Uang Giral dan Unsur
Penyusunannya
Uang fiat merupakan bentuk uang hasil
modifikasi dari uang kertas klasik berjamin aset logam mulia menjadi berjamin
hukum dan kepercayaan. Apakah sebuah kepercayaan/amanah memiliki peran yang
sama dengan aset? Kelak akan dibahas lebih lanjut di belakang.
Bentuk uang lain yang tidak memiliki jaminan
aset dan juga tidak memiliki jaminan bentuk fisik hanya berupa catatan saja
adalah uang giral. Sebenarnya uang giral ini asalnya juga dari uang fisik,
namun disimpan oleh nasabah ke perbankan dalam bentuk rekening koran, deposito,
cek dan surat berharga yang lain. Keberadaannya diakui oleh negara dan juga
resmi. Bahkan dewasa ini bisa dipergunakan dalam transaksi jual beli di
sejumlah tempat khusus, seperti toserba, supermarket dan beberapa mall
lain.
Jika kita mengamati keberadaan uang giral
ini, maka sebenarnya konsepnya kembali seperti semula yaitu sebelum uang fiat
dikeluarkan. Bedanya, jika uang klasik, jaminannya berupa aset logam mulia dan
ada bentuk fisiknya, namun dalam konteks uang giral ini, maka jaminannya berupa
nilai tabungan/rekening koran, sementara bentuk fisiknya berupa perangkat
transaksi seperti kartu kredit, kartu debit atau bahkan berupa lembar surat
berharga yang diakui keabsahannya oleh pemerintah dan perbankan.
Penting kita garis bawahi di sini, bahwa
unsur uang giral adalah:
§
Adanya aset dana berupa uang yang
disimpan sebagai jaminan
§
Perangkat penggunaan berupa lembar
surat berharga, cek, wesel, kartu kredit, kartu debit, dan lain
sebagainya.
Dengan memperhatikan kedua unsur ini, maka
status nilai tukar uang giral adalah sama dengan nilai tukar uang fiat berupa
kertas. Artinya, ia ditentukan berdasarkan nilai tukarnya (qîmatul mitslî-nya),
dan bukan ditentukan berdasarkan wujud fisik aset yang memperantainya (kartu
kredit, lembar wesel, cek, dan lain-lain), meskipun wujud fisik itu juga
memiliki hubungan erat dengan penggunaannya. Jika demikian halnya, lantas apa
peran lembar cek kosong, wesel kosong, kartu kredit dan kartu debit dalam suatu
transaksi keuangan?
Kita ingat bahwa pengguna jasa kartu kredit,
kartu debit, cek kosong dan sejenisnya sudah memiliki simpanan keuangan di
sebuah rekening perbankan. Dengan perantara kartu dan lembar surat ini, seorang
yang memiliki rekening dan pemegang kartu seolah sedang memerintahkan ke bank
agar mencairkan dana sebagaimana tertuang dalam isi perintah kartu sesuai yang
dikehendaki oleh nasabah.
Jadi, suatu misal apabila pemegang kartu
sedang belanja ke Toserba, kemudian ia melakukan pembayaran dengan jalan
menggunakan kartu kredit atau kartu kredit, maka pada dasarnya ia sedang
memerintahkan ke bank agar memindah sebagian saldo tabungannya ke rekening
pemilik Toserba. Jadi, dalam hal ini, meskipun sang pembeli tidak membawa wujud
fisik uang, ia memanfaatkan keberadaan nilai fiat untuk melakukan transaksi
tersebut. Secara fiqih, nilai fiat ini disebut dengan nilai tukar (qîmatul
mitslî). Sementara wujud fisik uangnya (‘ain mitslî) tidak ada.
Bukankah wujud uangnya sudah dititipkan di
bank? Ingat bahwa dalam hal ini kita berbicara mengenai hubungan antara seoang
pembeli dan penjual. Kita tidak sedang berbicara tentang adanya pihak ketiga,
yaitu bank. Jika kita berbicara relasi antara penjual dan pembeli, maka kita
seolah berbicara mengenai konsep yadan bi yadin (tunai). Segi tunai ini berwujud,
transfer nilai ke nilai yang berasal dari satu rekening ke rekening. Ini mutlak
harus kita garis bawahi, sehingga kita bisa memahami mengenai ketiadaan wujud
fisik uang itu. Sebagai gambaran mudahnya, kita umpamakan bahwa nilai akhir
transaksi adalah sebesar Rp. 900.990. Yang kita ketahui bahwa uang pecahan
terkecil di Indonesia saat ini dan umum berlaku adalah Rp50. Pecahan ini pun
sudah tidak banyak digunakan. Yang sering digunakan adalah angka pecahan
minimal Rp100. Melihat nilai akhir transaksi adalah ada besaran angka Rp. 90
dalam hal ini tidak mungkin bagi penjual untuk mengembalikan uang dengan
besaran 4 buah keping uang Rp10. Bila penjual menggenapkan menjadi Rp100 tanpa
keridlaan Si Pembeli, maka ia telah berlaku dhalim. Sementara apabila pembeli
menggenapkan sebesar Rp900 saja, maka ia secara tidak langsung menanggung
hutang sebesar Rp90. Merepotkan, bukan? Nah, keberadaan transaksi Rp. 90 rupiah
ini menjadi hal yang berharga manakala ia berwujud nilai tukar meskipun
keberadaannya tanpa ada wujud fisik (ain uang).
Bagaimana kalau kita ambil “’an taradlin”
saja untuk memutuskan konsep Rp10 tersebut? Dalam kaitannya dengan relasi
sosial, praktik ‘an taradlin ini adalah hal yang baik dan dianjurkan. Namun
dalam konsep fiqih, terdapat teori batas minimal dan batas maksimal. Adanya
qaul dinyatakan sebagai ashah, arjah, shahih, dla’îf, dan lain sebagainya
adalah wujud dari praktik batas minimal dan batas maksimal tersebut. Oleh
karenanya, meskipun hal ini adalah merupakan hal yang tidak tsubut terjadi,
namun karena menyimpan unsur kelaziman, maka dalam praktiknya fiqih tetap
menampungnya sebagai obyek bahasan.
Kesimpulan akhirnya adalah pada uang giral,
yang dipentingkan dalam relasi transaksional adalah keberadaan nilai tukar.
Sementara itu, wujud uang (ain mitslî) tidak mendapatkan penekanan. Jadi,
“perkara yang tsubut dalam transaksi” adalah nilai tukar dalam keuangan.
Wallahu a’lam. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar