Selasa, 16 Juli 2019

(Ngaji of the Day) Uang Giral dan Unsur Penyusunannya


Uang Giral dan Unsur Penyusunannya

Uang fiat merupakan bentuk uang hasil modifikasi dari uang kertas klasik berjamin aset logam mulia menjadi berjamin hukum dan kepercayaan. Apakah sebuah kepercayaan/amanah memiliki peran yang sama dengan aset? Kelak akan dibahas lebih lanjut di belakang. 

Bentuk uang lain yang tidak memiliki jaminan aset dan juga tidak memiliki jaminan bentuk fisik hanya berupa catatan saja adalah uang giral. Sebenarnya uang giral ini asalnya juga dari uang fisik, namun disimpan oleh nasabah ke perbankan dalam bentuk rekening koran, deposito, cek dan surat berharga yang lain. Keberadaannya diakui oleh negara dan juga resmi. Bahkan dewasa ini bisa dipergunakan dalam transaksi jual beli di sejumlah tempat khusus, seperti toserba, supermarket dan beberapa mall lain. 

Jika kita mengamati keberadaan uang giral ini, maka sebenarnya konsepnya kembali seperti semula yaitu sebelum uang fiat dikeluarkan. Bedanya, jika uang klasik, jaminannya berupa aset logam mulia dan ada bentuk fisiknya, namun dalam konteks uang giral ini, maka jaminannya berupa nilai tabungan/rekening koran, sementara bentuk fisiknya berupa perangkat transaksi seperti kartu kredit, kartu debit atau bahkan berupa lembar surat berharga yang diakui keabsahannya oleh pemerintah dan perbankan. 

Penting kita garis bawahi di sini, bahwa unsur uang giral adalah:

§  Adanya aset dana berupa uang yang disimpan sebagai jaminan
§  Perangkat penggunaan berupa lembar surat berharga, cek, wesel, kartu kredit, kartu debit, dan lain sebagainya. 

Dengan memperhatikan kedua unsur ini, maka status nilai tukar uang giral adalah sama dengan nilai tukar uang fiat berupa kertas. Artinya, ia ditentukan berdasarkan nilai tukarnya (qîmatul mitslî-nya), dan bukan ditentukan berdasarkan wujud fisik aset yang memperantainya (kartu kredit, lembar wesel, cek, dan lain-lain), meskipun wujud fisik itu juga memiliki hubungan erat dengan penggunaannya. Jika demikian halnya, lantas apa peran lembar cek kosong, wesel kosong, kartu kredit dan kartu debit dalam suatu transaksi keuangan?

Kita ingat bahwa pengguna jasa kartu kredit, kartu debit, cek kosong dan sejenisnya sudah memiliki simpanan keuangan di sebuah rekening perbankan. Dengan perantara kartu dan lembar surat ini, seorang yang memiliki rekening dan pemegang kartu seolah sedang memerintahkan ke bank agar mencairkan dana sebagaimana tertuang dalam isi perintah kartu sesuai yang dikehendaki oleh nasabah. 

Jadi, suatu misal apabila pemegang kartu sedang belanja ke Toserba, kemudian ia melakukan pembayaran dengan jalan menggunakan kartu kredit atau kartu kredit, maka pada dasarnya ia sedang memerintahkan ke bank agar memindah sebagian saldo tabungannya ke rekening pemilik Toserba. Jadi, dalam hal ini, meskipun sang pembeli tidak membawa wujud fisik uang, ia memanfaatkan keberadaan nilai fiat untuk melakukan transaksi tersebut. Secara fiqih, nilai fiat ini disebut dengan nilai tukar (qîmatul mitslî). Sementara wujud fisik uangnya (‘ain mitslî) tidak ada. 

Bukankah wujud uangnya sudah dititipkan di bank? Ingat bahwa dalam hal ini kita berbicara mengenai hubungan antara seoang pembeli dan penjual. Kita tidak sedang berbicara tentang adanya pihak ketiga, yaitu bank. Jika kita berbicara relasi antara penjual dan pembeli, maka kita seolah berbicara mengenai konsep yadan bi yadin (tunai). Segi tunai ini berwujud, transfer nilai ke nilai yang berasal dari satu rekening ke rekening. Ini mutlak harus kita garis bawahi, sehingga kita bisa memahami mengenai ketiadaan wujud fisik uang itu. Sebagai gambaran mudahnya, kita umpamakan bahwa nilai akhir transaksi adalah sebesar Rp. 900.990. Yang kita ketahui bahwa uang pecahan terkecil di Indonesia saat ini dan umum berlaku adalah Rp50. Pecahan ini pun sudah tidak banyak digunakan. Yang sering digunakan adalah angka pecahan minimal Rp100. Melihat nilai akhir transaksi adalah ada besaran angka Rp. 90 dalam hal ini tidak mungkin bagi penjual untuk mengembalikan uang dengan besaran 4 buah keping uang Rp10. Bila penjual menggenapkan menjadi Rp100 tanpa keridlaan Si Pembeli, maka ia telah berlaku dhalim. Sementara apabila pembeli menggenapkan sebesar Rp900 saja, maka ia secara tidak langsung menanggung hutang sebesar Rp90. Merepotkan, bukan? Nah, keberadaan transaksi Rp. 90 rupiah ini menjadi hal yang berharga manakala ia berwujud nilai tukar meskipun keberadaannya tanpa ada wujud fisik (ain uang). 

Bagaimana kalau kita ambil “’an taradlin” saja untuk memutuskan konsep Rp10 tersebut? Dalam kaitannya dengan relasi sosial, praktik ‘an taradlin ini adalah hal yang baik dan dianjurkan. Namun dalam konsep fiqih, terdapat teori batas minimal dan batas maksimal. Adanya qaul dinyatakan sebagai ashah, arjah, shahih, dla’îf, dan lain sebagainya adalah wujud dari praktik batas minimal dan batas maksimal tersebut. Oleh karenanya, meskipun hal ini adalah merupakan hal yang tidak tsubut terjadi, namun karena menyimpan unsur kelaziman, maka dalam praktiknya fiqih tetap menampungnya sebagai obyek bahasan. 

Kesimpulan akhirnya adalah pada uang giral, yang dipentingkan dalam relasi transaksional adalah keberadaan nilai tukar. Sementara itu, wujud uang (ain mitslî) tidak mendapatkan penekanan. Jadi, “perkara yang tsubut dalam transaksi” adalah nilai tukar dalam keuangan. Wallahu a’lam. []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P Bawean, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar