Rabu, 10 Juli 2019

(Ngaji of the Day) Penjelasan tentang Wakaf Tunai dalam Islam (3-Habis)


Penjelasan tentang Wakaf Tunai dalam Islam (3-Habis)

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian pertama dari tema tulisan tentang wakaf tunai, bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah sebuah upaya menahan suatu aset manfaat bersama tetapnya wujud barang yang disertai hilangnya hak kepemilikan pewakaf  ke suatu bidang jalur wakaf yang mubah karena niat ibadah. Yang menjadi titik tekan dari definisi ini adalah bahwa wakaf itu, adalah:

1. Ada habsu, yaitu tindakan mencegah pewakaf pewakaf atas barang yang diwakafkan
2. Aset wakaf adalah berupa aset manfaat atau aset yang bisa dimanfaatkan
3. Ada wujud barang yang mana wujud barang ini tidak boleh rusak akibat pemanfaatan. Apabila dirusak, baik dengan sengaja atau tidak sengaja, maka bagi pihak yang merusak dikenai dlamman (menangggung dan mengganti barang)
4. Pewakaf hilang status kepemilikannya terhadap aset selamanya dan berpindah kepada Allah
5. Niat wakaf adalah li al-tabarru’, yaitu semata karena Allah subhânahu wata‘âlâ

Titik persoalan dari wakaf tunai ini adalah pada status ibqâu ‘ainil mauquf , yaitu tetapnya wujud aset serta tidak mengalami kerusakan setelah dimanfaatkan. Ini yang mendasari tidak boleh wakaf dilakukan dengan dinar atau dirham sebagaimana disampaikan oleh Syeikh Abu Bakar bin Muhammad Shatha’ di dalam kitabnya yang terkenal, yaitu I’ânatuth Thâlibîn. Untuk mengurai masalah ini, mari kita buat analogi-analogi!

Pertama, di dalam masyarakat kita, ada perbedaan cara pandang terhadap uang, dan hal itu sudah umum berlaku. Sebagai gambarannya adalah ketika nuqud ditasharufkan dalam akad wadi'ah (penitipan) dunia perbankan. Pada saat seseorang menitipkan uangnya ke bank, akad penitipan adalah menggunakan akad wadi’ah. Lazimnya penitipan (wadi’ah) adalah kembalinya barang sesuai dengan saat ketika ia menitipkan. Ketika Pak Udin menitipkan sepeda motor ke sebuah jasa penitipan, maka pada hakikatnya, ia harus menerima barang yang sama dengan saat di mana barang tersebut dititipkan pertama kalinya oleh Pak Udin. Tidak boleh bagi Pak Udin mengambil kembalian berupa sepeda motor dengan merk dan jenis lain. 

Sekarang, bandingkan dengan dasar penerapan wadiah ini pada lembaga keuangan. Hal yang seharusnya berjalan, adalah ketika Pak Udin melakukan penarikan saldo tabungannya, ia seharusnya mengambil uang yang sama saat ia pertama menitipkannya. Konsep wadiah ini semakin menunjukkan makna perluasan, apabila Pak Udin melakukan penarikan uangnya dari mesin ATM bank yang berada di mana saja. Uang yang diambil oleh Pak Udin, menjadi uang yang benar-benar baru, bukan wujud “uang yang pertama” saat ia memutuskan melakukan setoran tabungan ke bank, meskipun nilai uangnya sama. 

Ada sebuah gambaran dialog menarik antara dua orang yang berteman. Pak Udin punya saudara di Jombang, bernama Pak Nashir. Pak Nashir hendak mengambil mantu. Tanggal sudah ditetapkan dan ia berharap agar Pak Udin mau hadir ke pesta pernikahan ngunduh mantu ini. Seiring jadwal harian Pak Udin yang padat, ia berhalangan untuk hadir ke acara saudaranya tersebut. Lalu ia meminta bantuan ke Pak Hafidz, temannya yang sekarang menjadi tetangganya Pak Nashir. Ia bilang bahwasanya ia hendak “menitipkan” uang ke Pak Hafidh untuk disampaikan ke Pak Nashir dan agar disampaikan permohonan maafnya karena tidak bisa hadir dalam hajatan Pak Nasshir. Kemudian ia bertanya, nomor rekening Pak Hafidh. Akhirnya, dilakukanlah transfer uang dari Pak Udin ke Pak Hafidh. 

Selang beberapa hari menjelang hari H acara hajatan, Pak Hafidh kebetulan lewat depan rumah Pak Nashir. Karena kebetulan lewat dan ia membawa uang, lalu ia bilang bahwa Pak Udin telah menitipkan uang kepadanya untuk disampaikan ke Pak Nashir dan tidak lupa menyampaikan permohonan maafnya Pak Udin karena tidak bisa hadir di acara hajatan pak Nashir. Lalu Pak Hafidh mengeluarkan dompet dan diberikanlah sejumlah uang dengan nilai yang sama dengan yang dititipkan Pak Udin. Pak Nashir menyampaikan terima kasih. 

Jika akad titipan Pak Udin ke Pak Hafidh diputus dengan akad wadi’ah, maka sudah ada beberapa hal ketentuan pelanggaran di dalamnya:

- Pak Udin tidak menentukan “uang yang mana” yang telah dititipkan ke Pak Hafidh. Pak Hafidh sendiri ketika melakukan qabdlu (penerimaan), juga tidak mengetahui, uang mana yang telah dititipkan kepadanya. 

- Ketika Pak Hafidh menyerahkan uang kepada Pak Nashir yang berasal dari dompet, maka itu menandakan bahwa Pak Hafidh benar-benar tidak mengambil uang dari mesin ATM, yang berarti menambah jauh dari kedekatan uang mana yang telah dititipkan oleh Pak Udin kepada Pak Hafidh. 

- Dengan demikian, antara uang yang dititipkan dengan uang saat diterimakan adalah bukan “ain” uang saat Pak Udin menyampaikan. Hanya saja, nilai uangnya besarnya sama. Namun, Pak Nashir ridla dengan apa yang disampaikan oleh Pak Hafidh.

Kesimpulan dari dialog ini adalah, dalam konsep “uang” terdapat perbedaan dalam praktik wadi’ah.  Orang menilai bahwa sebuah barang titipan, mengalami pergeseran makna, ketika barang tersebut adalah uang, karena kecondongan masyarakat adalah asal nilainya menunjukkan kesamaan. Oleh karena itu, “wujud uang” mengalami pergeseran menjadi “nilai uang”. 

Bila dikaitkan dengan salah satu syarat pelaksanaan wakaf, dinar dan dirham merupakan nuqûd, yaitu “keping mata uang” atau bisa disebut juga sebagai wujud uang (ainu al-nuqud). Ketika wakaf dilaksanakan dengan mewakafkan ainu al-nuqûd, maka benar bahwa ainu al-nuqud ini tidak masuk di dalam bagian yang boleh diwakafkan, karena bisa menyebabkan itlaf (hilang/rusaknya) ain disebabkan karena tasharuf. Uang mewakafkan “lembaran uang 100 ribu”, adalah tidak boleh, disebabkan karena “lembaran uang” tersebut dapat hilang, ketika ia dibelanjakan, sehingga tidak memenuhi prasyarat ibqau al-‘ain (tetapnya wujud uang). Hukum akan berbeda bila yang diwakafkan adalah “nilai uang” sebesar 100 ribu. Karena “nilai uang” tidak akan pernah menemui adanya “hilang ‘ain nilai” manakala ia ditasharufkan. 

Hal yang memungkinkan hilangnya “nilai uang” hanya apabila ia dibelanjakan sehingga menyebabkan “berkurangnya” nilai. Dengan demikian, apabila “nilai uang” ini diwakafkan, maka tanggung jawab “nâdhir al-waqfi” - petugas pengelola wakaf – adalah hanya sebatas menjaga “tetapnya wujud ‘ain nilai” uang tersebut agar tidak mengalami pengurangan. Caranya bagaimana? Jawabnya adalah bila ia dirupakan ra’su al-maal (pokok harta) sebagai modal usaha. Dengan dirupakan sebagai modal usaha, maka tugas nadhir adalah menjaga agar modal tersebut kembali. Adapun orang yang dimodali, harus menjamin kembalian modal tersebut karena ia merupakan harta wakaf yang tidak boleh dimiliki oleh perorangan dan sudah menjadi milik Allah subhânahu wata‘âlâ. 

Semoga tulisan ini bisa menjadi dasar bagi keabsahan “Wakaf Tunai” sebagaimana hal yang sama tengah dipromosikan oleh Rais ‘Aam PBNU lewat Bank Wakaf Mikro yang baru didirikan dengan sasaran tasharuf wakaf adalah masyarakat kecil dan usaha kecil masyarakat! Wakaf tunai tidak sama dengan wakaf uang. Wakaf tunai harus dirupakan modal. Wallahu a’lam. []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar