Aturan Fiqih ketika Galian
Kuburan Mengeluarkan Air
Di antara kewajiban umat Islam terhadap
jenazah saudaranya adalah menguburnya. Ini merupakan fardhu kifayah terakhir
setelah memandikan, mengafani, dan menshalati. Mengabaikannya sama sekali
berakibat dosa kepada umat Islam secara general. Tapi kewajiban tersebut
otomatis gugur saat ada sebagaian dari mereka yang sudah menunaikannya.
Dalam prosesnya, kadang kita menemukan fakta
tanah yang bakal menjadi tempat dikebumikannya jenazah memiliki kandungan air
yang melimpah. Galian tanah mengeluarkan air sehingga dipastikan jenazah akan
basah kuyup saat dimasukkan ke liang lahat. Dalam kondisi seperti ini bagaimana
seharusnya kita bersikap?
Bila kita tetap dengan sengaja memakamkan
jenazah ke dalam kuburan yang mengeluarkan air tersebut maka tindakan kita
masuk kategori penghinaan terhadap orang mati, sebagaimana diputuskan dalam
Muktamar Ke-4 Nahdlatul Ulama pada 19 September 1929.
Manusia adalah makhluk mulia dan dimuliakan
dalam Islam, termasuk ketika ia meninggal dunia. Karena itu jenazah tidak boleh
disakiti, termasuk sengaja menenggelamkannya di tanah lumpur penuh air.
Sehingga, bila memungkinkan, kita dianjurkan untuk berpindah ke lahan lain yang
lebih padat dan tak berair.
Lalu, bagaimana bila memakamkannya dengan
menggunakan peti untuk melindunginya dari air?
Pada dasarnya hukum mengebumikan mayat dengan
peti adalah makruh, menurut mayoritas ulama. Namun, dalam kondisi seperti
dijelaskan di atas status itu berubah menjadi boleh, bahkan dalam situasi
tertentu meningkat menjadi wajib demi kemaslahatan jenazah.
Ibn Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtâj
menjelaskan:
(يُكْرَهُ
دَفْنُهُ فِي التَّابُوْتِ) إِجْمَاعًا لِأَنَّهُ بِدْعَةٌ (إِلاَّ لِعُذْرٍ)
كَكَوْنِ الدَّفْنِ فِيْ أَرْضٍ نَدِيَةٍ بِتَخْفِيْفِ التَّحْتِيَّةِ أَوْ
رَخْوَةٍ بِكَسْرِ أَوَّلِهِ أَوْ فَتْحِهِ أَوْ بِهَا سَبُعٌ تَحْفُرُ أَرْضَهَا
وَاِنْ أُحْكِمَتْ أَوْ تَهَرَّى بِحَيْثُ لاَ يَضْبِطُهُ إِلاَّ التَّابُوْتُ
أَوْ كَانَ اِمْرَأَةً لاَ مَحْرَمَ لَهَا فَلاَ يُكْرَهُ لِلْمَصْلَحَةِ بَلْ لاَ
يَبْعُدُ وُجُوْبُهُ فِيْ مَسْأَلَةِ السِّبَاعِ اِنْ غَلَبَ وُجُوْدُهَا
وَمَسْأَلَةِ التَّهَرِّيْ
Artinya: “Sesuai kesepakatan ulama,
dimakruhkan mengubur jenazah dalam peti, karena termasuk bid’ah, kecuali kalau
ada uzur, seperti di tanah yang lembab atau gembur berair atau adanya binatang
buas yang akan menggalinya walaupun sudah padat yang sekiranya tidak akan bisa
terlindungi kecuali dengan dimasukkan dalam peti, atau jenazah wanita yang
tidak punya mahram. Dalam hal ini status hukum peti tidak lagi makruh karena
alasan kemaslahatan, bahkan bila diperkirakan adanya binatang buas, maka
hukumnya menjadi wajib.” (Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtâj, [Mesir:
Musthafa Muhammad, t. th.], Jilid III, h. 194)
Keterangan yang mirip juga tertuang dalam
kitab I‘ânah al-Thâlibîn:
وَكُرِهَ
صُنْدُوْقٌ إِلاَّ لِنَحْوِ نَدَاوَةٍ فَيَجِبُهُ
Artinya: “Dimakruhkan mempergunakan peti mati
kecuali semisal berada di tanah yang lembab berair, maka hukumnya wajib.”
(Al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’ânah al-Thâlibin, [Semarang: Thaha
Putra, t.th.] Jilid II, h. 117)
Dari keterangan di atas, status hukum
penggunaan peti untuk jenazah berubah-ubah berkaitan dengan situasi yang
meliputi jenazah. Untuk menjamin kehormatan dan keselamatan jenazah, penggunaan
peti justru dianjurkan hingga level wajib. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar