Berobat dalam Pandangan
Islam
Seorang perempuan datang menemui Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Kepada beliau perempuan itu mengeluhkan tentang
penyakit ayan yang dideritanya. Ia merasa khawatir auratnya akan terbuka ketika
penyakitnya itu kambuh. Kepada Rasul ia meminta agar dimintakan kesembuhan
kepada Allah. Atas permintaannya kepada perempuan ini Rasulullah memberikan
pilihan; bersabar dan akan masuk surga, atau sembuh dari penyakitnya. Pada
akhirnya sang perempuan lebih memilih bersabar dengan penyakitya dengan harapan
adanya jaminan surga. Hanya saja ia tetap meminta didoakan agar auratnya tak
sampai terbuka ketika kambuh penyakit ayannya. Dan Rasul mengabulkan
permintaannya.
Para ulama menjadikan hadits tersebut sebagai
salah satu dasar untuk memotivasi umat agar mau bersabar saat diberi cobaan
oleh Allah berupa sakit. Namun demikian itu bukan berarti Islam memandang
sebelah mata pada usaha menyembuhkan penyakit dengan berobat. Para ulama
memandang sunah (mustahabb) berobat bagi orang yang sedang sakit.
Ada banyak hadits yang menjadi dasar pijakan.
Imam Nawawi dalam kitab al-Majmû’ Syrahul Muhadzdzab (Kairo: Darul Hadits,
2010) menuturkan beberapa hadits yang disabdakan oleh Rasulullah di antaranya:
إن
الله تعالى أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً
فتداووا ولا تداووا بالحرام
Artinya: “Sesungguhnya Allah menurunkan
penyakit dan obatnya dan menjadikan bagi setiap penyakit ada obatnya. Maka
berobatlah kalian, dan jangan kalian berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud
dari Abu Darda)
Hadits riwayat Imam Bukhari dari sahabat Abu
Hurairah:
إنَّ
اللَّهَ لَمْ يُنْزِلْ دَاءً إلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menurunkan
satu penyakit kecuali diturunkan pula baginya obat.”
Dari kedua hadits di atas bisa diambil satu
kesimpulan bahwa ketika Allah memberikan satu penyakit kepada hamba-Nya maka
kepadanya pula akan diberikan obat yang bisa menyembuhkannya. Tentunya orang
yang sakit dituntut untuk berusaha mendapatkan obat tersebut agar teraih
kesembuhannya. Boleh saja orang yang sakit tak melakukan usaha berobat bila
memang ia berserah diri dan ridlo terhadap penyakit yang diberikan Allah
kepadanya.
Masih menurut Imam Nawawi:
وَإِنْ
تَرَكَ التَّدَاوِيَ تَوَكُّلًا فَهُوَ فَضِيلَةٌ
Artinya: “Bila orang yang sakit tidak berobat
karena tawakal (pasrah kepada Allah) maka hal itu merupakan suatu
keutamaan.”
Satu hal yang juga mesti dipahami dan
diyakini oleh setiap orang yang sakit, bahwa ketika ia telah berusaha berobat
dan mendapatkan kesembuhannya maka ia mesti berkeyakinan bahwa yang
menyembuhkan penyakitnya adalah Allah semata, bukan obat yang diminumnya. Usaha
berobat yang ia lakukan adalah ikhtiar seorang hamba untuk mendapatkan anugerah
kesembuhan dari Tuhannya. Obat yang ia minum hanyalah sarana belaka. Sedangkan
kesembuhan yang didapatkannya adalah semata karena kehendak dan anugerah Allah
yang tanpa ikhtiar dan sarana sekalipun Allah berkuasa untuk melakukannya.
Rasulullah bersabda:
لِكُلِّ
دَاءٍ دَوَاءٌ فَإِذَا أُصِيبَ دَوَاءُ الدَّاءِ بَرِئَ بِإِذْنِ اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ
Artinya: “Setiap penyakit memiliki obat. Bila
cocok obat dengan penyakitnya maka akan sembuh dengan izin Allah Ta’ala.”
Karena kesembuhan mutlak kehendak dan
anugerah Allah semata maka juga perlu dipahami bahwa obat yang hanya sebagai
sarana bisa berbentuk apa saja. Obat medis, obat herbal, ramuan tradisional,
air putih yang didoakan kiai dan lain sebagainya adalah sarana-sarana yang bisa
dijadikan obat. Dengan sarana yang mana seseorang yang sakit akan mendapatkan
kesembuhannya hanya Allah yang tahu sesuai dengan kehendak-Nya.
Maka tidak jarang di masyarakat dijumpai
beberapa orang menderita sakit yang sama namun sembuh dengan obat yang berbeda
jenisnya. Banyak orang mengalami sakit yang sama namun sembuh dengan obat
berbeda merk meski kandungannya sama. Tak sedikit orang berobat hingga
kemana-mana dengan banyak biaya, namun kesembuhan justru ia dapatkan dari
rebusan dedauan yang liar tumbuh di halaman rumahnya. Wallâhu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar