Khashoggi
di Mata Hatice Cengiz
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Sekalipun
penguasa Arab Saudi masih mencoba berkelit mengenai sebab kematian Khashoggi
yang dikatakan akibat perkelahian di dalam gedung konsulatnya di Istanbul,
opini dunia tampaknya sudah punya kecenderungan lain yang dapat membongkar
perbuatan jahat ini. Resonansi ini akan mengulas pandangan calon istri
Khashoggi, Hatice Cengiz, sebagian berdasarkan artikel yang ditulisnya dalam
the New York Times, 13 Oktober 2018, dengan judul “My Fiance Jamal Khashoggi
Was a Lonely Patriot”, ditulis 11 hari setelah kematian wartawan senior itu,
tetapi sebelum adanya pengakuan pihak Saudi tentang terbunuhnya Khashoggi yang
memang terjadi di ruang konsulatnya.
Perkenalan
antara dua orang yang berbeda usia 21 tahun ini terjadi pada Mei 2018 dalam
sebuah konferensi di Istanbul. Hatice kelahiran Istanbul tahun 1980, sedangkan
Khashoggi kelahiran Madinah, 59 tahun yang lalu.
Setelah
berbincang secara mendalam tentang masalah politik di kawasan itu, keduanya
semakin punya pandangan yang sama mengenai perlu tegaknya prinsip demokrasi,
hak-hak asasi manusia, dan terjaminnya kebebasan berpendapat, sesuatu yang
masih asing di sebagian besar kawasan Asia Barat dan Afrika Utara sejak lama.
Persamaan
pandangan ini telah berujung pada terciptanya hubungan emosional antara
keduanya dan sepakat untuk menikah akhir tahun ini. Maka untuk mengurus surat
cerai Khashoggi dengan mantan istrinya, keduanya pergi ke konsulat Saudi,
tetapi Cengiz menunggu di luar gedung. Ternyata malang bagi Khashoggi. Dia
dibunuh oleh aparat Saudi yang sengaja didatangkan dari Riyadh untuk melakukan
eksekusi itu.
Cengiz
menulis bahwa nenek moyang Khashoggi berasal dari Kota Kayseri, Turki. Selama
lebih 30 tahun sebagai wartawan Saudi, dan bahkan pernah menjadi penasihat
pemimpin penting kerajaan itu, termasuk Pangeran Turki al-Faisal, mantan kepala
intelijen Saudi. Cengiz menulis tentang Khashoggi, “Dia mengelana banyak di
dunia, tetapi dia mencintai Arab Saudi melebihi dari negara lainnya." Dia
'seorang patriot'.
Khashoggi
harus meninggalkan Saudi lebih dari setahun yang lalu, karena itulah
satu-satunya jalan baginya agar bebas berbicara dan menulis tentang
masalah-masalah dan gagasan-gagasan yang menjadi kepeduliannya. Dia bekerja
tanpa mengompromikan martabatnya sebagai seorang wartawan merdeka. Dia tinggal
di Washington, DC. Dia menulis, “Hidup ini jauh dari rumah, famili dan sahabat,
serta lingkungan spiritual negeri saya, sungguh merupakan beban yang berat,”
curhatnya pada Cengiz suatu ketika.
Sekalipun
sudah punya nama besar, Khashoggi masih saja merasa sunyi dalam hidupnya.
Berikut ini bukti tentang kesunyian itu. “Hatice sayang, saya diberi kesehatan,
punya pula lain-lainnya, tetapi tak punya seorang pun untuk berbagi dalam
hidup.” Lalu Cengiz mengomentari, “Semua yang dia rindukan dari pasangan hidupnya
adalah cinta, rasa hormat, dan persahabatan.” Tampaknya Khashoggi berharap pada
Cengiz untuk mendapatkan itu semua.
Inilah
kesaksian Cengiz tentang impian mereka itu. “Cinta dan impian kami akan sebuah
hidup baru bersama telah membawanya dari Washington ke Istanbul, untuk
mendapatkan dokumen yang diperlukan bagi perkawinan kami. Harapan untuk
menghabiskan sisa hidup kami bersama dengan bahagia telah mendorong Khashoggi
untuk memasuki bangunan konsulat Saudi pada siang hari yang nahas itu, 2 Oktober.”
Lama
ditunggu, Khashoggi tidak kunjung muncul, Cengiz merasa kehilangan. Inilah
kegelisahan Cengiz. “Sejak itu, saya telah berpikir bahwa Jamal dan saya tidak
lagi berada di dunia yang sama. Saya terus saja bertanya pada diri saya
sendiri: 'Di mana dia? Masihkah dia hidup? Jika masih hidup, bagaimana
keadaannya?'”
Cara
kematian Khashoggi sungguh keji, biadab, dan brutal. Kita percaya dalam tempo
singkat, akan terjawab semua misteri kematian ini. Kemanusiaan sejagat tidak
tidur. Pengawal dua kota suci jadi pusat perhatian dan kecurigaan dunia! Sangat
ironis, sangat kelam! []
REPUBLIKA,
23 Oktober 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar