Menyehatkan (Kementerian) Demokrasi
Oleh: Yudi Latif
Agak memalukan! Berbagai pihak mulai berebut jabatan menteri,
seperti meminta bagian ”rampasan perang”. Jika tujuannya mulia demi kebaikan
negeri, jabatan menteri itu bukanlah suatu kedudukan yang harus diminta,
melainkan suatu kehormatan bagi yang pantas. Salah satu kunci pokok sistem
pemerintahan Indonesia menggariskan, ”Meskipun kedudukan menteri negara
bergantung kepada presiden, mereka bukan pegawai tinggi biasa. Sebab,
menteri-menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintah dalam
praktik.”
Dalam penjelasan atas ketentuan itu, Soepomo mengingatkan perlunya
mempertimbangkan prasyarat keluhuran moral dan kapasitas kenegarawanan dalam
pengangkatan dan pemberhentian menteri. ”Sudah tentu orang-orang menjadi Staatsman, menjadi pegawai
negara yang begitu tinggi harus mempunyai perasaan tanggung jawab, bukan saja
kepada diri sendiri, melainkan juga kepada umum.” Soepomo juga mengingatkan,
sekiranya para menteri memiliki kepekaan dan rasa tanggung jawab pada
kemaslahatan negara dengan sendirinya harus berlapang jiwa untuk mundur
sekiranya dewan yang mencerminkan aspirasi publik menghendakinya.
Mengapa banyak pihak berebut jabatan menteri? Padahal, sekiranya
seseorang punya itikad jadi menteri yang baik, ketulusan berbakti harus
diniatkan sejak awal, mengingat gajinya yang relatif tak seberapa dibandingkan
dengan tanggung jawab yang begitu besar. Mereka yang begitu menggebu menuntut
jabatan menteri bisa dicurigai punya motif terselubung. Bahwa posisi itu bukan
demi kebaikan segenap bangsa, melainkan demi kepentingan perseorangan dan
golongan tertentu.
Berebut jabatan menteri memperlihatkan salah satu gejala buruk
dalam demokrasi kita. Selama Orde Reformasi, praktik demokrasi berhenti sebatas
pesta pemilihan (pemilu dan pilkada) secara langsung. Sementara prasyarat lain
yang diperlukan bagi penyehatan demokrasi tak dihiraukan. Nyaris dilupakan bahwa
efektivitas demokrasi sulit dicapai manakala kehidupan bangsa mengalami
fragmentasi identitas nasional, penurunan tingkat literasi, dan perluasan
ketidaksetaraan.
Fragmentasi sosial memburuk seiring dengan melambungnya biaya
politik dan penetrasi ideologi transnasional. Menguatnya peran modal finansial
membuat partai politik dan lembaga perwakilan didominasi kalangan berduit.
Sebagai reaksi, golongan kurang tajir mengembangkan mekanisme defensif melalui
mobilisasi sentimen kultural-primordial.
Mereka yang ikut perahu pemenang menuntut jatah kuasa. Sementara
mereka di perahu yang kalah terus mengobarkan politik identitas; menarik batas
tegas antara kawan dan lawan. Polarisasi masyarakat menjalar.
Kohesi sosial kian meruncing manakala perbedaan penguasaan modal
finansial bertaut dengan perbedaan identitas primordial. Penguasaan modal atas
politik bisa menguatkan persepsi permarjinalan identitas lain. Akibatnya,
meluasnya kesenjangan sosial bisa mengobarkan permusuhan antaridentitas.
Penerimaan atas persamaan identitas nasional memudar ditepikan oleh persamaan
identitas primordial.
Hal ini berjalan simultan dengan rendahnya tingkat literasi dan
meluasnya penggunaan media baru. Pada saat yang sama, meluasnya penggunaan
media sosial mengubah pola terpaan media. Dengan keragaman pilihan media serta
program siaran, generasi terkini justru cenderung memilih informasi secara
selektif, sesuai preferensinya.
Dengan minat baca yang rendah, kebanyakan mereka lebih terpapar
informasi dari sesama jaringannya secara eksklusif. Apabila kenyataan ini
bertaut dengan pola-pola keagamaan, permukiman, persekolahan, dan pekerjaan
yang eksklusif yang merenggangkan perjumpaan antaridentitas maka realitas
sosial dan realitas maya saling menguatkan bayangan keberlainan yang menjadikan
kontestasi politik sebagai zona peperangan antar-eksklusivitas.
Untuk mengobati berbagai penyakit dalam demokrasi kita, diperlukan
transformasi kesadaran bahwa demokrasi tak berhenti sebatas pemilihan. Politik
bukan sekadar pertarungan kuasa, melainkan wahana pengembangan kebijakan publik
yang diorientasikan untuk memperbaiki tata nilai, tata kelola demokrasi dan
kenegaraan, serta tata kelola kesejahteraan demi kebahagiaan dan kemajuan hidup
bersama. Perhatian dan komitmen segenap elemen bangsa harus dicurahkan ke sana,
ketimbang rebutan jabatan menteri bagi yang tak pantas, yang bisa memperparah
persoalan bangsa. []
KOMPAS, 11 Juli 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar