Hubungan 20 Sifat Wajib
bagi Allah dengan al-Asma’ al-Husna
Bila 20 sifat wajib merupakan sifat-sifat pokok kesempurnaan Allah,
bagaimana hubungannya dengan al-Asmâ’ al-Husnâ (secara bahasa: nama-nama Allah
yang indah)? Rasionalkah sifat wajib yang hanya 20 mencakup 99 al-Asmâ’
al-Husnâ? Tidakkah 20 sifat wajib justru menafikannya?
Bila mengetahui makna sebenarnya dari
masing-masing al-Asmâ’ al-Husnâ, maka orang akan memahami bahwa 99 al-Asmâ’
al-Husnâ itu sudah tercakup dalam sifat wajib yang dirumuskan ulama Ahlussunnah
wal Jama’ah. Sebagaimana dalam al-Maqshad al-Asna Imam al-Ghazali (450-505
H/1058-1111 M) menulis pasal khusus tentang rasionalisasi kembalinya al-Asmâ’
al-Husnâ pada Dzat Allah (sifat wujud) dan tujuh sifat ma’ani sesuai akidah
Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Lebih lanjut Imam al-Ghazali (450-505
H/1058-1111 M) dalam al-Maqshad al-Asnâ fî Syarh Asmâ’ Allah al-Husnâ
menjelaskan, meskipun nama al-Asmâ’ al-Husnâ sangat banyak, namun secara
substantif kembali pada Dzat dan tujuh sifat ma’ani, yaitu melalui 10 kategori
berikut:
a. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada Dzat,
seperti Allah. Begitu pula al-Haq yang diartikan Dzat Allah yang wajib
wujudnya.
b. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada Dzat
dan menafikan ketidakpantasan, seperti al-Quddûs, as-Salâm, dan semisalnya.
Sebab al-Quddûs menunjukkan Dzat Allah sekaligus menafikan sifat-sifat yang
tidak pantas bagi-Nya yang terbersit di hati manusia, sedangkan as-Salâm
menunjukan Dzat Allah sekaligus menafikan aib yang tidak pantas bagi-Nya.
c. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada Dzat
disertai penyandaran pada hal lain (idhâfah), seperti al-‘Aliyy , al-‘Adhîm dan
semisalnya. Sebab al-‘Aliyy menunjukkan Dzat Allah yang derajatnya di atas
seluruh dzat selainnya, sedangkan al-‘Adhîm menunjukkan Dzat dari melampaui
seluruh batas pengetahuan (idrâk) manusia.
d. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada Dzat,
disertai menafikan ketidakpantasan dan penyandaran pada hal lain, seperti
al-Mulk dan al-‘Azîz. Sebab al-Mulk menunjukkan Dzat Allah yang tidak
membutuhkan apa pun dan segala sesuatu selain-Nya pasti membutuhkan-Nya,
sedangkan al-‘Aziz menunjukkan makna Dzat Allah yang tidak ada
bandingannya.
e. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada salah
satu sifat ma’ani, seperti al-‘Alîm, al-Qâdir, dan semisalnya. Sebab al-‘Alîm
menunjukkan sifat ‘ilm, sedangkan al-Qâdir menunjukkan sifat qudrah.
f. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada sifat
‘ilm disertai penyandaran pada hal lain, seperti al-Khabîr, al-Hakîm dan
semisalnya. Sebab al-Khabîr menunjukkan sifat ‘ilm dengan disandarkan pada
hal-hal yang samar, sedangkan al-Hakîm menunjukan sifat ‘ilm dengan disandarkan
pada hal-hal yang mulia.
g. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada sifat
qudrah disertai penyandaran pada hal lain, seperti al-Qahhâr, al-Qawiyy, dan
semisalnya. Sebab al-Qahhâr menunjukkan sifat qudrah disertai pengaruh
penguasaannya pada hal yang dikuasai, sedangkan al-Qawiyy menunjukkan makna
sifat qudrah disertai kesempurnaannya.
h. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada sifat
irâdah disertai penyandaran pada suatu perbuatan, seperti ar-Rahmân, ar-Rahîm,
ar-Ra’ûf dan semisalnya. Sebab ar-rahmah sebagai kata dasar ar-Rahmân dan
ar-Rahîm kembali pada sifat irâdah dengan disandarkan pada perbuatan memenuhi
kebutuhan makhluk yang lemah, sedangkan ar-ra’fah sebagai kata dasar ar-Ra’ûf
berarti rahmat yang sangat maksimal.
i. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada
sifat-sifat al-fi’l (perbuatan Allah), seperti al-Khâliq, al-Wahhâb. Sebab
al-Khâliq menunjukkan perbuatan Allah dalam menciptakan makhluk, sedangkan
ar-Razzâq yang menunjukkan perbuatan Allah dalam menciptakan rezeki dan orang
yang diberi rezeki, menyampaikan rezeki kepadanya, serta menciptakan
berbagai sebab sehingga ia mampu menikmatinya.
j. Al-Asmâ’ al-Husnâ yang kembali pada
sifat-sifat al-fi’l (perbuatan Allah) disertai hal lain, seperti al-Majîd,
al-Karîm. Sebab al-Majîd menunjukkan perbuatan Allah dalam memuliakan makhluk
yang sangat luas disertai kemuliaan Dzat-Nya, sedangkan al-Karîm menunjukkan
perbuatan Allah yang bila berjanji pasti memenuhi, bila memberi pasti melebihi
harapan, dan tidak memperdulikan seberapa banyak pemberian-Nya dan kepada siapa
memberinya, disertai kemuliaan Dzat-Nya.
Di akhir penjelasannya Imam al-Ghazali
menegaskan:
فَلَا
تَخْرُجُ هٰذِهِ الْأَسَامِي وَغَيْرُهُا عَنْ مَجْمُوعِ هٰذِهِ الْأَقْسَامِ
الْعَشْرَةِ. فَقِسْ مَا أَوْرَدْنَاهُ بِمَا لَمْ نُورِدُهُ. فَإِنَّ ذٰلِكَ يَدُلُّ عَلٰى وَجْهِ
خُرُوجِ الْأَسَامِي عَنِ التَّرَادُفِ مَعَ رُجُوعِهَا إِلٰى هٰذِهِ الصِّفَاتِ
الْمَحْصُرَةِ الْمَشْهُورَةِ.
“Maka al-Asmâ’ al-Husnâ (yang 99) ini dan
selainnya tidak keluar dari 10 kategori ini. Qiyaskan al-Asmâ’ al-Husnâ yang
telah aku sebutkan dengan yang tidak aku sebutkan. Sebab hal itu akan
menunjukkan tidak terjadinya kesamaan (sinonim) pada Asma’ al-Husna sekaligus
menunjukkan kembalinya Asma’ al-Husna pada tujuh sifat (ma’ani dan Dzat/sifat
wujud) yang masyhur ini.”
Pola pendekatan al-Ghazali ini kemudian
diikuti oleh al-Fakhr ar-Razi (544-606 H/1150-1210 M) dalam Syarh al-Asmâ’
al-Husnâ dan Abu al-‘Abbas Ahmad bin Mu’id al-‘Uqlisi (w. 550 H/1155 M)
sebagaimana disinggung al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari.
Bahkan menurut al-Hafizh Ibn Hajar sendiri, al-Asmâ’ al-Husnâ sebenarnya dari
sisi dilâlah dapat diklasifikasikan dalam empat kategori, yaitu (a) yang
menunjukkan Dzat Allah saja yaitu Allah, (b) yang menunjukkan sifat yang tetap
bagi Allah seperti al-‘Alîm, al-Qâdir, as-Samî’ al-Bashîr, (c) yang menunjukkan
penyadaran pada sesuatu, seperi al-Khâliq dan ar-Razzâq, dan (d) yang menafikan
ketidakpantasan seperti al-‘Aliyy dan al-Quddûs.
Adapun anggapan bahwa 20 sifat wajib
menafikan al-Asmâ’ al-Husnâ adalah anggapan yang tidak tepat, sebab tidak
ditemukan sama sekali data valid maupun argumentasi kuat yang menunjukkannya.
Bahkan Imam as-Sanusi selaku perumusnya justru menulis kitab khusus untuk
menjelaskan makna-makna al-Asmâ’ al-Husnâ yang berjudul Syarhal-Asmâ’ al-Husnâ,
seperti cetakan pertama yang diterbitkan Muassasah al-Ma’arif Bairut Lebanon
pada 1429 H/2008 M edisi tahqiq Nizar Hamadi. ***
Tulisan ini disarikan dan dimodifikasi dari
buku Khazanah Aswaja oleh Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
[]
Yusuf Suharto, Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa
Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar