Jumat, 12 Oktober 2018

(Ngaji of the Day) Lima Asas Perbankan Syariah (2): Hifdhun Nasl Produk Turunan Perbankan


Lima Asas Perbankan Syariah (2): Hifdhun Nasl Produk Turunan Perbankan

Pada tulisan yang lalu, kita sudah mengupas tentang tiga unsur pokok al-dlarurariyyat al-khams, antara lain: hifdhun nafs, hifdhul ‘aql, hifdhul mâl. Namun, pada tulisan kali ini, kita akan kaji satu unsur lainnya, yaitu hifdhun nasl dan penerapannya dalam perbankan syariah. 

Hifdhun nasl asalnya merupakan sebuah konsepsi menjaga keturunan. Menjaga keturunan ini bisa mencakup memilih pasangan yang baik, mendidik anak, memberi nama, menafkahi dengan nafkah yang halal dan lain-lain. Dalil asal hifdhun nasl ini adalah berangkat dari QS Al-Ra’du: 38, yaitu:  

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَنْ يَأْتِيَ بِآَيَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ

Artinya: “Sesungguhnya kami benar-benar telah mengirim utusan sejak sebelummu (Muhammad) dan kami jadikan bagi mereka istri-istri dan keturunan. Dan tiada seorang pun dari utusan itu datang membawa suatu ayat kecuali atas seidzin Allah. Dan untuk setiap yang bernyawa ada sebuah kitab.”

Sebagaimana konsep hifdhun nasl bisa kita terapkan pada individu, selanjutnya kita bawa makna kontekstualnya ke dalam dunia perbankan/perseroan. Kontekstualiasi makna hifdhun nasl dalam perspektif perbankan syariah dapat mencakup banyak hal. Wujud dari hifdhun nasl ini bisa terdiri atas seluruh produk turunan perbankan, baik dalam bidang funding, financing maupun jasa.

Diawali dari kewajiban menjaga tetap berlangsungnya kerja perbankan merupakan bagian dari hifdhun nasl. Konteks hifdhun nasl terhadap nasabah bisa mencakup jaminan dana nasabah, jaminan tidak akan menemui itlaaf (rusak) akibat tasharruf oleh perbankan melalui istishna’ (investasi usaha), serta jaminan selalu untung. Ini bagian dari hifdhun nasl yang merupakan tantangan terberat bagi perbankan syari’ah. 

Bagaimana tidak berat? Dalam berbagai akad muamalah, setiap usaha yang mengatasnamakan usaha bersama, maka kedua belah pihak harus siap menanggung untung rugi. Sebagaimana skim pembiayaan dan permodalan di bank konvensional, yang selalu menjanjikan untung kepada nasabahnya. Namun, dalam konteks fiqih muamalah, hal seperti itu tidak ditemui. Untuk itu, pihak manajemen perbankan harus memutar otak untuk agar lubang skim ini bisa tertutupi melalui hilah atau oleh hasil usaha lain.

Seluruh produk perbankan syariah baik dalam rangka funding (pembiayaan), financing (penyaluran dana), maupun jasa, secara keseluruhan memiliki basis akad-akad muamalah. Produk funding yang terdiri atas deposito, tabungan, giro, basis akadnya mudlarabah dan wadi’ah. Itulah sebabnya mengapa produk funding diperbankan syari’ah selalu disemati dengan istilah mudlarabah ini, seperti giro wadi’ah, tabungan mudlarabah, deposito mudlarabah.

Sementara itu untuk produk financing selalu disemati dengan istilah al-musyarakah, seperti akad al musyarakah, bai’ al-murabahah, mudlarabah atau ijarah. Inilah sebabnya, mengapa kita akan selalu menemukan istilah skim pembiayaan oleh bank syari’ah, dengan istilah pembiayaan murabahah, pembiayaan musyarakah, pembiayaan mudlarabah dan pembiayaan ijarah (multijasa). 

Apa motif utama perbankan memberi nama produk funding dan financing tersebut berdasar akad muamalah? Jawabnya, semua itu ditujukan untuk menjaga al-nasl (produk turunan) dari perbankan syari’ah ini agar senantiasa terpercaya sebagai yang berbasis syariah. Untuk produk jasa seperti Forex (foreign exchange), transfer antar perbankan dan ATM, seluruhnya menggunakan dasar akad muamalah, misalnya bai’ al-sharf, hiwalah, ijarah, dan lain-lain. 

Gambaran di atas selintas memberikan kesan kepada kita bahwa upaya kontekstualisasi fiqh al-nasl dalam fiqih transaksi perbankan, adalah harus diaplikasikan melalui upaya memberikan legitimasi setiap produk perbankan dengan konsep-konsep fiqih turats. Dengan demikian, kerja dari Dewan Syariah perbankan terkait dengan upaya hifdhun nasl ini, secara tidak langsung adalah:

1. Ia harus mencari landasan hukum muamalah setiap produk perbankan, khususnya terkait dengan produk yang akan diluncurkan. 

2. Landasan hukum yang dipakai dasar harus sesuai dengan madzhab basis konsep perbankan tersebut akan diterapkan

3. Hukum yang dikeluarkan memiliki keterpaduan dengan konsepsi riel di masyarakat. Karena masyarakat Indonesia, mayoritas dilandasi khazanah fiqih klasik, maka hukum ini tidak boleh menabrak norma-norma yang telah digariskan oleh khazanah klasik tersebut

4. Hukum yang dikeluarkan harus tetap menimbang sisi kompetitifnya dengan perbankan konvensional, karena mustahil diberlakukan suatu produk namun dalam faktanya justru kalah daya saingnya dengan perbankan konvensional. 

5. Hukum dapat diaplikasikan melalui teknologi yang berkembang. Seperti misalnya akad dropshipping, jual-beli online, bai’ muathah, dan lain-lain. 

Kelima tugas utama dewan syari’ah perbankan di atas, juga bisa menjadi standar produk perbankan syari’ah. Mengapa? Karena bank/lembaga keuangan syari’ah ini pada dasarnya didirikan dalam rangka islamisasi dunia perbankan. Karena merupakan proses islamisasi, maka produk yang diislamisasikan tidak boleh meninggalkan perkembangan dunia perbankan di sekelilingnya. Langkah islamisasi juga tidak boleh keluar dari konteks ketentuan-ketentuan yang telah dituangkan oleh para ulama sebelumnya. Singkatnya, pendasaran terhadap akad-akad muamalah fiqhiyyah seolah menjadi paradigma yang mendasar dalam setiap penciptaan produk-produk baru perbankan syariah, wujud lain dari hifdhun nasl. 

Wallahu a’lam.

[]

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri Pulau Bawean, Kab. Gresik, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar