Penjelasan tentang Wakaf
Tunai dalam Islam (1)
Pada tulisan kali ini, penulis sedikit akan
mengulas soal hukum wakaf tunai. Banyak pihak di kalangan Nahdliyin yang
menjadikan persoalan ini sebagai wacana baru di bidang kajian fiqih, khususnya
di kalangan mazhab Syafi’i. Namun, seiring didirikannya Bank Wakaf Mikro di
Pondok Pesantren Nawawi Tanara, Serang, Banten yang diasuh oleh Rais Aam PBNU
KH Ma’ruf Amin, maka persoalan hukum menarik untuk diungkap kembali. Hal ini
disebabkan, NU merupakan organisasi yang memayungi jamaah terbesar di Indonesia
yang berhaluan fiqih Syafiiyah. Bagaimanakah sebenarnya hukum wakaf tunai
tersebut?
Wakaf Tunai di Indonesia secara umum diatur
di dalam UU No. 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 yang
berisi Pedoman Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004. Di dalam aturan ini dijelaskan
bahwa seorang waqif (pewakaf) dapat melakukan wakaf tunai dengan dibayarkan
pada lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri. Sifat pembayarannya
adalah fleksibel dan bisa dilakukan sewaktu-waktu. Keberadaan aturan ini secara
tidak langsung memberikan payung hukum bagi masyarakat menengah ke bawah, di
dalam melakukan wakaf tanpa harus menunggu kaya. Hal ini disebabkan di dalam
pelaksanaannya, wakaf tunai dijaring melalui proses transfer uang ke sejumlah
rekening tertentu sesuai dengan besaran nominal keuangan yang diinginkan oleh
waqif.
Meskipun pelaksanaan wakaf tunai ini sudah
mendapatkan payung hukum, bagi warga NU, kebijakan pembolehan wakaf tunai ini
masih menyisakan kendala problem fiqih. Hal ini berangkat dari bunyi teks
kajian turats sendiri yang selama ini dijadikan pedoman acuan hukum fiqih bagi
masyarakat. Bunyi teks turats menyebutkan bahwa wakaf didefinisikan sebagai:
الوقف
شرعا حبس مال يمكن الانتفاع به مع بقاء عينه بقطع التصرف في رقبته على مصرف مباح
وجهة
Artinya: “Wakaf secara syara’ bermakna
menahan (habsu) suatu aset manfaat bersama tetapnya wujud aset (baqâu ‘ainihi)
dengan memutus jalan tasharuf dari tanggungan pewakaf untuk suatu tujuan dan
jalur yang mubah (mauqûf ‘alaih).” (Abu Bakar bin Muhammad Shatha’, I’ânatuth
Thâlibîn, Dâru Ihyâi al-Kutub al-Arabiyyah, Juz 3, halaman 186)
Syarat dari bidang wakaf yang diperbolehkan
dalam kitab yang sama, yaitu:
وشرط
الموقوف عليه إن كان معينا، إمكان تملكه للموقوف حال الوقف عليه، فلا يصح الوقف
على جنين، لعدم صحة تملكه، ولا وقف عبد مسلم أو مصحف على كافر
Artinya: “Syarat bidang wakaf adalah jika
keberadannya tidak fiktif (mu’ayyan), bisa memegang/menguasai (tamalluk) barang
yang diwakafkan ketika wakaf tersebut diserahkan. Oleh karenanya, tidak sah
wakaf atas janin, karena ketiadaan memegang/menguasainya. Dan tidak sah wakaf
atas seorang hamba Muslim atau mushaf yang diserahkan atas orang kafir.” (Abu
Bakar bin Muhammad Shatha’, I’ânatuth Thâlibîn, Dâru Ihyâi al-Kutub
al-Arabiyyah, Juz 3, halaman 186)
Syarat barang yang diwakafkan adalah sebagai
berikut:
وشرط
الموقوف أن يكون عينا معينة مملوكة، إلى آخر ما سيأتي
Artinya: “Adapun syarat dari aset yang bisa
diwakafkan adalah apabila berupa aset wujud yang bisa dikuasakan kepada orang
lain sebagaimana akan dijelaskan mendatang.” (Abu Bakar bin Muhammad Shatha’,
I’ânatuth Thâlibîn, Dâru Ihyâi al-Kutub al-Arabiyyah, Juz 3, halaman 186)
Syarat shighat wakaf adalah sebagai berikut:
وشرط
الصيغة، لفظ يشعر بالمراد صريحا: كوقفت، وسبلت، وحبست كذا على كذا، وكناية: كحرمت،
وأبدت هذا للفقراء، وكتصدقت به على الفقراء، ويشترط فيها عدم التعليق، فلو قال إذا
جاء رأس الشهر فقد وقفت كذا على الفقراء، لم يصح، وعدم التأقيت: فلو قال وقفت كذا
على الفقراء سنة، لم يصح
Artinya: “Syarat shighat wakaf adalah memuat
lafadh yang bisa dirasakan maksudnya secara jelas (shârih), seperti lafadh: Aku
wakafkan, Aku serahkan penyalurannya, atau aku tahan seperti ini untuk maksud
seperti ini. Atau menggunakan lafadh kiasan: Aku haramkan (atas diriku), Aku
tetapkan sepenuhnya selemanya barang ini untuk kaum fakir. Disyaratkan dalam
shighat ketiadaan penggantungan. Maka apabila seorng pewaqif berkata: “Ketika
ra’su al-shahri datang, maka akan aku wakafkan ini untuk kaum fakir. Hal
sedemikian ini tidak sah. Syarat lainnya dalam shighat adalah ketiadaan
menentukan waktunya. Seperti jika pewaqif berkata: Aku wakafkan barang ini
untuk keperluan orang fakir selama setahun. Hal demikian ini tidak sah.”(Abu
Bakar bin Muhammad Shatha’, I’ânatuth Thâlibîn, Dâru Ihyâi al-Kutub
al-Arabiyyah, Juz 3, hal. 186)
Di dalam kitab I’ânatuth Thâlibîn disebutkan
bahwa, “menahan barang” (habsu) merupakan inti dari wakaf. Oleh karena itu, ia
merupakan rukun wakaf yang paling mendominasi dan memuat (include) kesekian
rukun wakaf lainnya, antara lain pewakaf, bidang wakaf (mauquf ‘alaih), aset
wakaf dan shighat wakaf. Artinya, dengan keberadaan habsu ini, maka hak
wakaf seorang pewakaf di dalam menguasai dan mengelola barang menjadi hilang,
karena diserahkan sepenuhnya kepada Allah subhânahu wata‘âlâ untuk maksud
tabarru’, yaitu niat semata karena ibadah.
Adapun yang dimaksud dengan “harta” yang bisa
diwakafkan adalah disyaratkan berupa sebuah aset wujud (ainun mu’ayyan), dengan
syarat sebagai berikut:
العين
المعينة بشرطها الآتي، غير الدراهم والدنانير، لأنها تنعدم بصرفها، فلا يبقى لها
عين موجودة
Artinya: “Aset wujud dengan syarat sebagai
berikut: bukan terdiri atas dirham dan dinar, karena ia bisa hilang sebab
perputarannya. Dengan demikian, maka hilang syarat wujud tetapnya aset.” (Abu
Bakar bin Muhammad Shatha’, I’ânatuth Thâlibîn, Dâru Ihyâi al-Kutub
al-Arabiyyah, Juz 3, hal. 186)
Kesimpulan dari sudut pandang fiqih turats,
maka sebenarnya konteks wakaf tunai adalah tidak sah karena harta yang
diwakafkan adalah berupa uang tunai. Menurut konteks kajian kitab ini, syarat
tetapnya wujud aset (ibqâi mâl) menjadi faktor penghalang utama sisi keabsahan
tersebut. Apakah ada kemungkinan rekayasa fiqih syafi’iyah yang bisa membantu
mengatasi persoalan sahnya wakaf tunai tersebut? Simak ulasan berikutnya! []
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar