaskan bahwa mereka akan mudah menggalang ekonomi untuk membangun Palestina jika mereka sudah mendapatkan kepastian perihal pengakuan Israel dan AS terhadap kemerdekaan Palestina. Palestina akan bersatu dan saling bahu-membahu membangun ekonomi dan infrastruktur jika mereka sudah dapat mewujudkan mimpi untuk merdeka dan berdaulat secara politik.
Palestina sadar betul bahwa iming-iming yang ditawarkan AS dan Israel yang disokong sepenuhnya oleh Arab Saudi telah melukai warga Palestina, bahkan menyebabkan orang-orang Palestina kecewa bahkan muak. Bahkan yang terburuk, Arab Saudi harus menelan akibat yang tidak menguntungkan bagi mereka, karena orang-orang Palestina makin tidak percaya terhadap inisiatif dan manuver yang dilakukan oleh AS.
Di masa lalu, Arab Saudi masih mendapatkan kepercayaan dari Faksi Fatah yang berkuasa penuh atas Palestina. Tapi langkah-langkah politik yang dilakukan Arab Saudi dengan intens membangun aliansi dengan Israel dan AS telah mengubur harapan warga Palestina untuk merdeka. Singkatnya, langkah yang dilakukan Arab Saudi semakin menyulitkan upaya serius untuk membumikan solusi dua negara. Padahal kemerdekaan Palestina tinggal menunggu kelapangdadaan AS dan Israel. Mestinya Arab Saudi dapat merayu dan meyakinkan keduanya untuk mewujudkan kemerdekaan Palestina.
Namun, harapan warga Palestina itu jauh api dari panggang. Karenanya, tidak aneh jika warga Palestina tidak percaya, bahkan kecewa terhadap Arab Saudi. Mereka akan mencatat dan mencerna dengan serius manuver AS dan Israel. Dan mereka tidak akan mudah menyerah pada rayuan gombal Arab Saudi dengan iming-iming fulus setinggi langit itu.
Dalam hal ini, Arab Saudi sejatinya dapat memahami urgensi kemerdekaan Palestina daripada hanya mengikuti desain dan narasi politik AS dan Israel. Sebab semakin lama Palestina berada dalam ketidakpastian atau bahkan dinegasikan dalam peta perundingan, maka dampaknya akan sangat besar bagi stabilitas politik di Timur-Tengah. Apalagi isu Palestina selalu menjadi pemantik tumbuhnya ekstremisme dan radikalisme di berbagai penjuru dunia.
Dalam konteks ini, Arab Saudi mestinya memikirkan kepentingan yang lebih besar daripada sekadar membangun aliansi tuna-moral dengan AS dan Israel. Isu Palestina harus menjadi prioritas yang mesti dicarikan terobosan dan solusi bersama untuk menjadikan agenda kemerdekaan sebagai isu utama. Sebaliknya, solusi satu negara dan solusi ekonomi AS dan Israel harus dikubur hidup-hidup, karena solusi tersebut dapat melukai hati warga Palestina, bahkan dunia Islam.
Bahkan jika tidak hati-hati, Arab Saudi akan dimusuhi oleh dunia Islam. Memang, Arab Saudi bisa berdalih dapat mengambil hati para pemimpin dunia Islam, tetapi belum tentu mereka mampu merebut hati warga di belahan dunia Islam. Sebab manuver yang dilakukan Arab Saudi sangat terbuka dan menjijikkan karena bisa merugikan Palestina.
Apalagi bagi kami warga Indonesia, apapun agamanya, sejak tahun-tahun awal kemerdekaan hingga saat ini, kami memberikan perhatian yang serius terhadap kemerdekaan Palestina. Dari Presiden Sukarno hingga Jokowi, Indonesia tidak pernah berubah menyuarakan pentingnya kemerdekaan Palestina. Bahkan di saat negara-negara OKI terbelah karena setiap negara mempunyai kepentingan dalam negeri masing-masing, Indonesia kokoh pada sikapnya untuk menyuarakan kemerdekaan Palestina dan mengedepankan solus perdamaian. Bahkan, Indonesia secara khusus menyusun program peningkatan kapasitas birokrasi, pembangunan rumah sakit, dan pemberian beasiswa bagi warga Palestina.
Jadi, Arab Saudi mestinya peka dan menggunakan mata batin perihal kemerdekaan Palestina. Mereka harus mengutamakan kemaslahatan Palestina dan mimpi seluruh umat di muka bumi. Penjajahan Israel terhadap Palestina yang disokong sepenuhnya oleh AS harus diakhiri. Dan Arab Saudi harus bersama dengan aspirasi dunia Islam dan warga Palestina.
Jika langkah tersebut yang diambil, maka Arab Saudi akan merebut kembali hati warga Palestina dan dunia Islam. Kekecewaan yang diluapkan oleh warga Palestina terhadap Arab Saudi akan berakhir. Dan saatnya Arab Saudi menunjukkan keberpihakan pada Palestina, bukan pada Israel dan AS. []
DETIK, 25 Juli 2019
Zuhairi Misrawi | Intelektual muda Nahdlatul Ulama,
analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar