KHUTBAH JUMAT
Cara Kaisar Heraclius Memverifikasi Kenabian
Muhammad
Khutbah I
بسم
الله الرحمن الرحيم
اَلْحَمْدُ
للهْ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَدَّبَ نَبِيَّهُ مُحَمَّدًا ﷺ فَأَحْسَنَ تَأْدِيْبَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللُه وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، الَّذِيْ جَعَلَ نَبِيَّنَا
مُحَمَّدًا ﷺ صَفِيَّهُ وَحَبِيْبَهُ،
وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا ﷺ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه الْمَبْعُوْثُ الْمَمْلُوْءُ
بِالْهُدَى وَالرَّحْمَة، اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ ﷺ
وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَةْ. أما بعدَه:
فَيَا
عِبَادَ اللهِ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ
الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ، بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Hadirin hafidhakumullâh,
Dalam kesempatan Jumat kali ini, saya
berpesan untuk pribadi saya sendiri dan para hadirin sekalian, mari kita
tingkatkan takwa kita kepada Allah subhânahû wa ta’âlâ seraya menunaikan
semua perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Hadirin.
Nabi Muhammad merupakan utusan Allah sebagai
rahmat untuk seluruh alam. Beliau diutus tidak hanya disuruh berbuat baik
kepada orang mukmin saja, bukan diutus hanya berbuat baik untuk orang muslim
saja. Bukan. Namun Baginda Rasul diutus untuk semuanya, baik manusia secara
keseluruhan, hewan, tumbuhan, semua yang ada di jagat raya ini.
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Artinya: “Kami tidak mengutusmu (Muhammad)
kecuali sebagai rahmat untuk seluruh alam.” (QS Al-Anbiya’: 107)
Sikap Nabi Muhammad menjadi cerminan perilaku
agung bagi seluruh umat manusia. Dalam kitab Ad-Dibaiy, Syekh Abdurrahman
menceritakan, di antaranya:
إِنْ
أُوْذِيَ يَعْفُ وَلَا يُعَاقِبْ، وَإِنْ خُوْصِمَ يَصْمُتْ وَلَا يُجَاوِبْ
Artinya: “Jika disakiti, beliau mengampuni
dan tidak kemudian membalas. Jika didebat, beliau memilih diam dan tidak
melayani perdebatan itu.”
Sayyid Ali bin Alwi Al-Habsyi, dalam maulid
Simtud Durar mengisahkan:
إِذَا
دَعَاهُ الْمِسْكِيْنُ أَجَابَهُ اِجَابَةً مُعَجَّلَةً، وَهُوَ الأاَبُ
الشَّفِيْقُ بِالْيَتِيْمِ وَالْأَرْمَلَةِ
Artinya: “Apabila Nabi Muhammad diundang oleh
orang yang miskin, beliau akan mendatangi undangannya dengan segera. Beliau
merupakan sosok ayah yang kasih sayangnya begitu besar kepada anak yatim dan
para janda.”
Hadirin.
Sangat banyak kisah akhlak Rasulullah yang
diriwayatkan di berbagai buku sejarah. Tidak hanya kepada orang Islam yang iman
saja kebaikan perilakunya diakui. Namun hingga yang tidak mau tunduk pada
beliau pun ketika bicara jujur, mereka mengakui keagungan sikap Nabi Muhammad ﷺ.
Sebagai contoh, berikut ini adalah pengakuan
jujur dari Abu Sufyan kepada Kaisar Heraclius sebagaimana diungkap dalam kitab Irsyâdus
Sârî syarah Shahîh Bukhâri karya Syekh Ahmad bin Muhammad
al-Qathalani juz 1, halaman 72.
Hadirin.
Heraclius atau dalam bahasa latinnya Flavius
Heraclius Augustus merupakan Kaisar Bizantium (Romawi Timur) yang berkuasa
selama 30 tahun yaitu sejak 5 Oktober 610 – 11 Februari 641 setelah ia mampu
melengserkan Pochus.
Kemungkinan, karena pengaruhnya yang besar
disertai luas wilayah kekuasaannya, mendorong Nabi Muhammad untuk berkirim
surat kepada Kaisar Romawi tersebut. Namun ada sedikit kendala. Kaisar belum
mengetahui profil pengirim surat, sehingga ia perlu tahu dahulu siapa
sebenarnya yang mengirimkan surat itu.
Kebetulan, Abu Sufyan bin Harb bersama
orang-orang kafir Quraisy sedang berdagang di Syam. Waktu itu Abu Sufyan belum
masuk Islam. Ia merupakan ayah dari Muawiyah seorang pendiri Bani
Umayyah.
Abu Sufyan bersama rombongan diminta
menghadap Kaisar Romawi. Di sekelilingnya, para punggawa-punggawa kerajaan siap
mendengarkan apa isi risalah yang telah diterima Kaisar.
Kaisar Heraclius mencoba bertanya kepada
rombongan dengan Bahasa Romawi, rombongan dari Arab tidak ada yang paham.
Sehingga perbincangan dibantu dengan translator (penerjemah)
“Mana di antara kalian yang mempunyai
hubungan kerabat paling dekat dengan orang yang merasa dirinya sebagai Nabi itu?”
tanya Heraclius.
“Saya. Saya keluarga paling dekat dengan
orang yang anda maksud,” jawab Abu Sufyan.
Memang Abu Sufyan bin Harb termasuk keluarga
dekat Rasulullah. Ia menjadi suami dari bibi Nabi yang bernama Shafiyyah binti
Abdul Muthallib. Hanya saja ia belum mendapat hidayah masuk Islam kala
itu.
Setelah mengaku sebagai kerabat, Heraclius
tentu yakin, Abu Sufyan banyak tahu kepribadian saudaranya sendiri. Ia meminta
Abu Sufyan dibawa mendekat. “Bawa orang itu mendekat kemari sekaligus
teman-temannya sekalian,” pinta Kaisar.
Kaisar berpesan kepada penerjemahnya,
“Katakan kepada mereka. Saya akan bertanya tentang profil laki-laki yang
mengirim surat ini. Jika dia berbohong kepada saya, maka berbuat bohonglah
kalian kepadanya! Demi Tuhan, kalau bukan karena malu, jika mereka
membohongiku, saya akan membohonginya.”
Setelah bercerita tentang ancaman Kaisar, Abu
Sufyan lalu berkisah. “Sayalah orang pertama yang dicecar aneka macam
pertanyaan raja Romawi itu.”
“Bagaimana nasab laki-laki ini?” tanya
Kaisar.
Saya jawab, “Dia orang yang mempunyai nasab terpandang.”
“Apakah ada orang lain yang pernah sekalipun
mengaku, saya sebagai nabi sebelum dia?”
“Belum pernah ada.”
“Apakah ayah atau nenek moyang dia ada yang
pernah jadi raja?”
“Tidak ada.”
“Siapa saja pengikut laki-laki itu?
Orang-orang terpandang atau kaum lemah?”
“Orang-orang lemah.”
“Bagaimana pengikutnya? Semakin bertambah
atau berkurang?”
“Semakin bertambah terus.”
“Dari pengikut-pengikutnya, setelah mereka
bergabung apakah ada yang menyatakan diri keluar lagi dari komunitasnya
disebabkan kebencian?”
“Tidak ada.”
“Apakah kalian pernah ragu atas kebenaran
ucapannya saat ia akan berbicara.”
“Tidak. Kami tidak pernah meragukan
perkataannya.”
“Apakah dia pernah menipu?”
“Tidak. Selama yang kami tahu, hingga
sekarang, kami tidak pernah tahu dia melakukan penipuan.”
Kaisar menimpali “Saya tidak mampu
menyampaikan kalimat apapun selain kalimat tersebut.”
Ia kembali bertanya “Apakah kalian
memeranginya?”
“Ya.”
“Bagaimana cara perang di antara kalian?”
“Perang antara kami dengan dia (Muhammad)
pasang surut. Terkadang dia yang menang terkadang juga kalah.”
“Apa yang dia perintahkan kepada kalian?”
“Dia (Muhammad) mengatakan ‘Sembahlah Allah
yang Maha Esa. Janganlah kalian sekutukan Allah dengan apapun!. Tinggalkan apa
saja yang pernah dikatakan oleh nenek moyang kalian.’ Dia juga menyuruh kami
melaksanakan shalat, berperilaku jujur, menjaga diri dan selalu menjalin
silaturrahim.”
Usai mendengarkan uraian Abu Sufyan yang demikian
detail, Kaisar Heraclius menyuruh penerjemahnya sebagai penyambung lidah
selanjutnya.
Kaisar menjelaskan, “Yang pertama tadi saya
tanya bagaimana nasabnya, kamu (Abu Sufyan) menjawab, ia mempunyai nasab,
begitulah para rasul (utusan Allah) semuanya juga mempunyai nasab yang
terpandang daripada kaumnya itu sendiri.”
“Saya tanyakan tadi, ‘apakah sebelumnya ada
seseorang yang mengaku juga sebagai nabi sebelumnya?’ Kalau jawabannya ada yang
mengaku, pastinya nabi yang mengaku sebelumnya itulah yang menjadi nabi.”
“Lalu, saya tanyakan apakah di antara bapak
dan nenek moyangnya terdapat orang yang mempunyai pangkat sebagai raja? Kamu
menjawab ‘tak ada satupun’. Saya sampaikan, andai saja dia keturunan raja, saya
meyakini dia sedang berusaha meraih jabatan yang pernah diraih kakek, nenek
moyangnya.”
“Saya tanyakan, ‘apakah kalian pernah menduga
ia melakukan sebuah kebohongan sebelum ia menyampaikan kata-katanya?’ Kamu
menjawab ‘tak pernah’. Perlu saya jelaskan lagi, ‘saya yakin, kalau orang itu
tidak pernah membiarkan dirinya berbohong kepada manusia, pasti ia tidak akan
pernah berbohong kepada Allah.”
“Tadi saya juga menanyakan, ‘pengikutnya
terdiri dari orang-orang terpandang atau kaum lemah?’ Kamu katakan pengikutnya
adalah orang lemah. Begitulah pengikut-pengikut para rasul sepanjang sejarah.”
Pengikutnya adalah orang-orang lemah.
“Saya tadi minta klarifikasi, ‘apakah
pengikutnya terus bertambah atau berkurang?’ Kamu jawab ‘bertambah’. Ya
begitulah keadaan orang yang beriman. Orang beriman itu akan selalu meningkat,
terus meningkat hingga mencapai kesempurnaan imannya.”
“Di antara mereka yang beriman adakah yang
murtad karena benci kepada agamanya itu?’ Kamu jawab ‘tidak ada’. Begitulah
iman. Saat manisnya sudah bercampur menjadi satu dengan hati tidak akan bisa lekang.”
“Saya tanya, ‘apakah dia pernah menipu?’ Kamu
jawab ‘tidak’. Begitulah ihwal para utusan. Ia tak pernah menjadi penipu.”
“Saya tanyakan lagi, ‘apa yang dia
perintahkan kepada kalian?’ Kamu menjawab ‘dia memerintahkan –sembahlah Allah,
jangan sekutukan Dia dengan apapun. Dia mencegah kalian dari menyembah berhala.
Memerintahkan kalian melakukan shalat, jujur dan menjaga diri dari
kemaksiatan.- Apabila yang kamu katakan itu sungguh-sungguh benar, maka orang
itu pasti kelak akan menguasai negeri yang kita injak dengan kedua kaki kita
saat ini. Saya yakin, orang itu sekarang sudah lahir. Sedianya, saya mengira
nabi itu tidak akan lahir dari komunitas kalian, tapi tidak. Ia ternyata lahir
dari golongan kalian. Andai saja saya tahu, sungguh saya sangat berkeinginan
untuk menemuinya. Apabila saya berada di sisinya, pasti saya akan membasuh
kedua telapak kakinya.”
Setelah menjelaskan demikian panjang lebar,
Heraclius meminta dihadirkan surat yang kemudian dibacaan di hadapan Kaisar
Romawi tersebut. Berikut isinya:
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
مِنْ
مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى هِرَقْلَ عَظِيمِ الرُّومِ. سَلاَمٌ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى، أَمَّا بَعْدُ
فَإِنِّي أَدْعُوكَ بِدِعَايَةِ الإِسْلاَمِ، أَسْلِمْ تَسْلَمْ يُؤْتِكَ اللَّهُ
أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ. فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ
الأَرِيسِيِّينَ وَ {يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ
بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَنْ لاَ نَعْبُدَ إِلاَّ اللَّهَ وَلاَ نُشْرِكَ بِهِ
شَيْئًا وَلاَ يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ
تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ}.
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang
maha kasih dan pengasih. Dari Muhammad, hamba Allah dan utusan-Nya kepada
Heraclius pemuka Romawi. Keselamatan semoga selalu tercurahkan kepada orang
yang mengikuti petunjuk Tuhan.
Berikutnya, saya ajak anda dengan seruan
masuk Islam (syahadat). Peluklah Islam, Allah akan memberikan anda pahala
berlipat ganda. Jika anda tidak berkenan, anda akan memikul dosa Arisiyyin (dosa
semua keluarga kerajaan. Sebab dalam beragama, keluarga pasti akan ikut
Heraclius),
Hai para ahli kitab, marilah berpegang kepada
suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu,
bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan
sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai
Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka
‘Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah).
Abu Sufyan kembali melanjutkan kisah
pertemuannya dengan Heraclius. “Setelah Kaisar berbicara banyak dan dibacakan
surat dari Nabi Muhammad, suasana tiba-tiba gaduh. Suara-suara semakin menguat.
Kami kemudian dikeluarkan dari lokasi pertemuan.”
Dalam satu riwayat, hati Kaisar Heraclius
sudah mantap bahwa Nabi Muhammad memang benar-benar hadir. Atas komentarnya
yang mengarah condong kepada Nabi Muhammad, setelah Abu Sufyan keluar,
Heraclius menyuruh orang-orang mengikuti Abu Sufyan itu. Namun tiba-tiba ia
merasa keberatan jika terjadi kegaduhan lebih lanjut. Oleh karena itu, ia
kemudian mengatakan “Ini tadi saya menyuruh kalian mengikuti orang-orang tadi
hanya sebagai ujian saja. Saya mau menguji seberapa patuh kalian
kepadaku.”
Hadirin jamaah Jumat hafidhakumullah,
Abu Sufyan yang belum masuk Islam, Kaisar
Heraclius yang tidak Islam, mau-tidak mau secara jujur ia mengakui akhlak dan
keshahihan perkataan Nabi Muhammad. Apalagi kita yang menjadi seorang muslim.
Sudah menjadi kewajiban kita, acuan adab kita adalah Nabi Muhammad, bukan artis
tv, bukan pula budaya yang jauh dari nilai Islam, mabuk-mabukan, meninggalkan
shalat, suka menggunjing, adu domba dan lain sebagainnya.
Semoga kita diberi pertolongan oleh Allah
subhânahu wa ta’âlâ untuk meniru sikap Nabi Muhamamd ﷺ, amin.
بَارَكَ
اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ العَظِيْمِ، وَجَعَلَنِي وَإِيَّاكُمْ بِماَ
فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. إِنَّهُ هُوَ الْبَرُّ التَّوَّابُ
الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمِ. أعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشيطن الرَّجِيْمِ، بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Khutbah II
الحمد
للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ
وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِي إلىَ
رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ
وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا
بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا
عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ
بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ
وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ
وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ
الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ
اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ
الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ
اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ
اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ
وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ
اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ
وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ.
اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ
وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا
اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا
رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ
حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ
تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَ اللهِ !
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ
وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ
نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar