Hukum Menulis Nama dan
Nasab Jenazah pada Papan Nisan
Hukum Menulis Nama dan Nasab Jenazah pada
Papan Nisan
Masyarakat Indonesia terbiasa menulis nama,
nasab jenazah, hari-tanggal lahir lengkap, dan hari-tanggal wafat lengkap
berikut tahunnya pada patok kuburan atau nisan. Mereka biasanya menulis nama
“fulan bin fulan” atau “fulanah binti fulan”.
Mereka awalnya menuliskan nama dan nasab
jenazah pada nisan kayu. Ahli waris di kemudian hari bisanya mengabadikan
tulisan nama dan nasab jenazah itu pada nisan yang terbuat dari batu.
Lalu bagaimana perihal penulisan nama dan
nasab jenazah di atas kubur?
Ulama Mazhab Syafi’I menyatakan bahwa
penulisan nama dan nasab jenazah pada patok kuburan atau papan nisan adalah
tindakan makruh sebagaimana keterangan Syekh As-Syarbini dalam Al-Iqna’ berikut
ini.
وَتُكْرَهُ
الْكِتَابَةُ عَلَيْهِ) أَيْ عَلَى الْقَبْرِ وَلَوْ لِقُرْآنٍ بِخِلَافِ
كِتَابَةِ الْقُرْآنِ عَلَى الْكَفَنِ فَحَرَامٌ؛ لِأَنَّهُ يُعَرِّضُهُ
لِلصَّدِيدِ
Artinya, “(Makruh menulis sesuatu di
atasnya), yaitu di atas kuburan sekali pun berisi ayat Al-Qur’an. Tetapi
menulis ayat Al-Qur’an pada kain kafan adalah haram karena pontensi terkena
dengan cairan proses penguraian ‘jenazah’,” (Lihat Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib
alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], cetakan pertama,
juz II, halaman 567).
Menangapi keterangan As-Syarbini,
Al-Bujairimi mngatakan bahwa penulisan di atas makam terbilang tindakan makruh
dengan alas an ketiadaan hajat. Ketika penulisan di atas makam itu memiliki
tujuan tertentu, Mazhab Syafi’i tidak memakruhkannya sejauh tindakan ini
dilakukan sesuai kebutuhan.
وَمَحلُّ
كَرَاهَةِ الْكِتَابَةِ عَلَى الْقَبْرِ مَا لَمْ يُحْتَجْ إلَيْهَا، وَإِلَّا
بِأَنْ اُحْتِيجَ إلَى كِتَابَةِ اسْمِهِ وَنَسَبِهِ لِيُعْرَفَ فَيُزَارَ فَلَا
يُكْرَهُ بِشَرْطِ الِاقْتِصَارِ عَلَى قَدْرِ الْحَاجَةِ
Artinya, “Letak kemakruhan membuat tulisan di
atas kubur adalah karena ketiadaan hajat. Tetapi kalau misalnya ada hajat
tertentu untuk menuliskan nama jenazah berikut nasabnya agar dapat dikenali
lalu diziarahi suatu hari kelak, maka tidak makruh dengan syarat sebatas hajat
tersebut,” (Lihat Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib alal Khatib, [Beirut, Darul
Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], cetakan pertama, juz II, halaman 567).
Ulama Mazhab Syafi’i bahkan menganjurkan
penulisan nama para wali, ulama, dan orang saleh di atas makam mereka dengan
maksud mudah diidentifikasi oleh masyarakat. Dengan demikian, dalam jangka
waktu panjang ke depan masyarakat tidak kehilangan tanda untuk menziarahi
makam-makam orang yang dianjurkan oleh agama untuk diziarahi.
لَا
سِيَّمَا قُبُورُ الْأَوْلِيَاءِ وَالْعُلَمَاءِ وَالصَّالِحِينَ فَإِنَّهَا لَا
تُعْرَفُ إلَّا بِذَلِكَ عِنْدَ تَطَاوُلِ السِّنِينَ. ا هـ
Artinya, “Terlebih lagi makam para wali,
ulama, dan orang-orang saleh karena makam mereka takkan dapat diidentifikasi
tanpa penanda melalui tulisan nama mereka dalam jangka waktu panjang tahunan,”
(Lihat Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib alal Khatib, [Beirut, Darul Kutub
Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], cetakan pertama, juz II, halaman 567).
Dari pelbagai keterangan dapat disimpulkan
bahwa penulisan nama dan nasab jenazah di atas makam boleh dilakukan agar makam
tersebut mudah diziarahi di kemudian hari, terlebih lagi makam kedua orang tua,
para wali, ulama, dan orang saleh. Wallahu a‘lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar