Hukum Berfoto Selfie Ria di
Lokasi Bencana
Pertanyaan:
Assalamu alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, bencana
alam gempa dan tsunami melanda beberapa titik Indonesia belakangan ini. Banyak
orang mendatangi lokasi bencana untuk menyalurkan bantuan atau sekadar memantau
kondisi pasca-bencana. Tetapi ironisnya ada sejumlah orang yang berfoto ria
bersama atau sendiri (selfie/swafoto) di lokasi tersebut. Mohon penjelasan
agama untuk masalah ini? Wassalamu alaikum wr. wb.
Hadi – Bekasi
Jawaban:
Penanya yang budiman, semoga dirahmati Allah
SWT. Aktivitas berselfie ria di era media sosial ini tidak dapat dihindari.
Pada dasarnya, aktivitas berselfie ria merupakan hak pribadi yang dilindungi
undang-undang dan syariat Islam.
Adapun aktivitas berfoto selfie ria atau
membuat siaran langsung video dengan gembira di lokasi bencana yang masih dalam
penanganan atau pemulihan pasca-bencana sebaiknya dihindari. Pasalnya, dalam
situasi duka sebaiknya kita menunjukkan empati terhadap korban bencana dengan
menjauhi ekspresi kegembiraan di media sosial.
Dalam kondisi pasca-bencana, kita sebaiknya
menunjukkan empati dan solidaritas sosial serta berpartisipasi aktif bersama
elemen masyarakat lainnya dalam proses pemulihan korban setelah bencana
sebagaimana hadits Rasulullah SAW berikut ini.
إن
المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضا
Artinya, “Sungguh, hubungan orang yang
beriman satu sama lain layaknya sebuah bangunan, yang sebagiannya menguatkan
sebagian yang lain,” (HR Bukhari dan Muslim).
Suasana setelah bencana adalah suasana
dukacita. Empati terhadap korban bencana sebaiknya tidak ditunjukkan dengan
ekspresi yang biasa ditunjukkan dalam suasana sukacita. Ekspresi riang gembira
dalam foto selfie sebaiknya dihindari.
Perihal empati dalam suasana dukacita dan
solidaritas sosial ini dipesan oleh Rasulullah SAW sebagaimana dalam
riwayat Imam Muslim berikut ini:
قوله
(مثل المؤمنين)
الكاملين في الايمان (في توادهم) بشدة الدال مصدر توادد أي تحابب (وتراحمهم) أي
تلاطفهم (وتعاطفهم) أي عطف بعضهم على بعض (مثل الجسد) الواحد بالنسبة لجميع أعضائه وجه الشبه التوافق في التعب
والراحة (اذا اشتكى) أي مرض (منه عضو تداعى له سائر الجسد) أي باقيه (بالسهر) بفتح
الهاء ترك النوم لان الالم يمنع النوم (والحمى) لان فقد النوم يثيرها ولفظه خبر
ومعناه أمر أي كما ان الرجل اذا تألم بعض جسده سرى ذلك الالم الى جميع بدنه فكذا
المؤمنون ليكونوا كنفس واحدة اذا أصاب أحدهم مصيبة يغتم جميعهم ويقصدوا ازالتها
(حم م عن النعمان بن بشير) بل هو متفق عليه
Artinya, “Perkataan (Perumpamaan orang yang
beriman) dengan keimanan yang sempurna (dalam kasih sayang) mawadah (kerahiman)
belas kasih (kelembutan) satu sama lain (serupa dengan) satu (tubuh) dalam
kaitannya dengan seluruh anggota tubuh dalam hal keletihan dan kesenangan.
(Jika menderita) mengalami sakit (satu dari anggota tubuh itu, niscaya semua
anggota tubuh) angota tubuh lainnya (ikut merasakan derita dengan terjaga)
karena sakit menyebabkan seseorang sulit tidur (dan demam) karena kondisi
terjaga karena sakit dapat membuat seseorang demam. Meski lafalnya bersifat
informatif, makna hadits ini bersifat imperatif. Ketika seseorang menderita
sakit pada salah satu anggota tubuhnya, maka nyerinya menjalar ke seluruh
tubuh. Sama halnya dengan orang yang beriman. Mereka seharusnya seperti satu
jiwa. Bila musibah menimpa salah satu dari mereka, maka sisanya yang lain
merasa bimbang dan bergerak untuk mengatasinya. (riwayat Imam Muslim dari
An-Nu‘man bin Basyir) justru riwayat Bukhari dan Muslim,” (Lihat Al-Munawi,
At-Taysir bi Syarhil Jami‘is Shaghir, [Riyadh, Maktabah Al-Imam As-Syafi‘i:
1988 M/1408 H], juz II, halaman 722).
Dari keterangan ini, kita dapat menarik
simpulan bahwa aktivitas berfoto selfie ria di tengah suasana duka setelah
bencana berkaitan erat dengan adab, akhlak, dan moralitas. Sejauh ini,
aktivitas berfoto selfie ria dalam konvensi sosial hari ini dan di Indonesia
ini cenderung dipahami sebagai ekspresi kegembiraan yang tidak seharusnya
ditunjukkan dalam suasana duka.
Meski tidak bermaksud “menari” di atas
penderitaan orang lain, aktivitas semacam ini sebaiknya dihindari karena tidak
patut dilakukan dan tidak layak dilakukan oleh mereka yang beriman dengan
keimanan yang sempurna.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa
dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari
para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar