Muhammadiyah-NU Nobel Perdamaian (1)
Oleh: Azyumardi Azra
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) (disebut berdasarkan urutan
alfabet awal nama masing-masing) untuk Nobel Perdamaian. Upaya ini bukan hal
mudah. Hal ini disadari betul sejak awal munculnya ide menominasikan kedua
ormas terbesar Islam Indonesia dari Duta Besar Indonesia untuk Norwegia, Todung
Mulya Lubis.
Nobel Peace Prize sangat kompetitif. Untuk tahun 2019, menurut
situs resmi Nobelprizeorg, ada 301 nomine yang diajukan berbagai nominator
untuk mendapat penghargaan sangat prestisius ini. Jumlah kandidat (nomine) 2019
menduduki tempat keempat; pertama tertinggi pada 2016 dengan 376 kandidat.
Kandidat 2019 terdiri atas 223 individu dan 78 organisasi.
Apakah Muhammadiyah-NU dapat terpilih sebagai penerima Hadiah
Nobel Perdamaian 2019? Wallahu
a'lam bishshawab. Komite Nobel sangat merahasiakannya; tidak ada
isyarat (hints
atau clues).
Masyarakat internasional hanya bisa menunggu sampai Komite Nobel mengumumkannya
pada awal Oktober 2019; dan pada 10 Desember 2019, pemenang bakal menerima
hadiah Nobel Perdamaian di Oslo, Norwegia.
Jika tidak terpilih sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2019,
Muhammadiyah dan NU dapat diajukan lagi pada tahun-tahun berikutnya. Inilah
salah satu poin yang dihasilkan dalam dua Seminar (19 dan 20/6/19) di Oslo yang
diselenggarakan atas kerja sama KBRI Oslo dan CSIS Jakarta dan Peace Research
Institute Oslo (PRIO) untuk mempromosikan Muhammadiyah dan NU sebagai kandidat
penerima hadiah Nobel Perdamaian.
Promosi Muhammadiyah dan NU di Oslo sekali lagi jelas merupakan
upaya strategis memperkenalkan kiprah kedua ormas ini dalam perdamaian
khususnya. Namun, promosi ini tak bisa lain menjadi bagian dari upaya
memperkenalkan Indonesia atau lebih khusus, Islam Indonesia, kepada publik
Eropa dan dunia internasional lebih luas.
Tak banyak masyarakat internasional di berbagai benua, bahkan di
Dunia Muslim sekalipun yang tahu mengenai Muhammadiyah dan NU. Jangankan
Muhammadiyah, NU dan banyak ormas Islam lain seluruh Tanah Air, Indonesia saja
sebagai negara Muslim terbesar tidak mereka kenal.
Sebagaimana bisa dicermati dari wacana yang berkembang dan
pengamatan langsung di lapangan, masyarakat Eropa (dan Barat umumnya) lebih
mengenal dan cenderung mengiden tikkan Islam dengan Dunia Arab, atau Pakistan
dan Bangladesh. Oleh karena itu, dalam persepsi mereka pemikiran dan praksis
Islam dari kawasan-kawasan itu adalah representasi Islam.
Islam Indonesia nyaris absen dalam persepsi Eropa (Barat umumnya).
Masyarakat Eropa dan dunia Barat lain umumnya tidak mengetahui sejumlah fakta
dasar tentang Indonesia, khususnya terkait Islam.
Oleh karena itulah Duta Besar Indonesia, Todung Mulya Lubis,
mencatat: "Despite
being the worlds most populous Muslim-majority country, Indonesia has not had a
central place in European discussion of the changing social and political role
of Islam. This seminar aims to contribute to correcting this by providing an
arena for critical discussion of the interplay between politics, religion and
civil society in Indonesia today".
Lebih jauh, Dubes mencatat: "Indonesia has a strong tradition of moderate Islam.
Mowever, a more radical strain of Islam are on the rise; and questions of
religious identity are playing an increasingly significant role in Indonesian
politics, not least in the last general election. Civil society [such as
Muhammadiyah and NU] have played a central role in cementing the influence of
moderate forms of Islam in Indonesia".
Dengan latar belakang pemikiran seperti itu, kedua seminar di Oslo
berfokus pada peran Muhammadiyah dan NU sebagai agen perdamaian, tidak hanya
dalam sejarahnya yang panjang, tetapi lebih-lebih lagi pada masa kontemporer.
Inilah masa yang ditandai peningkatan radikalisme dan intoleransi yang mengancam
perdamaian dan peradaban.
Seminar pertama bertajuk "The
Role of Civil Society in Facing Radicalism in Indonesian Society"
19/6/2019 di kampus Oslo Metropolitan University. Seminar yang dibuka Dubes RI
untuk Norwegia, Todung Mulya Lubis ini menghadirkan dua pembicara: Dr Abdul
Muthi, sekretaris umum PP Muhammadiyah; dan Dr Marsudi Syuhud, ketua PB NU;
keduanya banyak membicarakan peran masing-masing organisasi, pertama-tama
sebagai ormas dakwah dan pendidikan.
Tetapi, tak kurang pentingnya sebagai organisasi civil society
yang memiliki peran krusial dalam menciptakan dan memelihara perdamaian. Peran
ini menjadi sangat penting dalam menghadapi tantangan radikalisme yang
berkecambah secara global—termasuk di Indonesia—sejak awal milenium baru. []
REPUBLIKA, 05 Jul 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar