Qabdlu Haqiqi dan Qabdlu
Hukmi dalam Fiqih Transaksi Modern
Akad jual beli merupakan sebuah akad yang
berujung pada perpindahan status kepemilikan dan kuasa atas barang/aset dari
seorang penjual kepada pembeli. Dalam literatur fiqih klasik, salah satu syarat
jual beli yang wajib ada adalah al-qabdlu (penerimaan aset). Tanpa al-qabdlu,
maka ulama kalangan Syafi’iyah sepakat bahwa jual beli tersebut tidak
sah.
Namun seiring perkembangan zaman, dengan
objek material barang yang dijual berbeda-beda segi intensitas dan
kuantitasnya, maka para ulama berbeda pendapat terkait dengan status
kepemilikan barang sebelum atau sesudah qabdlu.
Menurut madzhab Maliki, perpindahan hak milik
terjadi apabila pembeli sudah memiliki hak kuasa dalam memanfaatkan barang/aset
meskipun belum ada unsur qabdlu. Masih menurut Malikiyyah, barang atau aset di
sini bersifat tidak terbatas mencakup ‘aqar (barang tak bergerak, seperti sawah,
tanah, kebun, dll), atau manqul (barang bergerak). Namun, madzhab Hanbali,
mensyaratkan secara mutlak bahwa terjadinya perpindahan kepemilikan dimulai
saat pembeli sudah qabdlu (menerima aset) sebelum ia memanfaatkannya. Perbedaan
ini membawa imbas terhadap persoalan furu’ nantinya. Di kalangan Syafi’iyah
sendiri, al-qabdlu ini menjadi salah satu syarat mutlak sahnya jual beli.
Apa sih qabdlu itu?
Dari sudut terminologi bahasanya, qabdlu
bermakna memegang atau menggenggam. Sinonim dari qabdlu dalam istilah fiqih
adalah naqd, munajazah, hiyazah, yadd, yadd bi yadd, haq wa haq, qada’ wa
iqtida’. Namun menurut istilah, sebagaimana disampaikan oleh Ibnu al-Jauzi
dalam al-Qawanînu al-Fiqhiyyah: 328, al-qabdlu adalah:
حيازة
الشيء والتمكن منه سواء كان التمكن باليد، أو بعدم المانع من الاستيلاء عليه، وهو
ما يسمى بالتخلية أو القبض الحكمي
Artinya: “Kepemilikan atas aset atau hak
pakai atas suatu aset, yang diterima baik dengan jalan langsung serah terima
tangan, atau dengan ketiadaan penghalang untuk menguasainya.”
Dengan kata lain, bahwa al-qabdlu adalah
penguasaan atas aset oleh pembeli yang menyebabkan ia berhak untuk melakukan
tindakan hukum terhadap aset tersebut, seperti tasharruf, menjual, dan
lain-lain, serta menerima manfaat atau menanggung risiko akibat dari
kepemilikannya.
Seiring perkembangan zaman dan kemajuan
teknologi, praktik jual beli juga turut mengalami pengaruh. Semula praktik jual
beli hanya bisa dilakukan dengan jalan bertemu langsung antara penjual dan
pembeli, atau melalui perantara wakil penjual atau wakil pembeli, namun saat
ini media jual beli sudah berkembang melalui media online, atau media lain yang
sejenis, seperti misalnya Bursa Efek Indonesia, yang di dalamnya objek jual
beli mengalami perubahan.
Jika pada masa awal disampaikannya risalah
kenabian, praktik jual beli langsung bisa dilakukan dengan media uang dan
barang, atau melalui praktik barter dengan objek barang berupa barang konkret
(dhahir). Namun di era sekarang, jual beli dilakukan melalui objek berupa surat
berharga, dokumen, nota, cek, dan lain-lain.
Melihat adanya perubahan objek barang yang
dijual berbeda dengan objek awal risalah, maka kemudian para fuqaha’
mengelompokkan jual beli menjadi dua, yaitu bai’ haqiqi dan bai’ hukmi.
Penerimaan hak kuasa barang juga dilakukan melalui dua cara yaitu qabdlu hakiki
dan qabdlu hukmi. Dalam Keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islam Nomor 53 dengan
menukil pendapatnya Syeikh Wahbah Al-Zuhaili, disampaikan bahwa:
القبض
في بيع العملات إما حقيقي وإما حكمي:
أما
القبض الحقيقي فيتم بنحو حسي ملموس بالأخذ باليد ، أو الكيل ، أو الوزن في الطعام
، أو النقل والتحويل إلى حوزة القابضوأما القبض الحكمي فهو كل ما تتحقق به الحيازة
والتمكن من التصرف ، بحسب العرف السائد ، من غير تناول باليد أو قبض حسي
Artinya: “Al-Qabdlu dalam perdagangan surat
berharga, ada kalanya haqiqi (legal ownership), dan ada kalanya hukmi
(beneficial ownership). Al-qabdlu al-haqiqi adalah sempurnanya perpindahan
kepemilikan barang secara tradisional melalui jalan menyentuh, menerima dengan
tangan, menakar, menimbang suatu makanan, memindah atau membawa kepada
penguasaan pembeli. Sementara al-qabdlu al-hukmi adalah segala sesuatu yang
menyatakan terjadinya perpindahan hak milik atau hak kelola aset menurut ‘urf
yang berlaku tanpa keterlibatan unsur tangan atau penerimaan tradisional.”
Dalam ta’rif modern menurut kalangan ekonom,
qabdlu haqiqi diistilah sebagai kepemilikan penuh/sah dan diakui oleh
undang-undang yang berlaku, yang disertai dengan pindah nama secara resmi di
atas dokumen hak milik. Sementara qabdlu hukmi, sering mereka istilahkan
sebagai beneficial ownership. Status aset lewat qabdlu hukmi ini hampir serupa
dengan qabdlu haqiqi, namun ada beberapa perbedaan khusus di sana.
Sebagai contoh untuk qabdlu haqiqi, adalah
jual beli kendaraan bermotor. Jika seorang pembeli telah membayar kepada pihak
dealer sejumlah uang yang disyaratkan, maka ia berhak mendapatkan sepeda motor
tersebut, dengan surat kuasa sah atas kepemilikan yang diakui oleh negara.
Adapun contoh mudah dari qabdlu hukmi adalah,
seorang pelanggan PLN (Perusahaan Listrik Negara), yang mengajukan diri
pemasangan listrik di rumahnya. Segala persyaratan sudah dipenuhinya termasuk
pembelian alat meteran listrik yang harus dipasang. Status kepemilikan listrik
juga atas nama si pelanggan tersebut. Namun, dalam beberapa hak guna, ternyata
ia dibatasi oleh PLN, bahwa jika ia tidak mampu membayar listrik, maka pihak
PLN bisa memutus listriknya dan sekaligus membawa perangkat tersebut. Status kepemilikan
perangkat yang sejatinya sudah atas nama dirinya secara dokumen, namun
praktiknya masih menjadi milik PLN. Inilah yang kemudian oleh para fuqaha’
dinamakan dengan istilah qabdlu hukmi atau yang oleh para ekonom istilahkan
sebagai beneficial ownership, yaitu kepemilakan atas dasar pemanfaatan.
Karena status qabdlu hukmi adalah beneficial
ownership, asas kemanfaatan, maka biasanya dalam praktik perbankan, istilah ini
dipakai untuk transaksi murabahah dengan praktik yang menyerupai qabdlu
haqiqi.
Apakah qabdlu hukmi ini termasuk yang harus
dilaksanakan untuk transaksi dewasa ini?
Dalam keputusan Majma’ Fiqh Islami, dengan
nomor keputusan 53 (4/6), disebutkan bahwa untuk beberapa kasus transaksi, demi
menjaga kemaslahatan dan menghindar kemudlaratan, qabdlu hukmi sebagai bagian
yang wajib untuk dilaksanakan. Adapun pedoman pelaksanaannya adalah ‘urf
(adat-istiadat) yang berlaku dalam perseroan/lembaga tersebut. Sebagai contoh,
di atas sudah disampaikan untuk kasus PLN. Bagaimana dengan perbankan?
Dalam praktik amaliyah perbankan, kasus jual
beli murabahah ini berlaku ketika ada seorang nasabah hendak melakukan pinjaman
ke bank. Karena akad mudayyanah dapat mengurangi modal, dan bank syariah tidak
berhak menarik bunga kepada nasabah, maka dilakukanlah akad murabahah melalui
jual beli dengan akad tawarruq, bai’u al-‘uhdah, atau bai’ bi al-syarth seperti
kasus transaksi REPO sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu. Kepemilikan
nasabah atas suatu barang, diterimakan secara dokumen, dan penjualannya dipercayakan
kepada bank melalui via dokumen pula. Selanjutnya, Nasabah menerima hasil
penjualan via transaksi di atas dokumen tersebut, dalam rupa kredit barang yang
harus ia angsur sebagai perjanjian yang dilakukannya dengan Bank dan Bank
dengan Dealer yang dipercaya oleh Bank.
Wallahu a’lam
[]
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean, Kab. Gresik, Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar