Memahami Makna Spekulasi
dalam Perjudian dan Pasar
Dalam Al-Qur’an telah disinggung bahwa judi
merupakan perbuatan kotor, ciri khas dari amaliah setan (QS. Al-Maidah: 90).
Judi sering dicirikan sebagai sebuah tindakan spekulatif menebak-nebak
keberadaan sesuatu yang berada di balik tirai. Bila sang penebak beruntung,
maka ia bisa mendapatkan ‘iwadl (‘ganti rugi/keuntungan’, red), dan bila ia
gagal, maka harta miliknya yang dipasang sebagai taruhan akan diambil oleh
pihak lain yang benar dalam menebak. Jadi, judi itu identik dengan taruhan dan
spekulasi.
Judi dalam sebuah perlombaan ditengarai
sebagai ajang taruhan antar-peserta lomba. Semua peserta lomba tanpa kecuali
mengumpulkan barang miliknya yang dipertaruhkan, kemudian dilakukan perlombaan,
dan pemenangnya berhak mengambil semua bagian yang dikumpulkan tadi sebagai
iwadl.
Unsur judi dalam lomba ini hilang, manakala
ada salah satu dari peserta lomba berperan sebagai muhallil. Muhallil adalah
pihak peserta lomba yang keberadaannya berlaku sebagai penyebab halalnya ‘iwadl
yang terkumpul. Dengan keberadaan muhallil ini, sifat maisir menjadi hilang dan
berubah menjadi musâbaqah (lomba adu cepat) dan munâdlalah (lomba adu
ketangkasan). Sementara ‘iwadl yang terkumpul kurang satu–karena muhallil tidak
ikut mengumpulkan–telah berubah kedudukannya menjadi hadiah dan bukan lagi
menjadi barang yang dipertaruhkan. Inilah sebagian dari ciri-ciri judi
itu.
Singkatnya, dalam setiap judi, terdapat
unsur:
1.
Adanya tindakan yang bersifat
spekulatif (untung-untungan)
2.
Adanya barang yang dipertaruhkan
dan
3.
Pihak yang benar dalam spekulasinya
menjadi pemenang (penerima untung) sementara pihak yang salah dalam spekulasi
akan berlaku sebagai pihak yang dikalahkan (merugi).
Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan
dalam perjudian. Tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Setiap
kasus perjudian, wajib memenuhi ketiga syarat di atas. Keluar satu syarat saja,
maka tidak bisa dinamakan judi (maisir) yang diharamkan.
Sekarang, mari kita bahas makna spekulasi
dalam pasar. Benarkah bahwa spekulasi pasar termasuk bagian dari perjudian
(gambling)?
Untuk memahami makna spekulasi pasar itu,
kita bawa pada ilustrasi yang memudahkan. Kita awali dari ilustrasi sederhana.
Tentu saudara ingat dengan sebuah jajanan anak kecil, yang berisi permen dan di
dalamnya tersimpan nomor undian, bukan? Bila beruntung maka ia bisa mendapat
hadiah di atasnya. Namun bila gagal, ia hanya mendapat permen dua butir yang
harganya tidak setara dengan uang untuk membelinya. Dulu jajanan ini banyak
tersebar di kios-kios kampung pengkaji berasal. Namun, akhir-akhir ini sudah
tidak begitu marak lagi seperti dulu. Jajanan ini oleh orang Jawa diistilahkan
dengan bahaa ngepris, yang asalnya dari kata price.
Jajanan dengan contoh di atas, adalah masuk
unsur spekulasi pasar kategori judi. Apa alasannya:
1. Pembeli tidak membeli permennya, melainkan
ia berorientasi pada hadiah yang menggiurkan dan terpajang di atasnya (terdapat
unsur taruhan).
2. Pembeli harus memilih pilihan yang masuk
kategori “untung-untungan” tanpa adanya “pengetahuan” sama sekali dengan nomor
yang tersimpan di antara permen itu (bai’ majhūl). Dengan bahasa lain, sambil
merem dan setengah ngantuk pun bisa (terdapat unsur spekulasi)
3. Kalau beruntung dapat nomor bagus, maka ia
beroleh hadiah, dan jika tidak beruntung, ya ia dapat permennya saja, atau
bahkan hanya nomornya saja (terdapat unsur adanya pihak yang dikalahkan dan
diambil hartanya)
Itulah salah satu contoh kasus spekulasi
pasar yang masuk unsur judi (maisir). Dasar ini bisa kita gunakan untuk
memahami prinsip maisir dalam pasar yang lain.
Kita beralih pada kasus spekulasi pasar yang
lain. Di tanah tempat kelahiran penulis, tepatnya Desa Siman, Kecamatan Kepung,
Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur, para petani memiliki pola dan gaya
bercocok tanam yang unik. Keunikannya adalah mereka memiliki sebuah firasat
harga barang di pasaran. Padahal, mayoritas hanyalah sebagai petani, dan
mengetahui harga pasar hasil pertaniannya kalau pas menepati waktu panen saja
atau berdasar informasi dari pedagang.
Pola bercocok tanam petani yang berdasar tren
informasi harga pasar dan tabiat harga hasil pertanian, telah mendidik warga
desa untuk arif dalam bercocok tanam. Misalnya, harga cabai merah umumnya naik
pada kisaran bulan Januari dan Februari. Pada waktu bulan Maret dan April,
bahkan sampai Mei, “seringnya” adalah harga cabai anjlok (turun). Lonjakan
harga cabai kembali terjadi manakala sudah memasuki bulan Juni, Juli dan
Agustus.
Tabiat harga pasar ini secara tidak langsung
mempengaruhi gaya bercocok tanam petani desa tersebut. Karena usia cabai siap
panen adalah minimal adalah 70-90 hari setelah tanam, maka pada kisaran bulan
Oktober, di akhir musim kemarau, petani ada yang sudah berani untuk memasukkan
bibit tanaman ke ladangnya. Padahal risikonya sangat besar, yaitu petani harus
setiap pagi dan sore menyirami bibit yang sudah dimasukkan ke ladang itu,
sementara tanah benar-benar dalam kondisi kering karena tidak ada air. Bisa
diibaratkan, rumput jalanan pun ikut kering. Jika petani melakukan hal ini, maka
setidaknya pada pertangahan atau akhir Januari, ia sudah bisa memetik buahnya
dengan harga yang jarang dijumpai meleset dari perkiraan.
Sepekulasi petani dalam menanam yang
berdasarkan “tren harga” pasar, sehingga berbuah pada “harga jual cabai” yang
mahal tepat pada “waktu panen,” tidak bisa disebut sebagai perjudian. Meskipun,
dasarnya adalah sama-sama berangkat dari makna sepekulasi (untung-untungan).
Adanya usaha yang dilakukan petani untuk merawat tanamannya, menjadi dasar
penghilang makna taruhan. Karena di dalam taruhan tersimpan unsur ketiadaan
juhdun (usaha/kerja). Tren pasar juga dimaknai sebagai tabiat pasar dan setara
kedudukannya dengan adat/tradisi yang dalam fiqih menempati kategori ‘urf
(kebiasaan berdasar pengetahuan).
Nah, berdasar uraian ini, penulis berharap
pembaca bisa membedakan, apa yang dimaksud dengan spekulasi dalam perjudian
yang dilarang oleh syara’ dengan spekulasi pasar yang berpatokan pada
adat/tradisi harga pasar. Dengan dasar pemahaman ini, kita tidak akan ragu lagi
untuk masuk pada level kajian “spekulasi pasar” yang sedikit lebih rumit. Dan
akhirnya, semoga bermanfaat! Wallahu a‘lam bish shawab. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Gresik,
Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar