Jumat, 12 Juli 2019

Tuan Syekh Djalaluddin Pane Parsambilan dan Gerakan Aswaja di Tapanuli (3)


Tuan Syekh Djalaluddin Pane Parsambilan dan Gerakan Aswaja di Tapanuli (3)

Jalo, Sang Ibu, Nenek dan Keluarga

Beberapa hari setelah Ja Mangilat gugur, Jalo yang masih balita dibawa ibunya dari Paran Padang ke Sibadoar yang masih dalam kawasan Sipirok. Antara kedua desa itu berjarak kurang lebih 2 kilometer, dihubungkan jalan tikus berpadang ilalang, hutan, rawa-rawa, dan persawahan yang baru dirintis. Di kawasan itu masih banyak terdapat binatang-binatang buas dan segala jenis ular berbisa.

Ada  beberapa alasan sang ibu pindah ke desa Sibadoar, di antaranya yaitu: Pertama, merasa lebih aman tinggal di desa Sibadoar yang merupakan tanah kelahirannya. Terlebih desa ini paling sulit ditembus oleh Pongki Nangolngolan dan pasukannya sehingga agama Islam tidak tersebar di daerah itu. Belakangan, pendeta Belanda dalam rangka Mission Nonmensen berhasil menyebarkan agama Kristen.

Kedua, sudah menjadi tradisi pada masa itu bahwa menurut adat di Sipirok, seorang janda yang mempunyai anak masih kecil pada umumnya selalu pulang kembali kepada keluarga orang tuanya sambil membawa sang anak yang masih bocah itu.

Ketiga, ibu Jalo merasa kecewa dan sakit hati terhadap keluarga dari pihak mendiang suaminya.  Bagaimana tidak? Setelah suaminya mati di tangan musuh, malah sanak famili dari keluarga suaminya memeluk agama Islam, agama yang dianut dan disebarkan secara paksa oleh musuh dan pembunuh suaminya. Padahal, ia sangat mengharapkan agar semua kaum famili suaminya dapat membalas kematian suaminya terutama kepada Pongki Nangolngolan.

Ia merasa seolah-olah kematian yang ”sadis” itu dibiarkan berlalu begitu saja.  Sebagai seorang wanita yang membalu, ia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat banyak, kecuali hanya meratap pilu seraya membelai-belai kepala putra tunggalnya, Jalo, yang belum mengetahui apa-apa.

Di masa kepedihan ini, ia sering mengucapkan beberapa mantera demi memohon keselamatan serta mengharapkan agar segala begu menyiksa kepada semua orang yang telah meluluhlantakkan jiwanya. Lebih dari itu, sang ibu meminta semoga semua arwah-arwah nenek moyangnya memberi kekuatan fisik, mental, dan ketinggian jiwa kepada anak satu-satunya, Jalo.

Baru dua tahun membalu, tekanan perasaan yang cukup kuat membuat sang ibu ditimpa penyakit berat. Tubuhnya kurus kering sehingga dalam keadaan cukup menderita, sang ibu meninggal dunia.

Setelah sang ibu tercinta meninggal, Jalo tinggal dan diasuh oleh neneknya dari pihak ibu yang masih kuat menganut pelbegu, malah berpaham lebih tinggi dari orang-orang di Paran Padang. Tetapi, kehidupan Jalo setelah kedua orang tuanya tiada sangat memprihatinkan sekali karena ia kini hidup di tengah-tengah konflik besar antara dua famili. Famili dari pihak ayahnya adalah pemeluk agama Islam. Sedangkan famili dari pihak ibunya masih mempertahankan paham pelbegu sampai kemudian kelak ketika misi Kristen masuk mereka menjadi penganut Kristen. Sementara kebencian, dendam dan sakit hati pada waktu itu menjadi bagian dari watak masyarakat.

Menurut adat, Jalo adalah hak keturunan marga Pane di Paran Padang. Tetapi, ia tinggal di lingkungan marga ibu di Sibadoar. Tentu famili ibunya ini harus mempertimbangkan jerih payah memelihara dan menghidupi Jalo karena jika dalam keadaan berdamai tidak ada masalah, apalagi menurut kebiasaan di Tapanuli sejak dulu, pada umumnya seorang nenek lebih sayang kepada cucu yang dilahirkan oleh pihak boru. Tetapi dalam keadaan konflik seperti ini, pasti risikonya lebih berat. Karenanya, beberapa kali famili ibunya bermaksud menyingkirkan Jalo, namun ada saja yang menghalanginya.

Salah satu cara menyingirkan Jalo adalah dengan meninggalkannya menjelang matahari terbenam di Saba Tombak di kawasan hutan perlintasan harimau. Menurut perhitungan, pasti Jalo tewas dengan tubuh tercabik-cabik oleh harimau. Tetapi semua famili ibunya yang terlibat perbuatan makar tersebut kaget karena pada pagi harinya Jalo muncul kembali di Sibadoar.

Sejak saat itu, si nenek sadar bahwa cucunya, Jalo, memiliki kelebihan. Sering si nenek mengucapkan mantera sambil mengusap-usap kepala Jalo untuk menambah kekuatan cucunya tersebut. Bukan hanya neneknya, tetapi seluruh famili ibunya juga memahami bahwa di dalam diri Jalo mengalir kekuatan-kekuatan yang di luar dugaan. Menurut anggapan famili ibunya ini yang masih berpaham animisme, kemungkinan kebesaran jiwa Datu Mangantar Bilang telah turun kepada Jalo, mewarisi tangkal segala begu-begu dan binatang buas.

Anggapan ini makin kuat ketika Jalo berusia sekitar enam tahun sering berkunjung sendirian melintasi hutan Saba Lancat dan rawa-rawa Aek Bakka dan hutan Sihilap menuju ke kampung Paran Padang; sesuatu yang tidak dilakukan oleh anak-anak seusianya. Apalagi pada masa itu, kawasan tersebut terkenal sangat angker, banyak dihuni binatang-binatang buas dan tempat pemujaan tangkal-tangkal panyihat.

Panyihat menurut paham animisme di Tapanuli adalah abu bayi yang digongseng dan dimasukkan ke dalam priuk tanah lalu disimpan di tempat pemujaan di bawah pohon besar untuk menolak bala penyakit.

Jalo sering mengunjungi ke kampung Paran Padang karena dapat bermain-main dengan saudara-saudara dari pihak mendiang ayahnya yang masih banyak di desa itu, terutama dengan Tahuru yang merupakan saudara sepupu dari amangtuanya (saudara kandung ayah), Ja Pattis.

Pertemanan Jalo dan Tahuru tidak hanya pada masa kecil, bahkan sampai mereka dewasa dan berusia tua. Hal ini kemungkinan disebabkan antara kedua orang tua anak itu ada saling titip amanah di saat penyerangan Pongki Nangolngolan dan tentaranya. Selain Tahuru, Jalo memiliki saudara sepupu lainnya yang merupakan anak paman dari jalur ayahnya selain Ja Pattis, yaitu Panongonan (putra Ja Moppo), Ja Galanggang II (putra Ja Panggorean), dan Ja Pane serta  Badusin (putra Ja Naek).

Ketika famili ibunya mendengar bahwa penduduk Paran Padang hampir seluruhnya telah memeluk agama Islam, maka ada perasaan kurang senang kepada Jalo. Mereka mencoba melarang Jalo datang ke Paran Padang. Namun, semakin dilarang malah Jalo semakin sering bermalam di Paran Padang. Akhirnya, Jalo dijauhi oleh pihak keluarga ibunya, untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan meruncingnya konflik antara kedua keluarganya ini.

Jalo memutuskan untuk tinggal berpindah-pindah pengasuh di desa Paran Padang bagian lumban (hulu). Di bagian lumban hulu itu terletak rumah-rumah kelompok marga Pane, tempat pemukiman saudara-saudara sepupunya, anak dari pamannya. Sedangkan bagian lumban hilir milik keluarga Siregar. Di antara hulu dan hilir dari lumbun tersebut dihuni dari marga-marga lain, yaitu Sitompul, Harahap, dan Nasution.

Setelah menginjak remaja, seperti keluarganya yang bermarga Pane, diperkirakan ia telah masuk agama Islam. Namun, ia mulai merasakan kejanggalan dalam kehidupan yang dijalaninya. Ia mulai merasa tidak enak hati untuk terus-menerus menumpang makan dari satu rumah ke rumah yang lain walau masih keluarganya sendiri.

Namun dengan keadaanya yang serba kekurangan dan di tengah perasaan yang membuatnya tidak nyaman, ada kelebihan-kelebihan yang dimiliki Jalo yang membuat kagum keluarga besarnya dari marga Pane. Seperti kemampuannya dalam mengobati berbagai jenis penyakit yang konon disebabkan oleh makhluk halus, gigitan binatang-binatang berbisa, atau disebabkan oleh faktor lainnya; baik yang menimpa anak-anak maupun orang tua. Pendeknya, siapa saja yang terkena penyakit, Jalo yang akan dipanggil untuk memberi pertolongan. Terlebih pertolongannya sangat mujarab. Dengan kemampuannya tersebut, kini Jalo terkenal sebagai Datu walau usianya masih sangat muda. Kemampuannya terkenal sampai keluar desa sehingga ia sering didatangi dan dijemput untuk memberi pengobatan.

Dalam memberi pengobatan, Jalo masih mencampurkan doa-doanya dengan ajaran animisme. Begitu pula penduduk Paran Padang waktu itu, walau telah memeluk agama Islam tetapi cara mengerjakan ajarannya belum begitu sempurna. Masih banyak golongan tua yang jiwanya masih dipengaruhi unsur-unsur animisme sehingga dalam pengamalan ajaran Islam masih  bercampur baur antara kebudayaan dengan agama. Misalnya, banyak dalam upacara adat masih digunakan mantera-mantera dalam doa yang diucapkannya. Atau jika dalam keadaan terkejut atau terdesak, masih berserah diri kepada begu daripada kepada Allah SWT.

Memang membutuhkan proses panjang untuk mengubahnya sehingga Jalo merupakan sosok yang mewakili generasinya yang berada di batas pomparan (keturunan) masa zaman animisme dan zaman agama Islam. Dengan kata lain, generasi sebelumnya adalah penganut pelbegu dan generasi di bawahnya sampai sekarang memeluk agama Islam.

Walau Jalo memiliki kemampuan sebagai seorang tabib, ia lebih senang berpetualang atau menggembala kerbau. Maka di usia 12 tahun, ia mulai berkelana ke daerah Padang Bolak (Padang Lawas) untuk menjadi penggembala kerbau milik pamannya, Ja Moppo sesuai dengan anjuran saudara sepupunya, Panongonan yang merupakan putra dari Ja Moppo.

Menjadi Penggembala dan Tabib Kaum Padri
Tujuan kepergian Jalo bukan hanya untuk menjadi penggembala kerbau saja, tetapi untuk bertemu dengan Tuanku Tambuse (Tambusai atau Tambusi). Nama aslinya adalah Pakih Saleh yang berasal dari Dalu-Dalu. Dia salah seorang dari delapan harimau kaum Padri, pahlawan Islam yang gagah berani dalam peperangan menembus Mandailing, Angkola, dan Padang Lawas dan kini sedang berkuasa di Padang Lawas.

Dalam catatan sejarah Indonesia pada tahun 1835, Tuanku Tambuse dari Daluda daerah Rokan menguasai daerah Padang Lawas.

Jalo ingin membalas dendam kematian ayahnya karena ia menduga bahwa Tuan Tambuse lah yang telah membunuh ayahnya. Dugaan ini disebabkan ketidaktahuan Jalo tentang sosok yang telah membunuh ayahnya. Hanya yang dia ketahui bahwa seorang pahlawan Islam dari Kaum Padri telah membunuh ayahnya. Di wilayah Padang Lawas tidak ada lagi pahlawan Islam selain Tuanku Tambuse.

Sambil menggembala kerbau di padang rumput yang luas, siang dan malam, ia selalu berpikir bagaimana caranya agar dapat berjumpa dengan Tuanku Tambuse. Beberapa minggu kemudian kesempatan itu datang. Tuanku Tambuse dan pasukannya melintas daerah padang rumput, tempat Jalo menggembalakan kerbau-kerbau milik pamannya. Jalo tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut yang memang sudah lama ia harapkan.  Dengan tekad yang kuat, ia mendatangi pasukan tersebut dan berbicara kepada salah seorang prajurit.

Prajurit itu bertanya kepada Jalo, “Apa maksudmu mendekati kami, wahai anak gembala?”

”Untuk menjumpai panglima perang,” jawab Jalo tenang.    

”Ada keperluan apa gerangan?” tanya Tuanku Tambuse yang tiba-tiba saja memotong percakapan tersebut.

”Kudengar panglima terkenal gagah berani!”sambung Jalo mengadahkan wajah.

”Ada apa?”

”Ingin berjumpa.”

”Lantas, apa maksudmu?”

”Saya ingin melihat berapa banyak dari pasukan ini yang korban dan yang menderita luka-luka.”

”Perlu apa?”

”Kalau ada yang luka-luka, siapakah yang mengobatinya?” tanya Jalo tanpa ragu.

Sejenak Tuanku Tambuse bagai terpana mendengar pertanyaan anak gembala itu. Sambil memandangi wajah si anak gembala itu beberapa saat kemudian Tuanku Tambuse bertanya lagi, ”Perlu apa engkau ketahui, kampung mana yang menyuruhmu?”

”Tidak ada yang menyuruh saya,” jawab Jalo meyakinkan. lalu ia mengatakan, ”Saya sendiri datang untuk memberi pertolongan terutama akan mengobati orang yang ditimpa penyakit dan luka-luka dalam peperangan.”

Mendengar penjelasan itu, segera Tuanku Tambuse membawa Jalo ke tempat pahlawan-pahlawan perang yang sedang dalam perawatan di sebuah pemukiman yang berada di sekitar Gunung Tua. Begitu semangat Jalo bergabung dengan Tuanku Tambuse dan pasukannya, tanpa ia sadari, ia meninggalkan begitu saja kerbau-kerbau gembalaan milik pamannya, Ja Moppo. Sebuah tindakan yang kelak menimbulkan ketegangan dan konflik dengan Panongonan , putra Ja Moppo yang sebaya dengannya.

Konflik itu kemudian mereda setelah anak Panongonan, yaitu Abdul Halim dibantu oleh Jalo ketika mengalami kesulitan hidup. Dari Abdul Halim inilah lahir Kol. CPM (Purn.) Dr. Djalaluddin Pane, SH.

Sebenarnya maksud Jalo bukan hanya untuk memberikan pengobatan, tetapi juga untuk menyelidiki siapa sebenarnya panglima Islam yang datang ke tanah Sipirok beberapa tahun yang lampau yang telah membunuh ayahnya.

Setibanya Jalo di sebuah rumah besar yang merupakan ”markas”, ia dipersilakan Tuanku Tambuse untuk mengobati oang-orang yang sakit yang terluka dalam peperangan dari daerah Riau sampai ke Padang Lawas. Umumnya luka yang dialami karena senjata tajam, terkilir, dan malaria.

Cara pengobatan Jalo adalah dengan menghampiri para pasiennya satu per satu, lalu mengobati mereka dengan menggunakan ramuan yang berasal dari dedaunan sambil membaca beberapa potong mantera dan kemudian menyembur-nyemburkan ludah sambil menyentuh bagian yang terluka atau yang sakit dari si pasien.

Pengobatan Jalo mendapatkan hasil yang menakjubkan. Beberapa hari kemudian, sebagian besar pasiennya menjadi sembuh. Luka yang semula membengkak bernanah berangsur-angsur mengering. Bagi yang terkilir atau keseleo kembali normal.  Karena keahliannya ini, ia hanya ditugaskan untuk mengobati anggota pasukan yang sakit, tidak ditugaskan berperang, dan dikenal dengan julukan tabib muda. Sedangkan masyarakat umum mengenalnya sebagai Datu Sakti.

Julukan Datu Sakti diberikan oleh masyarakat kepada Jalo karena ada beberapa kejadian yang menunjukkan bahwa dia memang memiliki kesaktian. Misalnya saja, sering sekali datang laporan kepadanya bahwa ada orang yang sedang mendapatkan marabahaya pada suatu tempat, si pelapor yang bermaksud menjemput itu lantas disuruh pulang terlebih dahulu. Tapi yang mengherankan, Jalo dapat tiba lebih dahulu di tempat si pasien daripada si pelapor.  Kejadian-kejadian ini sampai ke telinga Tuanku Tambuse dan membuatnya semakin kagum dengan kehebatan Jalo.

Selama menjadi tabib bagi pasukan Tuanku Tambuse, Jalo juga menjadi jembatan persahabatan  antara masyarakat dan pasukan Tuanku Tambuse. Selain itu, ia juga rajin belajar ajaran-ajaran Islam yang langsung didapatnya dari Tuanku Tambuse yang memiliki kebiasaan setiap selesai sholat isya memberikan pelajaran agama Islam. (bersambung…)

Rakhmad Zailani Kiki. Penulis adalah sekretaris RMI NU DKI Jakarta. Ia juga diamanahi sebagai Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre (JIC).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar