Penjelasan tentang Wakaf
Tunai dalam Islam (2)
Allah subhânahu wata‘âlâ berfirman di dalam
kitab suci Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 261-262:
مَّثَلُ
الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ
أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ
يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang
menafkahkan harta mereka di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih
bijian yang menumbuhkan tujuh bulir, yang pada tiap-tiap tandannya berbuah 100
biji-bijian. Allah akan melipat gandakan (pahala) bagi orang yang dikehendaki.
Dan Allah Maha Luas karunia-Nyalagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 262).
Di dalam ayat selanjutnya Allah subhânahu
wata‘âlâ berfirman:
الَّذِينَ
يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لَا يُتْبِعُونَ مَا
أَنفَقُوا مَنًّا وَلَا أَذًى ۙ لَّهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Artinya: Orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah kemudian tidak mengiringi nafkahnya itu dengan
mengundat-ngundat dan tidak pula menyakiti, maka bagi mereka adalah pahala di
sisi Tuhan-nya. Tiada ketakutan bagi mereka serta tiada merasa sedih.” (QS.
Al-Baqarah: 263)
Kedua ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang
yang menginfakkan hartanya di jalan Allah subhânahu wata‘âlâ adalah ibarat
menanam kebajikan, yang kelak kebajikan itu pasti berbuah dengan kebajikan
lainnya. Buah kebajikan yang paling diharapkan adalah pahala dari Allah. Kedua
ayat ini setidaknya dapat dijadikan dasar, bahwa apa yang diinfaqkan oleh
seorang hamba, baik itu berupa wakaf, zakat, shadaqah, nafaqah, sumbangan suka
rela dan lain sebagainya, asal diniatkan di jalan Allah subhânahu wata‘âlâ,
maka tiada kesia-siasaan atas infaqnya tersebut. Infaq bisa batal dari sisi
kajian fiqih, namun ia tidak akan pernah batal di sisi pahala jariyahnya.
Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Al-Thabrany, disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
نية
المؤمن خير من عمله وعمل المنافق خير من نيته
Artinya: “Niat seorang mukmin adalah lebih
baik dari amalnya. Sementara niatnya orang munafik adalah lebih baik dibanding
niatnya.” (Yahya bin Hamzah al-Yamany, kitab Tashfiyatul Qulûb min Idrânil
Auzâr wadz Dzunûb, Al-Muassisah al-Kutub al-Tsaqâfiyyah, tt., halaman 338)
Hadits ini mendapatkan syarah dari Imam Yahya
bin Hamzah al-Yamany di dalam kitab yang sama, beliau menyebutkan bahwasanya:
1) Sebuah amal tidak akan ada nilai dan
pengaruhnya sama sekali bila tidak disertai dengan niat
2) Niat seorang mukmin sudah dihitung
kebaikan setimbang dengan amalnya. Niat orang fasiq (rusak agama dan aqidahnya)
juga demikian halnya, dihitung sebagai keburukan setimbang dengan amalnya. Oleh
karenanya, tidak ada yang lebih utama antara amal ataukah niat. Keduanya
menduduki posisi kebaikan bagi mukmin dan menduduki keburukan bagi seorang
fasiq.
3) Niat seorang mukmin akan selalu dinilai
sebagai kebaikan meskipun amalnya rusak (batal, red). Amal rusak bisa
disebabkan karena ada unsur riya’ atau kurang memenuhi syaratnya amal.
Berangkat dari statemen yang disampaikan oleh
Imam Yahya bin Hamzah al-Yamany di atas, maka melanjutkan dari kajian sebelumnya, bahwa andaikan wakaf tunai dianggap sebagai
tidak sah secara fiqih, pahala amal dari pewakaf tidak akan pernah sia-sia di
hadapan Allah subhânahu wata‘âlâ, disebabkan niat awal pewakaf akan senantiasa
dicatat sebagai kebaikan oleh Allah subhânahu wata‘âlâ. Dengan demikian, dari
sisi adab tasawuf, tidak ada wujud batalnya pahala disebabkan tidak sahnya amal
dari sisi fiqih, kecuali bila menyangkut rukun terpisah dan saling bergantungan
antara satu sama lain. Misalnya seperti wudlu dengan shalat. Bila tidak sah
wudlu, maka tidak sah shalatnya seorang muslim. Namun, tidak sahnya salat tidak
menghilangkan pahala dari qiraah di dalamnya, selagi orang yang membaca tidak
sedang hadats besar.
Bagaimanakah agar fiqih tetap memandang
sahnya wujud wakaf tunai dari sisi syariat? Adakah kemungkinan untuk melakukan hilah secara fiqih? Simak ulasan berikutnya! []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan
dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar