Tuan Syekh
Djalaluddin Pane Parsambilan dan Gerakan Aswaja di Tapanuli (3)
Jalo, Sang Ibu, Nenek
dan Keluarga
Beberapa hari setelah
Ja Mangilat gugur, Jalo yang masih balita dibawa ibunya dari Paran Padang ke
Sibadoar yang masih dalam kawasan Sipirok. Antara kedua desa itu berjarak
kurang lebih 2 kilometer, dihubungkan jalan tikus berpadang ilalang, hutan,
rawa-rawa, dan persawahan yang baru dirintis. Di kawasan itu masih banyak
terdapat binatang-binatang buas dan segala jenis ular berbisa.
Ada beberapa
alasan sang ibu pindah ke desa Sibadoar, di antaranya yaitu: Pertama, merasa
lebih aman tinggal di desa Sibadoar yang merupakan tanah kelahirannya. Terlebih
desa ini paling sulit ditembus oleh Pongki Nangolngolan dan pasukannya sehingga
agama Islam tidak tersebar di daerah itu. Belakangan, pendeta Belanda dalam
rangka Mission Nonmensen berhasil menyebarkan agama Kristen.
Kedua, sudah menjadi
tradisi pada masa itu bahwa menurut adat di Sipirok, seorang janda yang
mempunyai anak masih kecil pada umumnya selalu pulang kembali kepada keluarga
orang tuanya sambil membawa sang anak yang masih bocah itu.
Ketiga, ibu Jalo
merasa kecewa dan sakit hati terhadap keluarga dari pihak mendiang
suaminya. Bagaimana tidak? Setelah suaminya mati di tangan musuh, malah
sanak famili dari keluarga suaminya memeluk agama Islam, agama yang dianut dan
disebarkan secara paksa oleh musuh dan pembunuh suaminya. Padahal, ia sangat
mengharapkan agar semua kaum famili suaminya dapat membalas kematian suaminya
terutama kepada Pongki Nangolngolan.
Ia merasa seolah-olah
kematian yang ”sadis” itu dibiarkan berlalu begitu saja. Sebagai seorang
wanita yang membalu, ia tidak mempunyai kekuasaan untuk berbuat banyak, kecuali
hanya meratap pilu seraya membelai-belai kepala putra tunggalnya, Jalo, yang
belum mengetahui apa-apa.
Di masa kepedihan
ini, ia sering mengucapkan beberapa mantera demi memohon keselamatan serta
mengharapkan agar segala begu menyiksa kepada semua orang yang telah
meluluhlantakkan jiwanya. Lebih dari itu, sang ibu meminta semoga semua
arwah-arwah nenek moyangnya memberi kekuatan fisik, mental, dan ketinggian jiwa
kepada anak satu-satunya, Jalo.
Baru dua tahun
membalu, tekanan perasaan yang cukup kuat membuat sang ibu ditimpa penyakit
berat. Tubuhnya kurus kering sehingga dalam keadaan cukup menderita, sang ibu
meninggal dunia.
Setelah sang ibu
tercinta meninggal, Jalo tinggal dan diasuh oleh neneknya dari pihak ibu yang
masih kuat menganut pelbegu, malah berpaham lebih tinggi dari orang-orang di
Paran Padang. Tetapi, kehidupan Jalo setelah kedua orang tuanya tiada sangat
memprihatinkan sekali karena ia kini hidup di tengah-tengah konflik besar
antara dua famili. Famili dari pihak ayahnya adalah pemeluk agama Islam.
Sedangkan famili dari pihak ibunya masih mempertahankan paham pelbegu sampai
kemudian kelak ketika misi Kristen masuk mereka menjadi penganut Kristen.
Sementara kebencian, dendam dan sakit hati pada waktu itu menjadi bagian dari
watak masyarakat.
Menurut adat, Jalo
adalah hak keturunan marga Pane di Paran Padang. Tetapi, ia tinggal di
lingkungan marga ibu di Sibadoar. Tentu famili ibunya ini harus
mempertimbangkan jerih payah memelihara dan menghidupi Jalo karena jika dalam
keadaan berdamai tidak ada masalah, apalagi menurut kebiasaan di Tapanuli sejak
dulu, pada umumnya seorang nenek lebih sayang kepada cucu yang dilahirkan oleh
pihak boru. Tetapi dalam keadaan konflik seperti ini, pasti risikonya lebih
berat. Karenanya, beberapa kali famili ibunya bermaksud menyingkirkan Jalo,
namun ada saja yang menghalanginya.
Salah satu cara
menyingirkan Jalo adalah dengan meninggalkannya menjelang matahari terbenam di
Saba Tombak di kawasan hutan perlintasan harimau. Menurut perhitungan, pasti
Jalo tewas dengan tubuh tercabik-cabik oleh harimau. Tetapi semua famili ibunya
yang terlibat perbuatan makar tersebut kaget karena pada pagi harinya Jalo
muncul kembali di Sibadoar.
Sejak saat itu, si
nenek sadar bahwa cucunya, Jalo, memiliki kelebihan. Sering si nenek
mengucapkan mantera sambil mengusap-usap kepala Jalo untuk menambah kekuatan
cucunya tersebut. Bukan hanya neneknya, tetapi seluruh famili ibunya juga
memahami bahwa di dalam diri Jalo mengalir kekuatan-kekuatan yang di luar
dugaan. Menurut anggapan famili ibunya ini yang masih berpaham animisme,
kemungkinan kebesaran jiwa Datu Mangantar Bilang telah turun kepada Jalo,
mewarisi tangkal segala begu-begu dan binatang buas.
Anggapan ini makin
kuat ketika Jalo berusia sekitar enam tahun sering berkunjung sendirian
melintasi hutan Saba Lancat dan rawa-rawa Aek Bakka dan hutan Sihilap menuju ke
kampung Paran Padang; sesuatu yang tidak dilakukan oleh anak-anak seusianya.
Apalagi pada masa itu, kawasan tersebut terkenal sangat angker, banyak dihuni
binatang-binatang buas dan tempat pemujaan tangkal-tangkal panyihat.
Panyihat menurut
paham animisme di Tapanuli adalah abu bayi yang digongseng dan dimasukkan ke
dalam priuk tanah lalu disimpan di tempat pemujaan di bawah pohon besar untuk
menolak bala penyakit.
Jalo sering
mengunjungi ke kampung Paran Padang karena dapat bermain-main dengan
saudara-saudara dari pihak mendiang ayahnya yang masih banyak di desa itu,
terutama dengan Tahuru yang merupakan saudara sepupu dari amangtuanya (saudara
kandung ayah), Ja Pattis.
Pertemanan Jalo dan
Tahuru tidak hanya pada masa kecil, bahkan sampai mereka dewasa dan berusia
tua. Hal ini kemungkinan disebabkan antara kedua orang tua anak itu ada saling
titip amanah di saat penyerangan Pongki Nangolngolan dan tentaranya. Selain
Tahuru, Jalo memiliki saudara sepupu lainnya yang merupakan anak paman dari
jalur ayahnya selain Ja Pattis, yaitu Panongonan (putra Ja Moppo), Ja
Galanggang II (putra Ja Panggorean), dan Ja Pane serta Badusin (putra Ja
Naek).
Ketika famili ibunya
mendengar bahwa penduduk Paran Padang hampir seluruhnya telah memeluk agama
Islam, maka ada perasaan kurang senang kepada Jalo. Mereka mencoba melarang
Jalo datang ke Paran Padang. Namun, semakin dilarang malah Jalo semakin sering
bermalam di Paran Padang. Akhirnya, Jalo dijauhi oleh pihak keluarga ibunya,
untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan meruncingnya konflik antara kedua
keluarganya ini.
Jalo memutuskan untuk
tinggal berpindah-pindah pengasuh di desa Paran Padang bagian lumban (hulu). Di
bagian lumban hulu itu terletak rumah-rumah kelompok marga Pane, tempat
pemukiman saudara-saudara sepupunya, anak dari pamannya. Sedangkan bagian
lumban hilir milik keluarga Siregar. Di antara hulu dan hilir dari lumbun
tersebut dihuni dari marga-marga lain, yaitu Sitompul, Harahap, dan Nasution.
Setelah menginjak
remaja, seperti keluarganya yang bermarga Pane, diperkirakan ia telah masuk
agama Islam. Namun, ia mulai merasakan kejanggalan dalam kehidupan yang
dijalaninya. Ia mulai merasa tidak enak hati untuk terus-menerus menumpang
makan dari satu rumah ke rumah yang lain walau masih keluarganya sendiri.
Namun dengan
keadaanya yang serba kekurangan dan di tengah perasaan yang membuatnya tidak
nyaman, ada kelebihan-kelebihan yang dimiliki Jalo yang membuat kagum keluarga
besarnya dari marga Pane. Seperti kemampuannya dalam mengobati berbagai jenis
penyakit yang konon disebabkan oleh makhluk halus, gigitan binatang-binatang
berbisa, atau disebabkan oleh faktor lainnya; baik yang menimpa anak-anak
maupun orang tua. Pendeknya, siapa saja yang terkena penyakit, Jalo yang akan
dipanggil untuk memberi pertolongan. Terlebih pertolongannya sangat mujarab.
Dengan kemampuannya tersebut, kini Jalo terkenal sebagai Datu walau usianya
masih sangat muda. Kemampuannya terkenal sampai keluar desa sehingga ia sering
didatangi dan dijemput untuk memberi pengobatan.
Dalam memberi
pengobatan, Jalo masih mencampurkan doa-doanya dengan ajaran animisme. Begitu
pula penduduk Paran Padang waktu itu, walau telah memeluk agama Islam tetapi
cara mengerjakan ajarannya belum begitu sempurna. Masih banyak golongan tua
yang jiwanya masih dipengaruhi unsur-unsur animisme sehingga dalam pengamalan
ajaran Islam masih bercampur baur antara kebudayaan dengan agama.
Misalnya, banyak dalam upacara adat masih digunakan mantera-mantera dalam doa
yang diucapkannya. Atau jika dalam keadaan terkejut atau terdesak, masih
berserah diri kepada begu daripada kepada Allah SWT.
Memang membutuhkan
proses panjang untuk mengubahnya sehingga Jalo merupakan sosok yang mewakili generasinya
yang berada di batas pomparan (keturunan) masa zaman animisme dan zaman agama
Islam. Dengan kata lain, generasi sebelumnya adalah penganut pelbegu dan
generasi di bawahnya sampai sekarang memeluk agama Islam.
Walau Jalo memiliki
kemampuan sebagai seorang tabib, ia lebih senang berpetualang atau menggembala
kerbau. Maka di usia 12 tahun, ia mulai berkelana ke daerah Padang Bolak
(Padang Lawas) untuk menjadi penggembala kerbau milik pamannya, Ja Moppo sesuai
dengan anjuran saudara sepupunya, Panongonan yang merupakan putra dari Ja
Moppo.
Menjadi Penggembala
dan Tabib Kaum Padri
Tujuan kepergian Jalo
bukan hanya untuk menjadi penggembala kerbau saja, tetapi untuk bertemu dengan
Tuanku Tambuse (Tambusai atau Tambusi). Nama aslinya adalah Pakih Saleh yang
berasal dari Dalu-Dalu. Dia salah seorang dari delapan harimau kaum Padri,
pahlawan Islam yang gagah berani dalam peperangan menembus Mandailing, Angkola,
dan Padang Lawas dan kini sedang berkuasa di Padang Lawas.
Dalam catatan sejarah
Indonesia pada tahun 1835, Tuanku Tambuse dari Daluda daerah Rokan menguasai
daerah Padang Lawas.
Jalo ingin membalas
dendam kematian ayahnya karena ia menduga bahwa Tuan Tambuse lah yang telah
membunuh ayahnya. Dugaan ini disebabkan ketidaktahuan Jalo tentang sosok yang
telah membunuh ayahnya. Hanya yang dia ketahui bahwa seorang pahlawan Islam
dari Kaum Padri telah membunuh ayahnya. Di wilayah Padang Lawas tidak ada lagi
pahlawan Islam selain Tuanku Tambuse.
Sambil menggembala
kerbau di padang rumput yang luas, siang dan malam, ia selalu berpikir
bagaimana caranya agar dapat berjumpa dengan Tuanku Tambuse. Beberapa minggu
kemudian kesempatan itu datang. Tuanku Tambuse dan pasukannya melintas daerah
padang rumput, tempat Jalo menggembalakan kerbau-kerbau milik pamannya. Jalo
tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut yang memang sudah lama ia
harapkan. Dengan tekad yang kuat, ia mendatangi pasukan tersebut dan
berbicara kepada salah seorang prajurit.
Prajurit itu bertanya
kepada Jalo, “Apa maksudmu mendekati kami, wahai anak gembala?”
”Untuk menjumpai
panglima perang,” jawab Jalo tenang.
”Ada keperluan apa
gerangan?” tanya Tuanku Tambuse yang tiba-tiba saja memotong percakapan
tersebut.
”Kudengar panglima
terkenal gagah berani!”sambung Jalo mengadahkan wajah.
”Ada apa?”
”Ingin berjumpa.”
”Lantas, apa
maksudmu?”
”Saya ingin melihat
berapa banyak dari pasukan ini yang korban dan yang menderita luka-luka.”
”Perlu apa?”
”Kalau ada yang
luka-luka, siapakah yang mengobatinya?” tanya Jalo tanpa ragu.
Sejenak Tuanku
Tambuse bagai terpana mendengar pertanyaan anak gembala itu. Sambil memandangi
wajah si anak gembala itu beberapa saat kemudian Tuanku Tambuse bertanya lagi,
”Perlu apa engkau ketahui, kampung mana yang menyuruhmu?”
”Tidak ada yang
menyuruh saya,” jawab Jalo meyakinkan. lalu ia mengatakan, ”Saya sendiri datang
untuk memberi pertolongan terutama akan mengobati orang yang ditimpa penyakit
dan luka-luka dalam peperangan.”
Mendengar penjelasan
itu, segera Tuanku Tambuse membawa Jalo ke tempat pahlawan-pahlawan perang yang
sedang dalam perawatan di sebuah pemukiman yang berada di sekitar Gunung Tua.
Begitu semangat Jalo bergabung dengan Tuanku Tambuse dan pasukannya, tanpa ia
sadari, ia meninggalkan begitu saja kerbau-kerbau gembalaan milik pamannya, Ja
Moppo. Sebuah tindakan yang kelak menimbulkan ketegangan dan konflik dengan
Panongonan , putra Ja Moppo yang sebaya dengannya.
Konflik itu kemudian
mereda setelah anak Panongonan, yaitu Abdul Halim dibantu oleh Jalo ketika
mengalami kesulitan hidup. Dari Abdul Halim inilah lahir Kol. CPM (Purn.) Dr.
Djalaluddin Pane, SH.
Sebenarnya maksud
Jalo bukan hanya untuk memberikan pengobatan, tetapi juga untuk menyelidiki
siapa sebenarnya panglima Islam yang datang ke tanah Sipirok beberapa tahun
yang lampau yang telah membunuh ayahnya.
Setibanya Jalo di
sebuah rumah besar yang merupakan ”markas”, ia dipersilakan Tuanku Tambuse
untuk mengobati oang-orang yang sakit yang terluka dalam peperangan dari daerah
Riau sampai ke Padang Lawas. Umumnya luka yang dialami karena senjata tajam,
terkilir, dan malaria.
Cara pengobatan Jalo
adalah dengan menghampiri para pasiennya satu per satu, lalu mengobati mereka
dengan menggunakan ramuan yang berasal dari dedaunan sambil membaca beberapa
potong mantera dan kemudian menyembur-nyemburkan ludah sambil menyentuh bagian
yang terluka atau yang sakit dari si pasien.
Pengobatan Jalo
mendapatkan hasil yang menakjubkan. Beberapa hari kemudian, sebagian besar
pasiennya menjadi sembuh. Luka yang semula membengkak bernanah berangsur-angsur
mengering. Bagi yang terkilir atau keseleo kembali normal. Karena
keahliannya ini, ia hanya ditugaskan untuk mengobati anggota pasukan yang
sakit, tidak ditugaskan berperang, dan dikenal dengan julukan tabib muda.
Sedangkan masyarakat umum mengenalnya sebagai Datu Sakti.
Julukan Datu Sakti
diberikan oleh masyarakat kepada Jalo karena ada beberapa kejadian yang
menunjukkan bahwa dia memang memiliki kesaktian. Misalnya saja, sering sekali
datang laporan kepadanya bahwa ada orang yang sedang mendapatkan marabahaya
pada suatu tempat, si pelapor yang bermaksud menjemput itu lantas disuruh
pulang terlebih dahulu. Tapi yang mengherankan, Jalo dapat tiba lebih dahulu di
tempat si pasien daripada si pelapor. Kejadian-kejadian ini sampai ke
telinga Tuanku Tambuse dan membuatnya semakin kagum dengan kehebatan Jalo.
Selama menjadi tabib
bagi pasukan Tuanku Tambuse, Jalo juga menjadi jembatan persahabatan
antara masyarakat dan pasukan Tuanku Tambuse. Selain itu, ia juga rajin belajar
ajaran-ajaran Islam yang langsung didapatnya dari Tuanku Tambuse yang memiliki
kebiasaan setiap selesai sholat isya memberikan pelajaran agama Islam. (bersambung…)
Rakhmad Zailani Kiki.
Penulis adalah sekretaris RMI NU DKI Jakarta. Ia juga diamanahi sebagai Kepala
Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre (JIC).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar