Integrasi
Nasional dalam Taruhan (I)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Salah
satu modal sosio-kultural yang teramat penting bagi kelanjutan hari depan
Indonesia adalah manakala terpelihara dan kokohnya rajutan integrasi nasional.
Masalah ini mesti selalu dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh dalam
menghadapi berbagai gejolak politik, ekonomi, dan sosial yang pernah, sedang,
dan akan terjadi dalam kehidupan bangsa ini.
Kita
tidak boleh menutup mata, pembentukan Indonesia sebagai bangsa belum final.
Masih dalam proses menjadi, belum stabil benar. Dimulai sejak 1920-an saat pelajar
dan mahasiswa dari berbagai suku sepakat merancang sebuah bangunan
keindonesiaan sebagai sebuah bangsa baru di kawasan khatulistiwa yang permai
dengan ribuan pulau dalam ukuran yang beragam.
Bukan
saja ribuan pulau yang dilingkari laut biru yang luasnya sekitar dua pertiga
dari keseluruhan wilayah Nusantara, etnisitas dan subkulturnya juga sangat kaya
dengan karakteristiknya yang khas masing-masing. Situasi ilmu bumi yang terberi
(given) seperti
ini telah menjadikan Indonesia sebagai sebuah benua maritim yang terluas di
muka bumi.
Berbeda
dengan daratan sahara Afrika yang tandus, sebagian besar bumi nusantara secara
teratur didatangi hujan pada bulan-bulan tertentu sepanjang tahun. Etnisitas
yang tebesar adalah suku Jawa dan Sunda, keduanya mendiami Pulau Jawa yang
makin sesak dan padat ini. Etnis-etnis lain menempati pulau-pulau di luar Jawa
yang jumlahnya ribuan itu.
Adalah
karena “jasa penjajahan” Belanda, etnis-etnis (bisa juga dalam bentuk
kerajaan-kerajaan) yang berserakan itu secara paksa ditundukkan, semula oleh
pasukan VOC (Kompeni Hindia Timur), kemudian diteruskan oleh Pemerintah Hindia
Belanda sejak 1799, saat VOC bangkrut karena korupsi. Maka Indonesia yang kita
kenal sekarang adalah warisan penjajahan Belanda itu.
Dari
sudut pandangan ini, saya termasuk yang tidak setuju Timor Timur diambil alih
oleh Indonesia merdeka karena wilayah itu sebelumnya bukan bagian dari jajahan
Hindia Timur Belanda. Dalam perspektif teori nasionalisme, pengambilalihan
Timor Timur itu, apa pun alasannya, Indonesia telah memasuki tahap nasionalisme
ekspansif, istilah lain dari imperialisme. Oleh sebab itu, lepasnya Timor Timur
dari Indonesia tidak perlu diratapi, sekalipun anggota TNI telah banyak gugur
di sana.
Masalah
integrasi nasional jangan dikaitkan dengan lepasnya Timor Timur yang memang
secara hukum internasional bukan milik kita. Wilayah ini adalah bekas jajahan
Portugis selama lebih dari 400 tahun. Akan lain kejadiannya jika yang
melepaskan diri itu adalah wilayah-wilayah yang dulu menjadi bagian dari Hindia
Timur Belanda.
Dalam
kategori ini termasuk munculnya gerakan-gerakan separatisme yang pernah
mengancam anyaman integrasi nasional pada era pasca-proklamasi 1945. Segala
corak ancaman ini dengan susah payah dan berdarah-darah telah dapat diatasi,
sekalipun luka-lukanya belum sembuh secara sempurna.
Selain
gerakan separatis yang berbahaya bagi integrasi nasional, bangsa ini juga
pernah diterpa oleh berbagai bentuk bentrokan sosio-etnis, seperti yang meledak
pada 1999 antara etnis Dayak dan Madura di Kalimantan Barat. Dalam skala yang
lebih kecil bentrokan serupa juga pernah terjadi di Lampung dan di
tempat-tempat lain.
Ledakan-ledakan
sosio-etnis ini harus dibaca dalam perspektif teori pembentukan bangsa
Indonesia yang belum final itu. Fenomena ini harus disikapi dengan sangat
hati-hati, arif, dan lapang dada. Semangat Sumpah Pemuda 1928 dengan triloginya
itu perlu disosialisasikan terus-menerus tanpa henti.
Namun,
itu belum cukup untuk menjaga integrasi nasional untuk jangka panjang. Syarat
lain yang terpokok adalah pelaksanaan kongkret sila ke-5 Pancasila: keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia itu meliputi seluruh
etnis yang tersebar di nusantara dengan tingkat sosial ekonomi yang belum
merata. Mereka ini wajib merasakan keadilan itu. Tidak ada satu etnis pun yang
boleh terlupakan dalam proses pemerataan pembangunan nasional.
Tantangan
pemerataan ini ini sungguh berat di tengah keragaman pulau dan etnisitas yang
jumlahnya sangat besar itu. Namun, inilah Indonesia yang juga terletak di
lingkaran cincin gunung api yang tidak kurang mengancamnya dalam bentuk bencana
alam. Kerusakan lingkungan alam yang makin parah sangat perlu pula mendapat
perhatian khusus dari negara dan masyarakat secara keseluruhan. []
REPUBLIKA,
09 Juli 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar