Jumat, 19 Juli 2019

(Ngaji of the Day) Memahami Makna Spekulasi dalam Perjudian dan Pasar


Memahami Makna Spekulasi dalam Perjudian dan Pasar

Dalam Al-Qur’an telah disinggung bahwa judi merupakan perbuatan kotor, ciri khas dari amaliah setan (QS. Al-Maidah: 90). Judi sering dicirikan sebagai sebuah tindakan spekulatif menebak-nebak keberadaan sesuatu yang berada di balik tirai. Bila sang penebak beruntung, maka ia bisa mendapatkan ‘iwadl (‘ganti rugi/keuntungan’, red), dan bila ia gagal, maka harta miliknya yang dipasang sebagai taruhan akan diambil oleh pihak lain yang benar dalam menebak. Jadi, judi itu identik dengan taruhan dan spekulasi.

Judi dalam sebuah perlombaan ditengarai sebagai ajang taruhan antar-peserta lomba. Semua peserta lomba tanpa kecuali mengumpulkan barang miliknya yang dipertaruhkan, kemudian dilakukan perlombaan, dan pemenangnya berhak mengambil semua bagian yang dikumpulkan tadi sebagai iwadl.

Unsur judi dalam lomba ini hilang, manakala ada salah satu dari peserta lomba berperan sebagai muhallil. Muhallil adalah pihak peserta lomba yang keberadaannya berlaku sebagai penyebab halalnya ‘iwadl yang terkumpul. Dengan keberadaan muhallil ini, sifat maisir menjadi hilang dan berubah menjadi musâbaqah (lomba adu cepat) dan munâdlalah (lomba adu ketangkasan). Sementara ‘iwadl yang terkumpul kurang satu–karena muhallil tidak ikut mengumpulkan–telah berubah kedudukannya menjadi hadiah dan bukan lagi menjadi barang yang dipertaruhkan. Inilah sebagian dari ciri-ciri judi itu. 

Singkatnya, dalam setiap judi, terdapat unsur:
1.     Adanya tindakan yang bersifat spekulatif (untung-untungan)
2.     Adanya barang yang dipertaruhkan dan 
3.     Pihak yang benar dalam spekulasinya menjadi pemenang (penerima untung) sementara pihak yang salah dalam spekulasi akan berlaku sebagai pihak yang dikalahkan (merugi).

Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan dalam perjudian. Tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Setiap kasus perjudian, wajib memenuhi ketiga syarat di atas. Keluar satu syarat saja, maka tidak bisa dinamakan judi (maisir) yang diharamkan.

Sekarang, mari kita bahas makna spekulasi dalam pasar. Benarkah bahwa spekulasi pasar termasuk bagian dari perjudian (gambling)?

Untuk memahami makna spekulasi pasar itu, kita bawa pada ilustrasi yang memudahkan. Kita awali dari ilustrasi sederhana. Tentu saudara ingat dengan sebuah jajanan anak kecil, yang berisi permen dan di dalamnya tersimpan nomor undian, bukan? Bila beruntung maka ia bisa mendapat hadiah di atasnya. Namun bila gagal, ia hanya mendapat permen dua butir yang harganya tidak setara dengan uang untuk membelinya. Dulu jajanan ini banyak tersebar di kios-kios kampung pengkaji berasal. Namun, akhir-akhir ini sudah tidak begitu marak lagi seperti dulu. Jajanan ini oleh orang Jawa diistilahkan dengan bahaa ngepris, yang asalnya dari kata price.

Jajanan dengan contoh di atas, adalah masuk unsur spekulasi pasar kategori judi. Apa alasannya: 

1. Pembeli tidak membeli permennya, melainkan ia berorientasi pada hadiah yang menggiurkan dan terpajang di atasnya (terdapat unsur taruhan).

2. Pembeli harus memilih pilihan yang masuk kategori “untung-untungan” tanpa adanya “pengetahuan” sama sekali dengan nomor yang tersimpan di antara permen itu (bai’ majhūl). Dengan bahasa lain, sambil merem dan setengah ngantuk pun bisa (terdapat unsur spekulasi)

3. Kalau beruntung dapat nomor bagus, maka ia beroleh hadiah, dan jika tidak beruntung, ya ia dapat permennya saja, atau bahkan hanya nomornya saja (terdapat unsur adanya pihak yang dikalahkan dan diambil hartanya)

Itulah salah satu contoh kasus spekulasi pasar yang masuk unsur judi (maisir). Dasar ini bisa kita gunakan untuk memahami prinsip maisir dalam pasar yang lain.

Kita beralih pada kasus spekulasi pasar yang lain. Di tanah tempat kelahiran penulis, tepatnya Desa Siman, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur, para petani memiliki pola dan gaya bercocok tanam yang unik. Keunikannya adalah mereka memiliki sebuah firasat harga barang di pasaran. Padahal, mayoritas hanyalah sebagai petani, dan mengetahui harga pasar hasil pertaniannya kalau pas menepati waktu panen saja atau berdasar informasi dari pedagang. 

Pola bercocok tanam petani yang berdasar tren informasi harga pasar dan tabiat harga hasil pertanian, telah mendidik warga desa untuk arif dalam bercocok tanam. Misalnya, harga cabai merah umumnya naik pada kisaran bulan Januari dan Februari. Pada waktu bulan Maret dan April, bahkan sampai Mei, “seringnya” adalah harga cabai anjlok (turun). Lonjakan harga cabai kembali terjadi manakala sudah memasuki bulan Juni, Juli dan Agustus.

Tabiat harga pasar ini secara tidak langsung mempengaruhi gaya bercocok tanam petani desa tersebut. Karena usia cabai siap panen adalah minimal adalah 70-90 hari setelah tanam, maka pada kisaran bulan Oktober, di akhir musim kemarau, petani ada yang sudah berani untuk memasukkan bibit tanaman ke ladangnya. Padahal risikonya sangat besar, yaitu petani harus setiap pagi dan sore menyirami bibit yang sudah dimasukkan ke ladang itu, sementara tanah benar-benar dalam kondisi kering karena tidak ada air. Bisa diibaratkan, rumput jalanan pun ikut kering. Jika petani melakukan hal ini, maka setidaknya pada pertangahan atau akhir Januari, ia sudah bisa memetik buahnya dengan harga yang jarang dijumpai meleset dari perkiraan. 

Sepekulasi petani dalam menanam yang berdasarkan “tren harga” pasar, sehingga berbuah pada “harga jual cabai” yang mahal tepat pada “waktu panen,” tidak bisa disebut sebagai perjudian. Meskipun, dasarnya adalah sama-sama berangkat dari makna sepekulasi (untung-untungan). Adanya usaha yang dilakukan petani untuk merawat tanamannya, menjadi dasar penghilang makna taruhan. Karena di dalam taruhan tersimpan unsur ketiadaan juhdun (usaha/kerja). Tren pasar juga dimaknai sebagai tabiat pasar dan setara kedudukannya dengan adat/tradisi yang dalam fiqih menempati kategori ‘urf (kebiasaan berdasar pengetahuan). 

Nah, berdasar uraian ini, penulis berharap pembaca bisa membedakan, apa yang dimaksud dengan spekulasi dalam perjudian yang dilarang oleh syara’ dengan spekulasi pasar yang berpatokan pada adat/tradisi harga pasar. Dengan dasar pemahaman ini, kita tidak akan ragu lagi untuk masuk pada level kajian “spekulasi pasar” yang sedikit lebih rumit. Dan akhirnya, semoga bermanfaat! Wallahu a‘lam bish shawab. []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Gresik, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar