Selasa, 09 Juli 2019

(Ngaji of the Day) Penjelasan tentang Wakaf Tunai dalam Islam (2)


Penjelasan tentang Wakaf Tunai dalam Islam (2)

Allah subhânahu wata‘âlâ berfirman di dalam kitab suci Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 261-262:

مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ 

Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan harta mereka di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih bijian yang menumbuhkan tujuh bulir, yang pada tiap-tiap tandannya berbuah 100 biji-bijian. Allah akan melipat gandakan (pahala) bagi orang yang dikehendaki. Dan Allah Maha Luas karunia-Nyalagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 262).

Di dalam ayat selanjutnya Allah subhânahu wata‘âlâ berfirman:

الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا أَنفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى ۙ لَّهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Artinya: Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah kemudian tidak mengiringi nafkahnya itu dengan mengundat-ngundat dan tidak pula menyakiti, maka bagi mereka adalah pahala di sisi Tuhan-nya. Tiada ketakutan bagi mereka serta tiada merasa sedih.” (QS. Al-Baqarah: 263)

Kedua ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah subhânahu wata‘âlâ adalah ibarat menanam kebajikan, yang kelak kebajikan itu pasti berbuah dengan kebajikan lainnya. Buah kebajikan yang paling diharapkan adalah pahala dari Allah. Kedua ayat ini setidaknya dapat dijadikan dasar, bahwa apa yang diinfaqkan oleh seorang hamba, baik itu berupa wakaf, zakat, shadaqah, nafaqah, sumbangan suka rela dan lain sebagainya, asal diniatkan di jalan Allah subhânahu wata‘âlâ, maka tiada kesia-siasaan atas infaqnya tersebut. Infaq bisa batal dari sisi kajian fiqih, namun ia tidak akan pernah batal di sisi pahala jariyahnya. 

Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Thabrany, disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:

نية المؤمن خير من عمله وعمل المنافق خير من نيته

Artinya: “Niat seorang mukmin adalah lebih baik dari amalnya. Sementara niatnya orang munafik adalah lebih baik dibanding niatnya.” (Yahya bin Hamzah al-Yamany, kitab Tashfiyatul Qulûb min Idrânil Auzâr wadz Dzunûb, Al-Muassisah al-Kutub al-Tsaqâfiyyah, tt., halaman 338)

Hadits ini mendapatkan syarah dari Imam Yahya bin Hamzah al-Yamany di dalam kitab yang sama, beliau menyebutkan bahwasanya:

1) Sebuah amal tidak akan ada nilai dan pengaruhnya sama sekali bila tidak disertai dengan niat

2) Niat seorang mukmin sudah dihitung kebaikan setimbang dengan amalnya. Niat orang fasiq (rusak agama dan aqidahnya) juga demikian halnya, dihitung sebagai keburukan setimbang dengan amalnya. Oleh karenanya, tidak ada yang lebih utama antara amal ataukah niat. Keduanya menduduki posisi kebaikan bagi mukmin dan menduduki keburukan bagi seorang fasiq.

3) Niat seorang mukmin akan selalu dinilai sebagai kebaikan meskipun amalnya rusak (batal, red). Amal rusak bisa disebabkan karena ada unsur riya’ atau kurang memenuhi syaratnya amal.

Berangkat dari statemen yang disampaikan oleh Imam Yahya bin Hamzah al-Yamany di atas, maka melanjutkan dari kajian sebelumnya, bahwa andaikan wakaf tunai dianggap sebagai tidak sah secara fiqih, pahala amal dari pewakaf tidak akan pernah sia-sia di hadapan Allah subhânahu wata‘âlâ, disebabkan niat awal pewakaf akan senantiasa dicatat sebagai kebaikan oleh Allah subhânahu wata‘âlâ. Dengan demikian, dari sisi adab tasawuf, tidak ada wujud batalnya pahala disebabkan tidak sahnya amal dari sisi fiqih, kecuali bila menyangkut rukun terpisah dan saling bergantungan antara satu sama lain. Misalnya seperti wudlu dengan shalat. Bila tidak sah wudlu, maka tidak sah shalatnya seorang muslim. Namun, tidak sahnya salat tidak menghilangkan pahala dari qiraah di dalamnya, selagi orang yang membaca tidak sedang hadats besar.

Bagaimanakah agar fiqih tetap memandang sahnya wujud wakaf tunai dari sisi syariat? Adakah kemungkinan untuk melakukan hilah secara fiqih? Simak ulasan berikutnya! []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar