Senin, 29 Oktober 2018

(Buku of the Day) 99 Kiai Kharismatik Indonesia


Menziarahi Para Kiai dari KH Aziz Masyhuri


Judul                : 99 Kiai Kharismatik Indonesia
Penulis             : KH. A. Aziz Masyhuri
Tahun              : 1, Oktober 2017
Penerbit           : Keira Publishing
Peresensi         : Alif Nurul

Begitu banyak krisis di negara tercinta ini, termasuk krisis moral. Masih hangat di telinga, berita pemukulan kiai di salah satu pondok pesantren di bilangan kota Bandung belum lama ini. Entah, apa modus dari tragedi di atas. Yang jelas, hemat saya, ini adalah bukti bahwa moral kita tengah berada pada status mengkhawatirkan. Kita sudah lupa betapa sakralnya kiai dan guru dalam kehidupan. Kita mungkin sudah luput dari pepatah Sahabat Ali r.a, “Bahwa aku adalah hamba dari orang yang mengajariku satu huruf sekalipun.”

Belum lagi, akhir-akhir ini kita disibukan oleh beragam ceramah kiai yang dalam mimbarnya terbiasa berkata: “kafir dan sesat”. Kita disuguhkan pemandangan agama yang keras dan kaku. Islam tak lagi menjelma agama yang ramah tapi marah. Sebab itu, mengkaji ulang makna kiai menjadi keharusan di era milenial semacam ini. Lantaran kiai ada dua: kiai dunia dan kiai akhirat. Mana kiai yang sungguhan dan kiai yang penuh kepalsuan. Kita bisa saksikan banyak kiai-kiai bermunculan bak jamur di musim penghujan. Sayangnya, mereka sekadar mencari popularitas dan massa. Kendati begitu, tak bisa dipungkiri sosok kiai masih menjadi sumur moral bagi masyarakat hingga kini. Sumber berkah dan doa.

Mencari figur kiai yang luhur saat ini, ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Sulit sekali. Namun, keresahan itu agaknya mulai berkurang, setelah membaca buku gubahan KH. Aziz Masyhuri, dalam buku yang berjudul 99 Kiai Kharismatik Indonesia, kita diajak kembali membuka khazanah klasik yang mewah dan wah! Pun kiai-kiai yang ditampilkan dalam buku ini bukan saja kiai yang sekadar pengasuh pondok pesantren semata, melainkan lebih dari itu, mereka adalah seorang kiai sekaligus pejuang yang gigih serta pemikir yang visioner (hlm.xv). Buku ini bukan saja menawarkan sejarah yang cemerlang dari para kiai, namun menjadi momen klangenan bagi para santri.

Kita diajak untuk meneladani sikap dan perjuangan para kiai yang tak terhitung tetesan darah dan nanahnya dalam menopang agama dan bangsa. Apalagi kiai yang ditulis dalam buku ini semuanya adalah para pejuang islam dan pendiri negara. Seperti, Mbah Abbas buntet, Mbah Hasyim Asy’ari, Mbah Wahab Hasbullah, dan lainnya, yang semuanya memiliki andil besar terciptanya Indonesia. Semangat berjuang dan perlawanan serta pengorbanan rakyat di bawah bimbingan para kiai, kepala desa, pamong praja dan tokoh masyarakat lainnya, ternyata sangat besar (hlm.xvii). Meskipun acap kali terlupakan oleh bangsa ini.

Salah satu contohnya adalah perjuangan Kiai Abbas Buntet yang begitu gigih menghalau gerak-gerik kolonial. Pada masanya Kiai Abbas turut rembuk dalam peperangan 10 November di Surabaya bersama pasukan Hizbullah. Ia adalah pemimpin rombongan pejuang Cirebon yang berangkat dengan kereta api menuju Surabaya. Tercatat dalam sejarah Indonesia dan sejarah Pondok Pesantren Buntet bahwa pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya peran Kiai Abbas bersama Kiai Annas dalam perjuangan melawan imperialis Inggris sangat menentukan nasib bangsa Indonesia (hlm.183).

Jadi, mari kita luruskan bersama sejarah yang mengatakan bahwa kiai dan santri tak punya andil dalam gerakan kemerdekaan. Faktanya, kiai-kiai tempo dulu telah mencurahkan dan mengorbankan semua yang mereka miliki untuk kepentingan bersama, khususnya kemerdekaan negeri ini.

Dakwah dengan Literasi

Tak melulu ihwal perlawanan dengan kolonial dan kisah klasik lainnya yang Kiai Aziz gurat dalam bukunya ini, melainkan jauh dari itu, bahwa ulama dahulu sangat karib-kerabat dengan tradisi menulis dan membaca. Misal, kita tak akan pernah tahu Imam Ghazali kalau ia tak menulis Ihya Ulumuddin, Imam Nawawi dengan Riyadh as-Shalihin, dan kitab-kitab yang lazim dikaji pesantren lainnya. Semua lantaran karena jasa para ulama yang tak hanya pandai bertutur tetapi handal dalam meramu aksara menjadi kitab yang luar biasa. Sehingga manfaatnya bisa dirasakan hingga sekarang.

Di buku ini, disertakan pula daftar karangan-karangan yang luar biasa dari para ulama Nusantara, seperti Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Sholeh Darat, Kiai Nawawi Banten, Syekh Mahfudz at-Tarmasi, yang kesemuanya adalah penulis-penulis kelas kakap. Mungkin beliau semua mengimani kredo dalam kitab Ta’lim Al-Mutta’allim, “Maa kutiba qarra wa maa hafidza farra” (apa yang ditulis akan abadi dan apa yang dihafal akan lekang oleh waktu).

Tak bisa dipungkiri, ulama-ulama Nusantara sangat berpengaruh dalam segala lini kehidupan, termasuk dalam perjuangan literernya. Karya mereka tak kalah hebatnya dengan ulama lain, seperti Syekh Mahfudz At-Tarmasi yang banyak sekali mengarang kitab, Syekh Ihsan Jampes yang salah satu kitabnya menjadi buku wajib di salah satu perguruan ternama di Timur Tengah. Syekh Nawawi Banten yang kitabnya tak asing di bumi pesantren nusantara.

Bahkan, sebagian besar karya Syekh Mahfudz telah dicetak dan tersebar ke seantero dunia islam, sebagiannya dapat mudah ditemukan di toko kitab Musthafa Bab Al-halabi yang terletak di belakang Mesjid Al-Azhar, Kairo, Mesir (hlm.128).

Dari sini Kiai Aziz Masyhuri bisa menjadi cermin untuk semua kalangan bahwa begitu pentingnya dunia literasi dan dokumentasi dalam segala lini kehidupan. Apalagi rerata kita belum mampu menggenggam tradisi dokumentasi sebagai laku terpuji. Lebih jauhnya, sebagai pelajaran penting bagi generasi selanjutnya, untuk tidak melupakan sejarah ulamanya sendiri. Pun bisa menjadi contoh bagi kiai-kiai sekarang yang hanya mendakwahkan agama dengan ucapan (bil lisan) mulai beranjak ke dunia tulisan (bil qalam). Sebagaiman telah dicontohkan oleh kiai-kiai tempo dulu.

Nah, buku ini akan menceritakan bagaimana para kiai khos menjalani keseharian yang hangat dengan para santri hingga turut rembug dalam menumpas kolinialisme dengan garang. Manakib ini berisi sejarah dan biografi singkat dari para kiai kharismatik Indonesia, diantaranya: a). Kiai Agung Muhammad Besari, b). Kiai Hasan Besari, c).Kiai Qomarrudin, d). Kiai Kholil Bangkalanl, d). Syekh Nawawi Al-Bantani, e). Kiai Sholeh Darat, f). Syekh Mahfudz At-Tarmasi, g). Kiai Muhammad Munawwir, h).Kiai Zainal Musthofa, i).Kiai Abbas, j). Kiai Hasyim Asy’ari, k). Kiai Abdul Wahid Hasyim, l).Kiai Raden Asnawi, m). Kiai Wahab Hasbullah, n). Kiai Tubagus Muhammad Falak, o). Kiai Ma’shum, p). Kiai Zaini Mun’im, q). Kiai Bisri Musthofa, r). Kiai Bisri Syansuri.

Membaca buku ini, seakan membuka album kenangan. Alur cerita yang dihiasi latar tempo dulu memberikan nuansa klasik yang sejuk dan hangat ala pesantren. Kita seperti mendengarkan kiai bertutur dengan khidmahnya, layaknya santri yang sedang sowan di sore hari. Pun buku ini menjadi kebutuhan yang tak bisa diremehkan lagi, lantaran dari sini kita bisa menemukan makna kiai yang sesungguhnya.

Kiai yang dalam setiap inci kehidupannya diabdikan hanya untuk kepentingan umat. Kiai yang dipenuhi petuah dan berkah yang tentu saja menjadi sumur moral bagi kita yang gagap dalam melakoni kehidupan. Kiai yang setiap nafasnya dipenuhi laku tirakat dan tetirah. Bukan kiai yang suka memungut pupularitas di mimbar dan layar kaca. Seperti yang tengah viral dewasa ini. Apapun itu, buku ini layak menjadi salah satu bacaan wajib yang harus dimiliki, guna mencegah penyakit amnesia sejarah yang akut.

Ala kulli hal, apresiasi setinggi-tingginya wajib kita sampaikan kepada Kiai Aziz Masyhuri yang dengan sangat telaten dan sabar telah merampungkan buku sejarah para panglima agama dan pejuang bangsa. Mudah-mudahan buku ini menjadi amal jariyah yang tak akan pernah habis, seperti tulisan di buku ini yang akan tetap abadi. Wallahu ‘alam. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar