Membawa Jimat saat Tes
CPNS, Bagaimana Islam Memandang?
Akhir-akhir ini publik dipenuhi oleh berbagai
berita tentang peserta tes CPNS yang membawa berbagai macam jimat, mulai dari
tulisan berbahasa Arab, kain, tali pocong dan benda-benda lain yang dianggap
memiliki kekuatan supranatural. Meski sudah tahu bahwa membawa benda-benda
demikian adalah suatu larangan, tetap saja setiap tahunnya ditemukan kejadian
yang sama. Ironisnya bahkan ada yang sampai menaruh aneka jimat tersebut dalam
tempat yang dianggap tidak layak seperti bra dan celana dalam.
Sebenarnya bagaimanakah fenomena tersebut
ketika ditinjau dari aspek fiqih dan teologi?
Dalam disiplin teologi, jimat hanya dapat
dibenarkan ketika pengguna jimat meyakini bahwa yang menentukan terjadinya
sesuatu (muatssir) hakikatnya adalah Allah ﷻ bukan berasal dari
jimat yang ia pakai, dan juga bukan karena kekuatan yang diciptakan oleh
Allah pada jimat tersebut.
Pemahaman demikian juga berlaku pada segala macam
benda yang memiliki fungsi secara adat untuk memberikan suatu bekas/pengaruh
(atsar) ketika dijalankan. Sehingga secara teologis, kita wajib meyakini bahwa
yang dapat membakar suatu benda itu hakikatnya adalah Allah ﷻ. Bukan zat api, atau kekuatan yang diberikan oleh Allah pada
api. Begitu juga berlaku pada contoh-contoh yang lain seperti makanan, pisau,
minuman dan materi kebendaan lainnya. Seperti yang disinggung dalam Al-Qur’an:
وَمَا
رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَ اللَّهَ رَمَى
“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu
melempar, tetapi Allah-lah yang (sebenarnya) melempar.” (QS. Al-Anfal: 17)
Perincian tentang konsep di atas, dijabarkan
secara rinci dalam kitab Tuhfah al-Murid:
فمن
اعتقد أن الأسباب العادية كالنار والسكين والأكل والشرب تؤثر فى مسبباتها الحرق
والقطع والشبع والرى بطبعها وذاتها فهو كافر بالإجماع أو بقوة خلقها الله فيها ففى
كفره قولان والأصح أنه ليس بكافر بل فاسق مبتدع ومثل القائلين بذلك المعتزلة
القائلون بأن العبد يخلق أفعال نفسه الإختيارية بقدرة خلقها الله فيه فالأصح عدم
كفرهم ومن اعتقد المؤثر هو الله لكن جعل بين الأسباب ومسبباتها تلازما عقليا بحيث
لا يصح تخلفها فهو جاهل وربما جره ذلك إلى الكفر فإنه قد ينكر معجزات الأنبياء
لكونها على خلاف العادة ومن اعتقد أن المؤثر هو الله وجعل بين الأسباب والمسببات
تلازما عادي بحيث يصح تخلفها فهو المؤمن الناجى إن شاء الله إهـ
“Barangsiapa yang meyakini bahwa sebab-sebab
yang bersifat adat seperti api, pisau, makanan, minuman memberikan bekas pada
musababnya berupa terbakar, terpotong, kenyang dan segar dengan watak dasar dan
zat benda-benda tersebut maka dia dihukumi kafir menurut kesepakatan para
ulama’. Atau ia meyakini bahwa yang memberikan bekas adalah kekuatan yang
diciptakan oleh Allah pada benda tersebut maka dalam menghukumi kekufurannya
terjadi dua pandangan. Menurut pendapat yang lebih sahih ia tidak kafir namun
dihukumi fasik dan mubtadi’ (pelaku bid’ah). Contoh kaum yang berpandangan
demikian adalah Muktazilah yang berpendapat bahwa manusia menciptakan
perbuatannya sendiri sesuai kehendaknya dengan adanya sifat qudrah yang Allah
ciptakan pada diri manusia. Menurut pendapat yang kuat, kaum Muktazilah ini
tidak sampai dihukumi kafir.
Barang siapa yang meyakini bahwa yang
memberikan bekas adalah Allah, namun Allah mengikatkan antara sabab dan musabab
dengan sebuah ikatan yang bersifat dalam jangkauan akal sekiranya tidak mungkin
untuk beralih dari hasilnya musabab maka dia adalah orang yang bodoh. Terkadang
keyakinan demikian akan menariknya pada kekufuran, sebab ia menginkari terhadap
mukjizat para nabi, karena mukjizat adalah sesuatu yang keluar dari hukum adat.
Dan barang siapa yang berkeyakinan bahwa yang memberi bekas adalah Allah, dan
Allah mengikatkan antara sabab dan musabab dengan sebuah ikatan yang bersifat
adat, sekiranya masih ada kemungkinan sebab tersebut untuk tidak menghasilkan
musabab maka dia adalah Mukmin yang selamat. Insya Allah.” (Syekh Ibrahim,
al-Baijuri, Tuhfat al-Murid, hal. 58)
Selain tergolong dalam pembahasan muatsir,
ada kemungkinan juga peserta CPNS tersebut membawa jimat yang beraneka ragam
jenis itu dengan tujuan tabarruk (mengharap berkah). Tujuan tabarruk ini tiada
lain hanyalah perantara untuk sampai pada Allah dalam hal mewujudkan sebuah
kebaikan yang diharapkan. Misalnya, peserta tes berkeyakinan bahwa dengan
membawa kertas bertuliskan ayat Al-Qur’an ia semakin dapat mendekatkan dirinya
pada Allah sehingga dengan perantara kertas tersebut ia dikabulkan doanya dan
dapat lolos dalam tes CPNS yang dijalaninya.
Penjelasan tentang tabarruk ini dibahas dalam
kitab Mafahim Yajibu an Tushahhah:
ينبغي
أن نعلم أن التبرك ليس هو إلا توسلا إلى الله سبحانه وتعالى بذلك المتبرك به سواء
أكان أثرا أو مكانا أو شحصا
“Hendaknya kita mengerti bahwa Tabarruk tiada
lain hanyalah perantara pada Allah ﷻ dengan menggunakan
benda yang dijadikan objek tabarruk. Baik objek itu berupa suatu benda, tempat,
atau seseorang” (Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Mafahim Yajibu an
Tushahhah, hal. 249)
Sedangkan kajian fiqih dalam pembahasan ini
terletak pada permasalahan hukum asal menggunakan jimat ini. Menggunakan jimat
adalah hal yang diperbolehkan oleh syara’ selama dalam koridor yang telah
dijelaskan dalam pembahasan teologi di atas yaitu tetap meyakini bahwa yang
mendatangkan kebaikan adalah Allah. Dalam disiplin fiqih, konsep tentang
jimat yang dalam bahasa Arab dikenal dengan kata tamaim, dihukumi sama dalam banyak
kasus dengan pembahasan tentang ruqyah (pengobatan dengan doa).
Dalam hadits dijelaskan:
كنا
نرقي في الجاهلية فقلنا يا رسول الله كيف ترى في ذلك؟ فقال اعرضوا علي رقاكم لا
بأس بالرقى ما لم يكن فيه شرك
“Kami melakukan ruqyah di masa jahiliyah
(dahulu), lalu kami menanyakan pada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah,bagaimana
pendapat anda tentang ruqyah?” Rasulullah menjawab: “berikan padaku ruqyah
kalian! Tidak apa-apa dengan ruqyah, selama tidak mengandung kesyirikan” (HR.
Muslim)
Berhubung dalam informasi yang penulis
dapatkan bahwa membawa benda-benda seperti jimat ini dalam tes CPNS adalah hal
yang dilarang oleh panitia pelaksana, maka secara spesifik menggunakan jimat
dengan cara membawa jimat itu pada saat tes CPNS menjadi hal yang dilarang oleh
syara’. Sebab dengan melakukan tindakan ini berarti peserta tes tidak menaati
terhadap aturan pemerintah, dan hal ini adalah larangan syara’.
Persoalan lain yang perlu disikapi dalam
fenomena ini adalah menaruh jimat pada tempat yang tidak layak, seperti pada
bra dan celana dalam. Jika jimat itu berupa hal-hal yang diangungkan secara
syara’ (muadh-dham), seperti di dalam jimat terdapat nama-nama Allah, Rasul,
ayat Al-Qur’an, dll, maka perbuatan itu adalah perbuatan yang diharamkan bahkan
dapat menyebabkan kekufuran bila ia memang bertujuan menghina terhadap benda
yang diagungkan tersebut (Syekh Muhammad bin Salim, Is’ad ar-Rafiq, juz 1,
hal. 61).
Secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa
keyakinan seseorang dalam hal menggunakan jimat sangatlah berbeda-beda.
Sehingga dalam hal menghukuminya juga bersifat nisbi, namun ketika penggunaan
jimat ini dikhususkan dalam kasus membawa jimat saat tes CPNS maka hukumnya
menjadi satu yaitu dilarang oleh syara’. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar