Arah Dua Pola Kehidupan (9)
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Pola agraris dari hidup kita itu sebagai bangsa, terasa juga pada
masa pendudukan Jepang. Secara teoritik yang memimpin pemerintahan
pendudukan Jepang atas Indonesia adalah Komando (Ryuku-gun) ke –16 dari bala
tentara Jepang dibawah Jenderal Imamura, namun dalam kenyataan orientasi yang
berkembang adalah orientasi agraris. Terbukti dari diizinkannya pembentukan
unit-unit militer, seperti PETA (Pembela Tanah Air), dan Hizbullah (wadah
militer kaum santri). Pada mulanya sekitar enampuluh persen dari
batalyon-batalyon PETA dipimpin para kyai sebagai Dai-dancho (komandan
batalyon) dan mereka yang bukan santri menjadi bawahan saja, atau sebagai
Cho-dancho (komandan kompi) dan Shu-dancho (komandan pleton). Namun setelah
kemerdekaan dicapai, maka unit-unit militer itu segera dikuasai orang-orang
militer non-santri. Ditambah dengan usulan TB Simatupang dan A.H. Nasution,
untuk menerapkan rasionalisasi dalam kerangka kehendak mereka. Segera saja para
para kyai itu meninggalkan TNI untuk kembali ketengah-tengah masyarakat/
pesantren. Rasionalisasi itu berupa penghargaan sangat tinggi bagi mereka yang
mampu berbahasa Belanda, terlebih-lebih terhadap keluaran “sekolah-sekolah
umum” (non-agama).
Dalam re-organisasi APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia)
menentukan dua hal sekaligus : hanya mereka dari ”sekolah-sekolah umum” itu
dapat menjadi komandan batalyon, dan melanjutkan pendidikan militer di dalam
maupun di luar negri. Dengan kata lain, hanya merekalah yang dinilai
“berpendidikan”.
Tentu saja wajar jika keluar dua macam reaksi dari para perwira
santri akibat dari “rasionalisasi” ini . Karena pada umumnya para perwira
santri itu bersama-sama dengan para anak buah mereka, yang sebenar-benarnya
bertempur di garis depan melawan tentara KNIL (Koninklijk
Nederlands-Indisch Leger) Belanda. Reaksi pertama adalah kembali ke masyrakat
menekuni profesi semula ; atau kemudian memberontak karena rasa kekecewaan
mereka atas perlakuan yang diterima sejak tentara kita di re-organisir menjadi
APRI. Pemberontakan, AUI (Angkatan Umat Islam) di Kebumen Banyumas, DI-TII di
Jawa Barat dan Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, kesemuanya itu
diakibatkan oleh emosi tersebut. Begitu juga ”pemberontakan bersenjata” yang
dilakukan kompi Kapten Sofyan di Kudus pada awal awal penyerahan kedaulatan
dari tangan Belanda kepada bangsa kita.
Peristiwa-peristiwa itu menunjukkan adanya persaingan tidak sehat
ditubuh APRI, yang seharusnya diselesaikan secara politis. Tetapi kelemahan
kabinet Hatta untuk mencapai konsensus yang jelas, mengakibatkan tidak
tercapainya keputusan-keputusan seperti itu, hingga memunculkan rangkaian
pemberontakan yang terjadi di mana-mana termasuk di Aceh. Aceh mengalami
”Pemberontakan DI-TII” yang dipimpin (almarhum) Teuku Daud Beureueh yang kecewa
karena sumbangan yang besar berupa kesetiaan membela RI tidak dihargai
sewajarnya. Pemberontakan itu baru berakhir beberapa tahun kemudian, setelah
pemerintah dianggap tidak lagi ”merendahkan” peranan kaum ”santri” dalam
berbagai kapasitas.
*****
Kebijakan pemerintah pendudukan Jepang untuk membentuk PETA
(Pembela tanah air), pada mulanya dipersiapkan guna menjadi wadah bagi kaum
”santri”. Dalam mempertahankan pola Jepang yang berdasarkan supremasi kaum
santri itu, mereka menjabat komandan-komandan batalyon (Dai-dancho) atas kaum
“non santri” yang umumnya menjadi komandan kompi/Cho-dancho dan komandan
peleton/ Shu-dancho. Ternyata dalam waktu dua tahun saja sudah berbalik arah
menjadi naiknya kaum “non santri” ke panggung pimpinan tentara Indonesia dan
tersingkirnya kaum santri karena berbagai sebab. Diantara sebab-sebab itu
adalah tidak bersungguh-sungguhnya kaum santri untuk memimpin sebuah kekuatan
militer untuk mempertahankan konsep Jepang, yaitu konsep Asia Timur Raya.
Seperti pada waktu itu KH.Wahid Hasyim ditanya Laksamana Maeda dari pemerintah
pendudukan Jepang mengenai siapakah yang sepatutnya memimpin negoisasi atas
nama rakyat Indonesia untuk mewujudkan kemerdekaan, jika tentara sekutu
menduduki Jepang.
Dalam konsultasinya, KH.Wahid Hasyim menyatakan bahwa KH.M.Hasyim
Asy’ari menetapkan Soekarno sajal yang menduduki posisi itu. Ini menunjukan,
bahwa ada beberapa alasan yang beliau pakai untuk hal itu. Pertama, beliau
melihat bahwa golongan nasionalis (termasuk non- muslim) mempunyai peranan yang
sangat besar dalam perjuangan kemerdekaan kita. Kedua, mungkin beliau melihat
bahwa “golongan santri” hanyalah bagian saja dari seluruh kekuatan/golongan
yang memperjuangkan kemerdekaan. Jadi, kepentingan umum jauh lebih diutamakan
dari pada kepentingan golongan. Kenyataan ini sebenarnya memperkuat keputusan
Muktamar Nahdlatul Ulama di Banjarmasin tahun 1935, yang tidak mewajibkan
adanya negara Islam sebagai bentuk final negara yang kita perjuangkan.
*****
Tentu saja hal-hal semacam itu mempunyai arti yang sangat
dramatis. Tetapi yang lebih membuat kita heran adalah, kenyataan bahwa
peperangan akbar -seperti Perang Dunia II- tidak dapat menggeser kedudukan isu
bentuk negara yang kita dirikan, haruslah negara Islam atau bukan. Dalam
Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935 sudah diambil keputusan bahwa sebuah
negara Islam hukumnya tidak diwajibkan, walaupun juga tidak dilarang. Dengan
berani para ulama kita mengambil keputusan prinsipil seperti itu, yang tentu
saja dapat dianggap sebagai sesuatu yang akan menimbulkan “kehebohan“ di
kalangan gerakan-gerakan Islam sendiri di tanah air kita. Ini tentu juga
disebabkan oleh langkanya “pimpinan umat” yang bulat utuh dan diikuti
keputusannya oleh semua gerakan Islam itu sendiri.
Penyebab keadaan itu karena gerakan-gerakan Islam di Indonesia
tidak memiliki pemimpin yang kohesif. Namun ini tidak hanya dialami oleh
gerakan-gerakan agama saja, melainkan juga oleh pimpinan formal dan
tradisional, seperti para raja setempat maupun para pemuka adat.. Hal ini
dianggap merugikan, lalu dicoba untuk dicari pemecahannya. Penyebab utama yang
mengekang munculnya kekuatan kohesif itu adalah sistem agraris yang dianut dan
diterima oleh semua pihak, termasuk para penjajah sendiri. Sistem ini tidak
mengizinkan masyarakat melakukan tugas utama berupa perubahan sosial yang
mendasar. Karena itulah sistem agraris dimanapun juga tidak akan mampu
melahirkan pemimpin, jika tidak dilekati oleh “watak kharismatik” seperti gerakan
Imam Mahdi di Sudan ataupun gerakan Pangeran Diponegoro di Jawa.
Jadi dibutuhkan munculnya para pemimpin kharismatik, dari keadaan
yang tidak memungkinkan permunculan seperti itu. Kompleksnya keadaan itu nyata
dari uraian James C. Scott dalam moral para petani (Moral Economy of the
Peasant). Scott menjelaskan kepada kita, betapa sulit melakukan tranformasi
atas pemimpin yang ada, dari sesuatu yang bersifat moral menjadi kepemimpinan
yang berwajah ganda (dual faces) diantara para pemimpin masyarakat agraris itu
sendiri. Dimensi spiritual dari kepemimpinan seperti itu akan meniadakan ruang
bagi kepemimpinan yang pragmatik. Memang mudah mengatakan keperluan akan
kepemimpinan seperti itu, namun sulit dibuktikan dalam kenyataan, bukan? []
Jakarta, 2 Desember 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar