Kisah Sahabat Ukasyah bin Mihshan yang
Menuntut Rasulullah SAW
Semua bermula setelah Surat An-Nashr
diturunkan. Surat ini menandai wafat Rasulullah dalam waktu yang tidak lama
setelah surat ini diturunkan. Demikian penafsiran Sahabat Ibnu Abbas, pakar
tafsir di era sahabat.
إذا
جاء نصر الله والفتح (1) ورأيت الناس يدخلون في دين الله أفواجا (2) فسبح بحمد ربك
واستغفره إنه كان توابا
Tentang Surah An-Nashr ini, Jabir bin
Abdillah dan Abdullah bin Abbas meriwayatkan bahwa setelah surat ini turun,
Rasulullah SAW berkata, “Wahai Jibril. Jiwaku sudah terasa lelah.”
Jibril AS mengatakan, “Akhirat itu lebih baik
bagimu daripada dunia. Dan, pasti Tuhanmu akan memberikan (sesuatu) kepadamu
dan kamu merasa ridha.”
Rasulullah lantas memerintahkan Bilal agar
memanggil orang-orang untuk melaksanakan berkumpul di Masjid. Kaum Muslim
segera berdatangan ke Masjid Nabawi, kemudian Rasulullah naik ke atas mimbar.
Dari atas mimbar beliau memuji Allah kemudian menyampaikan khotbah yang membuat
hati bergetar dan air mata berderai tangis.
“Wahai manusia. Nabi model apa aku ini bagi
kalian?”
Para sahabat menjawab, “Semoga Allah
memberikan balasan kebaikan sebab kenabianmu. Engkau bagi kami bagaikan ayah
yang penyayang, saudara yang bijak dan baik hati. Engkau telah menyampaikan
risalah Allah dan engkau telah mengajak ke jalan Tuhanmu dengan cara yang bijak
dan dengan tutur kata yang santun. Semoga Allah memberikan balasan kebaikan
yang lebih besar dari balasan yang diterima oleh nabi lainnya.”
Nabi berkata, “Wahai kaum Muslim. Demi Allah
dan demi hakku atas kalian. Barang siapa yang pernah aku zalimi tanpa
sepengetahuanku, berdirilah dan balaslah kezalimanku itu.”
Tidak seorang pun berdiri. Rasulullah lantas
mengulangi ucapannya itu, dan tidak seorang pun yang berdiri.
Rasulullah mengulangi kata-kata itu untuk
ketiga kalinya, “Wahai kaum Muslim. Demi Allah dan demi hakku atas kalian.
Barang siapa yang pernah aku zalimi tanpa sepengetahuanku, berdirilah dan
balaslah kezalimanku itu, sebelum aku dibalas pada hari kiamat nanti.”
Tiba-tiba ada seorang kakek berdiri. Kakek
itu melangkah melewati barisan jamaah hingga ia sampai di hadapan Rasulullah.
Kakek itu bernama Ukasyah bin Mihshan.
Ukasyah lantas berkata, “Demi ayah dan ibuku.
Andai engkau tidak mengucapkan kalimat itu sampai tiga kali, pasti aku tidak
akan maju. Dulu, aku pernah bersamamu dalam satu perang. Setelah perang
selesai, dan kita mendapatkan kemenangan, kita segera pulang. Untaku dan untumu
berjalan sejajar. Aku turun dari unta, mendekatimu karena aku ingin mencium
pahamu. Namun, tiba-tiba engkau mengangkat pecut dan pecut itu mengenai
perutku. Aku tidak tahu, apakah kejadian itu engkau sengaja atau engkau ingin
memecut unta.”
Rasulullah langsung berkata, “Aku berlindung
kepada Allah dari perbuatan memecutmu dengan sengaja. Wahai Bilal. Pergilah
engkau ke rumah Fathimah, dan ambilkan pecut yang tergantung.”
Bilal langsung berangkat menuju rumah
Fathimah. Tangan Bilal menepuk kepala sambil teriak histeris, “Luar biasa. Ini
Utusan Allah meminta dirinya untuk diqisas (dibalas)!”
Sampai di rumah Fathimah, Bilal mengetuk
pintu dan berkata, “Wahai Putri Rasulullah. Ambilkan pecut yang tergantung itu.
Serahkan kepadaku.”
Fathimah bertanya, “Wahai Bilal. Apa yang
akan dilakukan ayahku dengan pecut ini? Bukan hari ini adalah hari haji, bukan
hari perang.”
Bilal menjawab, “Wahai Fathimah. Kamu pasti
tahu akhlak ayahmu. Beliau menitipkan satu agama. Beliau akan meninggalkan
dunia ini. Dan, beliau memberikan kesempatan pada siapa pun untuk membalas
(qisas) kesalahannya.”
Fathimah lantas berkata, “Wahai Bilal. Siapa
orang yang tega menuntut balas (qisas) dari Rasulullah?! Katakanlah kepada
Hasan dan Husein, agar keduanya saja yang menerima pembalasan itu, sebagai
pengganti Rasulullah. Minta orang itu membalas (melakukan qisas) kepada Hasan
dan Husein, dan jangan membalas Rasulullah.”
Bilal kembali ke masjid dan meyerahkan pecut
itu kepada Rasulullah. Rasulullah SAW lantas menyerahkan pecut itu kepada
Ukasyah.
Abu Bakar dan Umar segera berdiri dan berkata
kepada Ukasyah, “Wahai Ukasyah. Balaslah kepada kami berdua. Kami ada di
hadapanmu. Jangan engkau balas Rasulullah.”
Rasulullah berkata kepada Abu Bakar dan Umar,
“Diamlah kalian berdua, wahai Abu Bakar dan Umar. Allah tahu ketinggian derajat
kalian berdua.”
Ali pun berdiri dan berkata, “Wahai Ukasyah.
Sepanjang hidupku, aku selalu bersama Rasulullah. Sungguh aku tidak tega
melihat Rasulullah dipecut. Ini badanku. Balaslah. Pecutlah aku seratus kali.
Jangan kau balas Rasulullah.”
Rasulullah berkata, “Wahai Ali. Duduklah.
Allah tahu derajatmu dan niat baikmu.”
Selanjutnya Hasan dan Husein juga berdiri dan
berkata, “Wahai Ukasyah. Engkau kan tahu bahwa kami adalah darah daging
Rasulullah. Engkau membalas kepada kami sama dengan engkau membalas
Rasulullah?”
Rasulullah menjawab, “Duduklah, buah hatiku.
Allah tidak akan melupakan kemuliaan kalian.”
Rasulullah kemudian berkata kepada Ukasyah,
“Wahai Ukasyah. Silakan. Pecutlah aku.”
“Wahai Rasulullah. Ketika engkau memecut
perutku, perutku dalam keadaan terbuka,” kata Ukasyah.
Rasulullah SAW langsung menyingkap pakaian
hingga perutnya terbuka. Jamaah semakin histeris melihat pemandangan itu.
Mereka menangis menjadi-jadi.
Mereka menegur Ukasyah, “Apakah engkau
betul-betul akan memecut Rasulullah, wahai Ukasyah?!..”
Ukasyah lantas melihat perut Rasulullah, dan
dia tak kuasa menahan diri, langsung merangsek tubuh Rasulullah SAW dan
menciumi perutnya.
“Demi ayah dan ibuku, siapa orang yang tega
melakukan pembalasan kepadamu, wahai Rasulullah,” ujar Ukasyah.
Rasulullah berkata, “Lastas katakanlah, kau
ingin membalas atau memaafkan aku?”
Ukasyah, “Sungguh aku telah memaafkanmu
karena aku berharap mendapatkan ampunan dari Allah pada hari Kiamat.”
Rasulullah berkata, “Siapa yang ingin melihat
temanku di surga nanti, lihatlah kakek ini.”
Kaum Muslim langsung berdiri mengerubungi
Ukasyah dan menciumi keningnya. Mereka berkata kepada Ukasyah, “Alangkah
beruntungnya kamu. Alangkah beruntungnya kamu. Kamu akan mendapatkan derajat
yang sangat tinggi, berdampingan dengan Rasulullah di surga.“
Setelah peristiwa tersebut, Rasulullah jatuh
sakit selama delapan belas hari. Tepat pada hari Senin, Rasulullah wafat,
meninggalkan dunia yang fana ini.
Nabi Muhammad SAW adalah seorang nabi dan
rasul. Ia dijamin masuk surga, bahkan pasti berada di tempat paling tinggi dan
paling mulia di sisi Allah. Namun, beliau begitu hati-hatinya terhadap manusia.
Ia tidak ingin meninggalkan dunia ini, sementara masih ada orang yang “sakit
hati” kepadanya. Beliau minta dibalas (diqisas) agar dirinya tidak dibalas di akhirat.
Fitnah, dusta, caci-maki dan kezaliman
lainnya yang disebarkan akan menjadi tanggung jawab penyebarnya di akhirat
nanti. Herannya, para penyebar fitnah dan para pencaci tenang-tenang saja.
Padahal, Nabi begitu gelisah hanya karena satu kesalahan yang tak disengaja
terhadap Sahabat Ukasyah. Fasyhad. Qad ballaghtul qishah… []
(KH Taufik Damas, Wakil Katib Syuriyah PWNU
DKI Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar