Hukum Memancing Ikan di
Kolam Pemancingan
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, banyak
tetangga dan teman saya pergi mengail ikan di kolam pemancingan. Mereka datang
lalu membayar sejumlah uang kepada pengelola pemancingan. Setelah membayar,
sejumlah kilogram ikan dilepas ke dalam kolam. Mereka lalu mencari tempat duduk
di sudut kolam untuk memancingnya. Mohon penjelasan perihal ini. Terima kasih.
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Syafi‘i – Sawangan, Depok
Jawaban:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT
menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Sebagian masyarakat mengisi waktunya
untuk memancing ikan di kolam pemancingan atau di laut karena hobi, sekadar
pengisi waktu akhir pekan, atau sebab lain.
Aktivitas mengail atau memancing ikan pada
dasarnya boleh saja. Tetapi aktivitas mengail ikan di kolam pemancingan
bergantung pada akad pemancing dan pengelola pemancingan. Pasalnya, transaksi
pemancing dan pengelola pemancingan di lapangan terdiri atas sejumlah bentuk
akad.
Salah satu bentuk akad yang dilarang adalah
sewa kolam pemancingan untuk diambil ikannya. Hal ini pernah dibahas dalam
Forum Muktamar Ke-9 NU di Banyuwangi pada 8 Muharram 1353 H/ 23 April 1934 M.
Pertanyaan yang mengemuka saat itu adalah,
“Kalau menyewa tambak (balong) untuk mengambil ikannya dengan memancing atau
menjaring, si penyewa kadang-kadang mendapat ikan banyak dan kadang-kadang
tidak mendapat. Apakah menyewanya itu sah atau tidak?”
Forum muktamar saat itu menjawab, “Tidak sah
menyewanya. Uang sewanya pun tidak halal karena barang itu tidak boleh menjadi
hak milik dengan akad sewa.”
وَخَرَجَ
بِغَيْرِ مُتَضَمِّنٍ لِاسْتِيْفَاءِ عَيْنٍ مَا تَضَمَّنَ اسْتِيْفَاؤُهَا أَيِ
اسْتِئْجَارُ مَنْفَعَةٍ تَضَمَّنَ اسْتِيْفَاءَ عَيْنٍ كَاسْتِئْجَارِ الشَّاةِ
لِلَبَنِهَا وَبِرْكَةٍ لِسَمَكِهَا وَشُمْعَةٍ لِوُقُوْدِهَا وَبُسْتَانٍ
لِثَمْرَتِهِ فَكُلُّ ذَلِكَ لاَ يَصِحُّ. وَهَذَا مِمَّا تَعُمُّ بِهِ الْبَلْوَى
وَيَقَعُ كَثِيْرًا.
Artinya, “Dan dengan kalimat, ‘Tanpa
berkonsekuensi mengambil barang’ tidak termasuk pemakaian manfaat barang sewaan
yang berkonsekuensi mengambil barangnya, seperti menyewa kambing untuk diperah
susunya, kolam untuk diambil ikannya, lilin untuk dinyalakan dan kebun untuk dipetik
buahnya. Semua itu tidak sah. Hal seperti ini termasuk fitnah yang sudah
mewabah dan banyak terjadi,” (Lihat Bakri Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut
Thalibin, [Singapura, Sulaiman Mar’i: tanpa catatan tahun], jilid III, halaman
114).
Umumnya praktik yang terjadi di lapangan
adalah pembayaran ikan sekian kilogram oleh pemancing kepada pengelola kolam
pemancingan. Ikan tersebut kemudian dilepas dikolam untuk dipancing di mana
pemancing yang membeli ikan tersebut tidak sendirian karena ada pemancing lain
di kolam tersebut.
Dengan praktik demikian, para pemancing itu
tidak menentu dalam mendapatkan hasil tersebut. Bisa jadi mereka mendapatkan
sedikit, mungkin juga mendapatkan ikan lebih banyak dari yang mereka beli di
samping ketidakjelasan ikan milik siapa yang mereka dapatkan. Praktik
seperti ini mengandung gharar (sejenis transaksi produk gelap sifat, rupa,
jumlahnya). (Lihat Abu Bakar Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, [Beirut, Darul Fikr:
1994 M/1414 H], juz I, halaman 198 dan 202).
Adapun praktik lain yang terjadi di lapangan
adalah pemancing mendatangi kolam pemancingan, lalu mengail ikan. Setelah
selesai, hasil pancingannya ditimbang untuk mengetahui bobotnya dan kemudian
dibayarkan sesuai dengan jumlah kilogram ikan tersebut. Praktik seperti ini dibolehkan
karena tidak lain adalah praktik jual-beli.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa
dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari
para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar