Rabu, 31 Oktober 2018

Yudi Latif: Menyalakan Api Sumpah Pemuda


Menyalakan Api Sumpah Pemuda
Oleh: Yudi Latif

DI tengah bumi Indonesia yang kian retak, kedatangan Hari Sumpah Pemuda ibarat tetes hujan yang menyela musim kemarau; membawa harapan peluluhan kembali belahan-belahan tanah, yang memungkinkan tanaman tumbuh-subur kembali. Itu semua bisa terjadi, manakala kita bisa me­nyalakan kembali api semangat Sumpah Pemuda.

Sumpah Pemuda itu ialah tekad. Tekad dari suatu kaum yang progresif. Pendefinisi utama pemuda itu bukanlah usia, melainkan situasi mental kejiwaan (state of mind). Menulis di majalah Bintang Hindia, No 14 (1905: 159), Abdul Rivai mendefinisikan ‘kaum muda’ sebagai rakyat Hindia (yang muda atau tua) yang tidak lagi bersedia mengikuti aturan kuno, tetapi berkehendak untuk memuliakan harga diri bangsanya melalui pengetahuan dan gagasan kemajuan.

Dalam ungkapan Samuel Ullman, “Pemuda bukanlah persoalan lutut yang lentur, bibir merah, dan pipi yang berona kemerahan; melainkan masalah tekad, kualitas imajinasi, kekuatan emosi; kesegaran musim semi kehidupan.”

Sumpah pemuda itu ialah komitmen. Komitmen untuk secara sungguh-sungguh memperjuangkan gagasan demi kebaikan hidup kebangsaan. Penanda penting yang mewarnai Kerapatan Besar Pemuda Indonesia (KBPI) II, 28 Oktober 1928, ialah penggunaan bahasa Melayu-Indonesia sebagai bahasa Kongres. Suatu trajektori baru dalam kesadaran nasional, ditandai oleh penarikan batas antara dunia penjajah dan terjajah lewat tanda perbedaan bahasa. Akan tetapi, pemancangan tanda baru ini bukanlah perkara mudah.

Bagi pemuda-pelajar yang terdidik dalam persekolahan bergaya Eropa, penggunaan bahasa Indonesia membawa kesulitan yang serius: menimbulkan kegagapan bagi pembicara dan kebingungan bagi pendengar. Sebagian peserta yang mencoba berbahasa Indonesia gagal, dan terpaksa menggunakan bahasa Belanda. Salah seorang di antara mereka ialah Siti Soendari, perwakilan Poetri Indonesia. Akan tetapi, komitmen kebangsaan membangkitkan tekad untuk menaklukan segala kesulitan.

Hanya selang dua bulan sejak peristiwa itu, Siti Soendari secara heroik sanggup berpidato dalam bahasa Indonesia pada Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta, 22-25 Desember 1928.

Bahasa persatuan

Sumpah Pemuda itu ialahh kebesaran. Kebesaran jiwa yang mengatasi kekerdilan kepentingan sempit demi kebaikan hidup bersama. Meski sebagian besar pemuda-pelajar waktu itu berasal dari Tanah Jawa, mereka rela berkorban tidak memaksakan bahasa mayoritas (bahasa Jawa) sebagai bahasa persatuan. Demi mengusung gagasan kebangsaan yang egaliter, mereka sepakat menjadikan bahasa melayu-Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Sumpah Pemuda itu ialah keluasan. Keluasan horison imajinasi kebangsaan yang mengatasi kesempitan primordialisme agama dan kedaerahan. Pusat-pusat pendidikan dan ruang publik modern di Indonesia dan Belanda menjadi katalis bagi pergaulan lintas kultural.

Dengan wahana ini, para aktivis yang berasal dari beragam latar etnik dan agama bisa berinteraksi satu sama lain secara intens, meluaskan jaringan sosial, yang melahirkan saling pengertian mengenai kepentingan bersama yang mengarah pada usaha pencarian identitas kolektif baru. Dalam perkembangannya, para aktivis dari Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes, Jong Islamieten Bond, dan lain-lain, menemukan kode identitas kolektif baru bernama ‘kebangsaan Indonesia’.

Di bawah identitas kolektif baru ini, segala kesempitan dan keragaman dipertautkan ke dalam keluasan ima­ji keindonesiaan dengan ikrar yang meng­akui tumpah darah satu, bangsa satu, dan bahasa persatuan. Kesanggupan mentransendensikan kesempitan etnosentrisme menuju keluasan solidaritas kebangsaan itu pada akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaannya.

Ambil jarak

Setelah 90 tahun Sumpah Pemuda, semangat Sumpah Pemuda itu mengalami kelunturan. Usia muda (16-30 tahun) mengalami penggelembungan dalam struktur demografi Indonesia, tetapi mental muda mengalami pengempisan. Tampilnya orang-orang berusia muda dalam berbagai bidang kehidupan tidak memperkuat semangat ‘kaum muda’. Kebanyakan tak sanggup mengambil jarak dari ‘kaum tua’ yang mewariskan tradisi korupsi dan keterbelakangan; kebanyakan juga tidak menunjukkan kehendak untuk memuliakan harga diri bangsanya melalui pengetahuan dan gagasan kemajuan. Figur-figur politik berusia muda beradu cepat meraih puncak-puncak kekuasaan tanpa kekuatan etos kejuangan yang etis, miskin imajinasi, cenderung mengambil jalan sesat dalam meraih kekuasaan, dan tidak menunjukan vitalitas daya muda yang progresif.

Komitmen kebangsaan juga meredup. Ke mana saja kita menghadap, di negeri ini tidak ada tanda-tanda keseriusan untuk secara sengaja memikirkan, menata, dan mengembangkan potensi yang kita miliki. Para penyelenggara negara hanya sibuk membobol keuangan negara, tetapi jarang yang berkontribusi pada peningkatan pendapatan negara.

Banyak anak-anak muda jenius dari bangsa ini disia-siakan karena pemujaan pada budaya kedangkalan yang memberi ruang pada anak-anak muda medikor-inferior menguasai bidang-bidang kenegaran. Dalam situasi demikian, budaya pecundang melanda kehidupan bangsa. Pusat teladan dan impian selalu di letakkan di luar negeri. Budaya konsumen untuk senantiasa mengutamakan produk asing merajalela, dengan mematikan daya-daya produktif dalam negeri.

Semangat progresif

Kebesaran jiwa menjadi barang langka. Para penyelenggara negara tidak menghayati prinsip-prinsip kehidupan publik, yang harus mengutamakan kepentingan umum ketimbang kepentingan pribadi dan kelompok. Kementerian-kementerian negara menjadi negara dalam negara yang berkhidmat pada kepentingan partainya masing-masing. Pemimpin negara hanya sibuk menyelamatkan karier politiknya, seraya mengabaikan keselamatan warga dan wilayah negara.

Sementara itu, berbagai inisiatif untuk memberi kenyamanan pagi para penyelenggara negara terus dikembangkan, kenyamanan untuk rakyat diabaikan. Persatuan nasional dide­ngungkan tanpa dilandasi kebesaran jiwa untuk menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Politik sebagai teknik terus dipercanggih, tetapi politik sebagai etik diterbelakangkan. Maka politik dan etik seperti air dengan minyak.

Keluasan imaji keindonesiaan meng­alami penyempitan. Pengotonomian dan desentralisasi kekuasaan, yang tidak diletakkan dalam konteks semangat kebangsaan dan negara persatuan yang luas, menimbulkan fragmentasi dan ke­terputusan. Putra daerahisme merajalela bersama kemunculan raja-raja kecil di daerah yang cenderung mengabaikan keterpautannya dengan simpul-simpul kekuasaan negara secara keseluruhan. Bersama perda-perda yang dilahirkan, semangat komunalisme berkembang atas anasir eksklusivisme etno-religius, yang menimbulkan retakan dalam imaji keindonesiaan.

Peringatan Sumpah Pemuda harus mampu menangkap apinya, bukan abunya. Bahwa semangat Sumpah Pemuda itu ialah semangat progresif mental muda, dengan kobaran komitmen, kebesaran, dan keluasaan jiwa, yang secara sengaja bersungguh-sungguh memperjuangkan visi demi membentuk dan membangun bangsa.

Dengan meminjam ungkapan Bung Karno, bisa dikatakan, “Semangat Sumpah Pemuda adalah semangat rela berjoang, berjoang mati-matian dengan penuh idealisme dan dengan mengesampingkan segala kepentingan diri sendiri. Semangat Sumpah Pemuda adalah semangat persatuan, persatuan yang bulat-mutlak dengan tiada mengecualikan sesuatu golong­an dan lapisan. Semangat Sumpah Pemuda adalah semangat membentuk dan membangun negara. Dan manakala sekarang tampak tanda-tanda kelunturan dan degenerasi, kikislah bersih semua kuman kelunturan dan degenerasi itu, hidupkanlah kembali semangat Sumpah Pemuda itu.” []

MEDIA INDONESIA, 29 Oktober 2018
Yudi Latif | Cendekiawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar