Waliyullah Ini Miliki
Kebiasaan ‘Nyeker’, Mengapa?
Bisyr adalah seorang
ulama sekaligus wali Allah yang masyhur pada masanya. Murid-muridnya datang
dari daerah yang berbeda-beda. Seperti layaknya seorang guru, Bisyr-lah yang
memimpin segala ritual keagamaan.
Suatu ketika ia
sedang mengimami shalat berjamaah. Layaknya amaliah ulama salafus shalih,
selesai shalat, Bisyr tak lantas beranjak dari pasujudannya. Ia lantas
menyambungnya dengan rapalan dzikir tasbih, tahmid, takdir, dan juga tahlil
yang diakhiri dengan doa, sedangkan murid-muridnya mengamini belakangan.
Ketika berniat undur
diri setelah ibadah, Bisyr terhenti langkahnya di ambalan masjid. Terompah yang
tadi ia pakai berangkat jamaah, telah raib hilang entah ke mana. Ia terpekur
sejenak, kemudian linangan air mata membasahi kedua pipinya.
Duhai, betapa
keheranan para muridnya. Seorang guru alim nan bersahaja yang mereka cintai
menangis tersedu sedan hanya karena kehilangan alas kaki yang notabenenya
perkara duniawi. Dengan terbata, salah satu dari mereka memberanikan diri
bertanya pada sang guru,
"Wahai Syekh,
engkau adalah seorang ulama yang terkenal alim nan zuhud di seantero negeri
ini. Namun, gerangan apa yang membuat engkau menangisi alas kakimu yang
hilang?"
Mendengar pertanyaan
muridnya, Bisyr tak lantas menjawab. Ia masih saja diam meratapi sesuatu yang
sungguh berbeda dengan apa yang dilihat oleh muridnya. Sembari menghela napas
ia berkata,
"Muridku,
tangisanku sama sekali menyesali sandalku yang hilang. Melainkan aku
menyesalkan akan diriku sendiri. Ya, tahukah engkau muridku, sesungguhnya aku
sangat menyesal mengapa diriku membawa alas kaki yang menarik pandangan mata
orang lain. Sehingga orang tersebut memberanikan diri maksiat kepada Allah
dengan mencuri. Oh, aku begitu menyesal. Oleh sebabku, ia berani mendurhakai
Allah subhanahu wata'ala."
Sontak seluruh
muridnya pun tertunduk malu. Ternyata pandangan luaran semata telah mengaburkan
sifat takzim, hormat kepada guru. Akhirnya setelah kejadian itu, Bisyr pun tak
berani lagi memakai alas kaki. Hingga di kalangan penduduknya ia pun diberi
gelar al-hafi, orang yang tidak memakai alas kaki (nyeker).
Seperti itulah akhlak
dari salafus salih, ulama terdahulu nan alim dan rajin beribadah. Mereka begitu
pandai memalingkan nafsu amarah kepada pandangan penuh hikmah ilahiyah. Mereka
tak mudah untuk marah dan menyalahkan keadaan. Sebaliknya mereka justru
mensyukuri segala sesuatu yang terjadi sebagai takdir terindah utuk diambil
hikmah, sari pati pelajaran kebijaksanaan. *****
Dikisahkan oleh KH
Muhammad Shofi Al Mubarok Baidlowie, Pengasuh Pesantren Sirojuth Tholibin
Brabo, saat pengajian Kitab Tafsir Jalalain.
[]
(Ulin Nuha Karim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar