Penjelasan tentang Wakaf Tunai dalam
Islam (3-Habis)
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian pertama dari tema tulisan tentang wakaf tunai,
bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah sebuah upaya menahan suatu aset manfaat
bersama tetapnya wujud barang yang disertai hilangnya hak kepemilikan
pewakaf ke suatu bidang jalur wakaf yang mubah karena niat ibadah. Yang
menjadi titik tekan dari definisi ini adalah bahwa wakaf itu, adalah:
1. Ada habsu, yaitu tindakan mencegah pewakaf
pewakaf atas barang yang diwakafkan
2. Aset wakaf adalah berupa aset manfaat atau
aset yang bisa dimanfaatkan
3. Ada wujud barang yang mana wujud barang ini
tidak boleh rusak akibat pemanfaatan. Apabila dirusak, baik dengan sengaja atau
tidak sengaja, maka bagi pihak yang merusak dikenai dlamman (menangggung dan
mengganti barang)
4. Pewakaf hilang status kepemilikannya
terhadap aset selamanya dan berpindah kepada Allah
5. Niat wakaf adalah li al-tabarru’, yaitu
semata karena Allah subhânahu wata‘âlâ
Titik persoalan dari wakaf tunai ini adalah
pada status ibqâu ‘ainil mauquf , yaitu tetapnya wujud aset serta tidak
mengalami kerusakan setelah dimanfaatkan. Ini yang mendasari tidak boleh wakaf
dilakukan dengan dinar atau dirham sebagaimana disampaikan oleh Syeikh Abu
Bakar bin Muhammad Shatha’ di dalam kitabnya yang terkenal, yaitu I’ânatuth
Thâlibîn. Untuk mengurai masalah ini, mari kita buat analogi-analogi!
Pertama, di dalam masyarakat kita, ada
perbedaan cara pandang terhadap uang, dan hal itu sudah umum berlaku. Sebagai
gambarannya adalah ketika nuqud ditasharufkan dalam akad wadi'ah (penitipan)
dunia perbankan. Pada saat seseorang menitipkan uangnya ke bank, akad penitipan
adalah menggunakan akad wadi’ah. Lazimnya penitipan (wadi’ah) adalah kembalinya
barang sesuai dengan saat ketika ia menitipkan. Ketika Pak Udin menitipkan
sepeda motor ke sebuah jasa penitipan, maka pada hakikatnya, ia harus menerima
barang yang sama dengan saat di mana barang tersebut dititipkan pertama kalinya
oleh Pak Udin. Tidak boleh bagi Pak Udin mengambil kembalian berupa sepeda
motor dengan merk dan jenis lain.
Sekarang, bandingkan dengan dasar penerapan
wadiah ini pada lembaga keuangan. Hal yang seharusnya berjalan, adalah ketika
Pak Udin melakukan penarikan saldo tabungannya, ia seharusnya mengambil uang
yang sama saat ia pertama menitipkannya. Konsep wadiah ini semakin menunjukkan
makna perluasan, apabila Pak Udin melakukan penarikan uangnya dari mesin ATM
bank yang berada di mana saja. Uang yang diambil oleh Pak Udin, menjadi uang
yang benar-benar baru, bukan wujud “uang yang pertama” saat ia memutuskan
melakukan setoran tabungan ke bank, meskipun nilai uangnya sama.
Ada sebuah gambaran dialog menarik antara dua
orang yang berteman. Pak Udin punya saudara di Jombang, bernama Pak Nashir. Pak
Nashir hendak mengambil mantu. Tanggal sudah ditetapkan dan ia berharap agar
Pak Udin mau hadir ke pesta pernikahan ngunduh mantu ini. Seiring jadwal harian
Pak Udin yang padat, ia berhalangan untuk hadir ke acara saudaranya tersebut.
Lalu ia meminta bantuan ke Pak Hafidz, temannya yang sekarang menjadi
tetangganya Pak Nashir. Ia bilang bahwasanya ia hendak “menitipkan” uang ke Pak
Hafidh untuk disampaikan ke Pak Nashir dan agar disampaikan permohonan maafnya
karena tidak bisa hadir dalam hajatan Pak Nasshir. Kemudian ia bertanya, nomor
rekening Pak Hafidh. Akhirnya, dilakukanlah transfer uang dari Pak Udin ke Pak
Hafidh.
Selang beberapa hari menjelang hari H acara
hajatan, Pak Hafidh kebetulan lewat depan rumah Pak Nashir. Karena kebetulan
lewat dan ia membawa uang, lalu ia bilang bahwa Pak Udin telah menitipkan uang
kepadanya untuk disampaikan ke Pak Nashir dan tidak lupa menyampaikan
permohonan maafnya Pak Udin karena tidak bisa hadir di acara hajatan pak
Nashir. Lalu Pak Hafidh mengeluarkan dompet dan diberikanlah sejumlah uang
dengan nilai yang sama dengan yang dititipkan Pak Udin. Pak Nashir menyampaikan
terima kasih.
Jika akad titipan Pak Udin ke Pak Hafidh
diputus dengan akad wadi’ah, maka sudah ada beberapa hal ketentuan pelanggaran
di dalamnya:
- Pak Udin tidak menentukan “uang yang mana”
yang telah dititipkan ke Pak Hafidh. Pak Hafidh sendiri ketika melakukan qabdlu
(penerimaan), juga tidak mengetahui, uang mana yang telah dititipkan
kepadanya.
- Ketika Pak Hafidh menyerahkan uang kepada Pak
Nashir yang berasal dari dompet, maka itu menandakan bahwa Pak Hafidh
benar-benar tidak mengambil uang dari mesin ATM, yang berarti menambah jauh
dari kedekatan uang mana yang telah dititipkan oleh Pak Udin kepada Pak
Hafidh.
- Dengan demikian, antara uang yang dititipkan
dengan uang saat diterimakan adalah bukan “ain” uang saat Pak Udin
menyampaikan. Hanya saja, nilai uangnya besarnya sama. Namun, Pak Nashir ridla
dengan apa yang disampaikan oleh Pak Hafidh.
Kesimpulan dari dialog ini adalah, dalam konsep
“uang” terdapat perbedaan dalam praktik wadi’ah. Orang menilai bahwa
sebuah barang titipan, mengalami pergeseran makna, ketika barang tersebut
adalah uang, karena kecondongan masyarakat adalah asal nilainya menunjukkan
kesamaan. Oleh karena itu, “wujud uang” mengalami pergeseran menjadi “nilai
uang”.
Bila dikaitkan dengan salah satu syarat
pelaksanaan wakaf, dinar dan dirham merupakan nuqûd, yaitu “keping mata uang”
atau bisa disebut juga sebagai wujud uang (ainu al-nuqud). Ketika wakaf
dilaksanakan dengan mewakafkan ainu al-nuqûd, maka benar bahwa ainu al-nuqud
ini tidak masuk di dalam bagian yang boleh diwakafkan, karena bisa menyebabkan itlaf
(hilang/rusaknya) ain disebabkan karena tasharuf. Uang mewakafkan “lembaran
uang 100 ribu”, adalah tidak boleh, disebabkan karena “lembaran uang” tersebut
dapat hilang, ketika ia dibelanjakan, sehingga tidak memenuhi prasyarat ibqau
al-‘ain (tetapnya wujud uang). Hukum akan berbeda bila yang diwakafkan adalah
“nilai uang” sebesar 100 ribu. Karena “nilai uang” tidak akan pernah menemui
adanya “hilang ‘ain nilai” manakala ia ditasharufkan.
Hal yang memungkinkan hilangnya “nilai uang”
hanya apabila ia dibelanjakan sehingga menyebabkan “berkurangnya” nilai. Dengan
demikian, apabila “nilai uang” ini diwakafkan, maka tanggung jawab “nâdhir
al-waqfi” - petugas pengelola wakaf – adalah hanya sebatas menjaga “tetapnya
wujud ‘ain nilai” uang tersebut agar tidak mengalami pengurangan. Caranya
bagaimana? Jawabnya adalah bila ia dirupakan ra’su al-maal (pokok harta)
sebagai modal usaha. Dengan dirupakan sebagai modal usaha, maka tugas nadhir
adalah menjaga agar modal tersebut kembali. Adapun orang yang dimodali, harus
menjamin kembalian modal tersebut karena ia merupakan harta wakaf yang tidak
boleh dimiliki oleh perorangan dan sudah menjadi milik Allah subhânahu
wata‘âlâ.
Semoga tulisan ini bisa menjadi dasar bagi
keabsahan “Wakaf Tunai” sebagaimana hal yang sama tengah dipromosikan oleh Rais
‘Aam PBNU lewat Bank Wakaf Mikro yang baru didirikan dengan sasaran tasharuf
wakaf adalah masyarakat kecil dan usaha kecil masyarakat! Wakaf tunai tidak
sama dengan wakaf uang. Wakaf tunai harus dirupakan modal. Wallahu a’lam. []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan
dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar