Lima Asas Perbankan Syariah (2):
Hifdhun Nasl Produk Turunan Perbankan
Pada tulisan yang lalu, kita sudah mengupas
tentang tiga unsur pokok al-dlarurariyyat al-khams, antara lain: hifdhun nafs,
hifdhul ‘aql, hifdhul mâl. Namun, pada tulisan kali ini, kita akan kaji satu
unsur lainnya, yaitu hifdhun nasl dan penerapannya dalam perbankan
syariah.
Hifdhun nasl asalnya merupakan sebuah konsepsi
menjaga keturunan. Menjaga keturunan ini bisa mencakup memilih pasangan yang
baik, mendidik anak, memberi nama, menafkahi dengan nafkah yang halal dan
lain-lain. Dalil asal hifdhun nasl ini adalah berangkat dari QS Al-Ra’du: 38,
yaitu:
وَلَقَدْ
أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَنْ يَأْتِيَ بِآَيَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ لِكُلِّ
أَجَلٍ كِتَابٌ
Artinya: “Sesungguhnya kami benar-benar telah
mengirim utusan sejak sebelummu (Muhammad) dan kami jadikan bagi mereka
istri-istri dan keturunan. Dan tiada seorang pun dari utusan itu datang membawa
suatu ayat kecuali atas seidzin Allah. Dan untuk setiap yang bernyawa ada
sebuah kitab.”
Sebagaimana konsep hifdhun nasl bisa kita
terapkan pada individu, selanjutnya kita bawa makna kontekstualnya ke dalam
dunia perbankan/perseroan. Kontekstualiasi makna hifdhun nasl dalam perspektif
perbankan syariah dapat mencakup banyak hal. Wujud dari hifdhun nasl ini bisa
terdiri atas seluruh produk turunan perbankan, baik dalam bidang funding,
financing maupun jasa.
Diawali dari kewajiban menjaga tetap
berlangsungnya kerja perbankan merupakan bagian dari hifdhun nasl. Konteks
hifdhun nasl terhadap nasabah bisa mencakup jaminan dana nasabah, jaminan tidak
akan menemui itlaaf (rusak) akibat tasharruf oleh perbankan melalui istishna’
(investasi usaha), serta jaminan selalu untung. Ini bagian dari hifdhun nasl
yang merupakan tantangan terberat bagi perbankan syari’ah.
Bagaimana tidak berat? Dalam berbagai akad
muamalah, setiap usaha yang mengatasnamakan usaha bersama, maka kedua belah
pihak harus siap menanggung untung rugi. Sebagaimana skim pembiayaan dan
permodalan di bank konvensional, yang selalu menjanjikan untung kepada
nasabahnya. Namun, dalam konteks fiqih muamalah, hal seperti itu tidak ditemui.
Untuk itu, pihak manajemen perbankan harus memutar otak untuk agar lubang skim
ini bisa tertutupi melalui hilah atau oleh hasil usaha lain.
Seluruh produk perbankan syariah baik dalam
rangka funding (pembiayaan), financing (penyaluran dana), maupun jasa, secara
keseluruhan memiliki basis akad-akad muamalah. Produk funding yang terdiri atas
deposito, tabungan, giro, basis akadnya mudlarabah dan wadi’ah. Itulah sebabnya
mengapa produk funding diperbankan syari’ah selalu disemati dengan istilah
mudlarabah ini, seperti giro wadi’ah, tabungan mudlarabah, deposito mudlarabah.
Sementara itu untuk produk financing selalu
disemati dengan istilah al-musyarakah, seperti akad al musyarakah, bai’
al-murabahah, mudlarabah atau ijarah. Inilah sebabnya, mengapa kita akan selalu
menemukan istilah skim pembiayaan oleh bank syari’ah, dengan istilah pembiayaan
murabahah, pembiayaan musyarakah, pembiayaan mudlarabah dan pembiayaan ijarah
(multijasa).
Apa motif utama perbankan memberi nama produk
funding dan financing tersebut berdasar akad muamalah? Jawabnya, semua itu
ditujukan untuk menjaga al-nasl (produk turunan) dari perbankan syari’ah ini
agar senantiasa terpercaya sebagai yang berbasis syariah. Untuk produk jasa
seperti Forex (foreign exchange), transfer antar perbankan dan ATM, seluruhnya
menggunakan dasar akad muamalah, misalnya bai’ al-sharf, hiwalah, ijarah, dan
lain-lain.
Gambaran di atas selintas memberikan kesan
kepada kita bahwa upaya kontekstualisasi fiqh al-nasl dalam fiqih transaksi
perbankan, adalah harus diaplikasikan melalui upaya memberikan legitimasi
setiap produk perbankan dengan konsep-konsep fiqih turats. Dengan demikian,
kerja dari Dewan Syariah perbankan terkait dengan upaya hifdhun nasl ini,
secara tidak langsung adalah:
1. Ia harus mencari landasan hukum muamalah
setiap produk perbankan, khususnya terkait dengan produk yang akan
diluncurkan.
2. Landasan hukum yang dipakai dasar harus
sesuai dengan madzhab basis konsep perbankan tersebut akan diterapkan
3. Hukum yang dikeluarkan memiliki keterpaduan
dengan konsepsi riel di masyarakat. Karena masyarakat Indonesia, mayoritas
dilandasi khazanah fiqih klasik, maka hukum ini tidak boleh menabrak
norma-norma yang telah digariskan oleh khazanah klasik tersebut
4. Hukum yang dikeluarkan harus tetap menimbang
sisi kompetitifnya dengan perbankan konvensional, karena mustahil diberlakukan
suatu produk namun dalam faktanya justru kalah daya saingnya dengan perbankan
konvensional.
5. Hukum dapat diaplikasikan melalui teknologi
yang berkembang. Seperti misalnya akad dropshipping, jual-beli online, bai’
muathah, dan lain-lain.
Kelima tugas utama dewan syari’ah perbankan di
atas, juga bisa menjadi standar produk perbankan syari’ah. Mengapa? Karena
bank/lembaga keuangan syari’ah ini pada dasarnya didirikan dalam rangka
islamisasi dunia perbankan. Karena merupakan proses islamisasi, maka produk
yang diislamisasikan tidak boleh meninggalkan perkembangan dunia perbankan di
sekelilingnya. Langkah islamisasi juga tidak boleh keluar dari konteks
ketentuan-ketentuan yang telah dituangkan oleh para ulama sebelumnya.
Singkatnya, pendasaran terhadap akad-akad muamalah fiqhiyyah seolah menjadi
paradigma yang mendasar dalam setiap penciptaan produk-produk baru perbankan
syariah, wujud lain dari hifdhun nasl.
Wallahu a’lam.
[]
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri Pulau Bawean, Kab. Gresik, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar