Selasa, 30 Oktober 2018

Haedar Nashir: Mencintai Indonesia


Mencintai Indonesia
Oleh: Haedar Nashir

Anda mencintai Indonesia? Penyanyi nyentrik almarhum Mbah Surip menjawab dengan lagu populernya: “I Love You Full”. Cinta sepenuh hati sampai mati. Ibarat kisah romantis Zainudin dan Hayati dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka.

Semua warga bangsa tentu mencintai Indonesia. Namun, ekspresi cinta Indonesia itu beragam dan tidak satu warna. Mungkin ada yang suka menggebu-gebu dan gemar berslogan heroik “Aku Indonesia”, “Aku Pancasila”, “NKRI harga mati”. Ada yang terbiasa melakukan pekik “Merdeka” terutama ketika berpidato. Ada pula yang pamer kaus oblong bertuliskan “I love Indonesia”. Suatu idiom cinta gaya verbal.

Sebagian mengekspresikan cinta Indonesia dengan berbagai upacara dan kegiatan-kegiatan simbolis, seperti pada perayaan HUT kemerdekaan atau hari-hari nasional lainnya. Dari berbagai kirab cinta negeri dan ritual-ritual sosial kebangsaan yang bersifat massal sampai kegitan lomba panjat pinang, balap karung, dan makan krupuk. Bendera Merah Putih dibawa ke mana-mana untuk menunjukkan simbol lekat keindonesiaan. Cinta penuh gembira ala kerumunan massa.

Banyak pula yang tidak suka gembar-gembor menyuarakan “Aku cinta Indonesia” kecuali sesekali ketika dipandang perlu untuk berkata-kata. Tetapi, bakti dan pengorbanannya luar biasa untuk merawat dan memajukan Indonesia. Mereka bekerja gigih untuk rakyat tanpa pamrih memajukan Indonesia.

Mereka menjadi sukarelawan membantu saudaranya yang terkena musibah banjir, gempa bumi, tsunami, dan bencana alam lainnya, bahkan dengan taruhan nyawa. Mereka berkhidmat di sudut-sudut negeri dalam ruang sunyi tanpa publikasi dan retorika sarat citra.

Boleh jadi terdapat pula cinta palsu. Setiap hari lantang menggelorakan cinta NKRI, setia Pancasila, pro-kebinekaan, dan idiom-idiom kebangsaan lainnya yang merah menyala. Pada saat yang sama menyelinap ke seluruh relung negeri mengejar keuntungan diri secara politik, ekonomi, dan akses pamrih lainnya tanpa rasa kenyang.

Di antara mereka haus proyek dan segala akses kuasa untuk menguras bumi, alam, kekayaan, dan hajat hidup rakyat Indonesia. Klaimnya cinta Indonesia, tetapi kenyataannya memperdaya dan menyandera Indonesia!

Eksistensi cinta

Sungguh, ekspresi kecintaan terhadap Indonesia tidak harus sama dan sebangun antara satu warga dengan lainnya. Ketika kecintaan itu diwujudkan dalam bentuk kritik dan pendewasaan tanpa memanjakan, apakah itu bukan cinta Indonesia? Tentu kritik yang konstruktif itu pun merupakan wujud cinta Indonesia agar yang dicintai tetap utuh lahir dan batin serta tidak salah arah jalan.

Cinta sejati bukan memanjakan dan membiarkan yang dicintai terjerumus dalam jurang. Cinta itu menyayangi setulus hati disertai mendidik, mendewasakan, memberdayakan, memajukan, dan membebaskan.

Dalam filsafat eksistensialisme Gabriel Marcel, cinta memerlukan fidelite, yakni sikap setia dalam membangun hubungan dengan yang dicintai. Tetapi, kesetiaan itu, kata sang filosof Prancis, bukanlah taklid minus pendirian. Kesetiaan cinta mengandung kesediaan untuk terlibat dengan keberanian mengambil risiko.

Jangan dibiarkan Indonesia yang dicintai jatuh dan salah kaprah. Seperti mencegah Indonesia dari cengkeraman pihak mana pun, baik domestik maupun asing yang dapat menghancurkan kedaulatan negeri serta menguras kekayaan alam milik rakyatnya.

Kata Marcel, cinta pun harus memiliki sifat engagement, yakni mengambil bagian dalam membangun relasi yang positif. Dalam makna ini, jika cinta Indonesia maka semua pihak harus terlibat dalam mencegah Indonesia dari kemunduran, ketertinggalan, kejumudan, luruh nilai, krisis, korupsi, dan segala perbuatan yang membuat negeri ini jatuh.

Jika benar-benar “Aku Indonesia”, jangan biarkan rupiah terpuruk, ekonomi krisis, politik disandera, perusahaan-perusahaan milik negara disalahgunakan, mafia-mafia impor merajalela, narkoba meluas, penjahat kerah putih beraksi leluasa, para petualang politik dan ekonomi berbuat sekehendaknya, dan segala ancaman masuk dengan leluasa ke negeri ini.

Manakala benar-benar cinta Indonesia, maka “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya” seperti spirit dalam salah satu bait lagu “Indonesia Raya”. Bawa, bangun, dan kelola negeri dan bangsa ini dengan amanah yang sebaik-baiknya menuju keadaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sebagaimana cita-cita nasional yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa tahun 1945.

Baik pemerintah maupun komponen rakyat semua bersatu menjadikan Indonesia benar-benar maju dan berdaulat di segala bidang kehidupan. Bahkan, jika benar-benar cinta Pancasila maka wujudkan kelima sila yang luhur itu dalam kebijakan dan praktik kehidupan nyata, tidak berhenti dalam slogan dan kata-kata indah belaka.

Makna refleksinya, bahwa cinta Indonesia tentu bukan cinta buta apalagi cinta pura-pura alias pura-pura cinta. Indonesia mesti dijaga agar benar-benar layak untuk dicintai.

Cinta Indonesia, cinta NKRI, cinta Pancasila, cinta Bhinneka Tunggal Ika, dan sederet aklamasi cinta yang gempita mesti diwujudkan agar negeri ini benar-benar menjadi unggul, jaya, dan berkemajuan menuju peradaban tinggi sejajar dengan bangsa dan negara lain yang telah maju di pentas dunia. Itulah cinta Indonesia yang murni atau autentik. Inilah wujud cinta sejati, bukan cinta verbal dan komunal.

Indonesia yang dicintai tidak boleh dibiarkan menjadi negeri yang disandera dan digerogoti oleh para koruptor, pengeruk kekayaan alam, petualang politik, tangan-tangan perkasa yang haus kekayaan alam, dan aktor-aktor rakus yang haus kuasa, harta, dan gemerlap duniawi tak berkesudahan.

Sementara, mayoritas rakyat belum menerima keadilan dan kemakmuran sebagaimana didambakan mereka dalam suasana miskin, sulit pekerjaan, marginal, dan tidak menjadi tuan di negeri sendiri. Jika benar-benar cinta Indonesia yang sejati, maka meminjam istilah WS Rendra, jangan biarkan negeri dan bangsa ini seperti “kasur tua”. Cinta sejati tidak ingin menyaksikan Indonesia yang dicintainya hidup nestapa!

Ultra-nasionalisme

Ketika cinta Indonesia digelorakan sedemikian rupa hingga mematikan nalar sehat dan kewajaran, sesungguhnya aura cinta seperti itu sering kehilangan zauhar atau esensi cinta yang penuh makna. Cinta verbal seperti itu rapuh, bahkan ketika bersenyawa dengan kepentingan-kepentingan lain yang eksklusif dan menyelinap dalam nafsu egoisme diri atau kelompok secara berlebihan, boleh jadi malah dapat menumbuhkan aura cinta gelap mata.

Cinta yang mengandung cemburu buta sekaligus kehilangan rasionalitas, akan memandang orang lain sebagai ancaman dan musuh negara hanya karena berbeda ekspresi cintanya kepada Indonesia. Indonesia seakan miliknya sendiri, orang lain dianggap penumpang gelap.

Cinta berlebihan disertai ekslusivitas yang menutup diri akan rasa ketanah-airan jika salah kelola dapat memupuk benih nasionalisme yang ekstrem sebagaimana tumbuhnya ideologi ultra-nasionalisme di Italia, Jerman, dan Jepang pada era Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Nasionalisme yang ultra atau ekstrem menumbuhkan gelora “chauvinisme”, suatu virus yang mematri keyakinan berlebihan (true believing) bahwa bangsa dan negeri sendiri adalah yang paling segalanya dibanding negara dan bangsa lain di muka bumi ini.

Negeri dan bangsa sendiri satu-satunya di muka bumi yang paling unggul, seraya merendahkan bangsa dan negara lain dengan nafsu serbadigdaya. Meskipun negerinya ringkih dan dirundung banyak masalah.

Ideologi ultra-nasionalisme di tiga negara tersebut pada masa itu melahirkan rezim fasis yang totalitarian. Negara atau pemerintah sebagai pusat hegemoni yang absolut, sedang warga negara kehilangan kebebesannya. Pemerintahan fasis yang ultra-nasionalis atau ultra-nasionalis yang fasis itu serbasensitif terhadap kebebasan warganegaranya.

Sedikit saja warganya berbeda pandangan akan dianggap antipemerintah dan dianggap mengancam negara. Pendukung rezim pemerintah pun ikut-ikutan fasis dan ultra-nasionalis sehingga selalu ingin mengawasi, meneror, mengendalikan, dan merepresi siapa pun yang tidak sejalan dengan pemerintah dan paham nasionalismenya yang bergaris keras.

Oleh karena itu, paham ultra-nasionalis di mana pun selalu bermasalah. Sikapnya cenderung represif terhadap pihak lain. Cinta bangsa dan bela Tanah Air diterjemahkan secara monolitik berdasarkan pahamnya sendiri yang sempit, naif, dan meneror. Kelompok nasionalis yang ultra tersebut tidak toleran terhadap perbedaan.

Kelompok lain yang berbeda dengan dirinya akan dianggap ancaman terhadap negara memgikuti pandangannya sendiri yang tertutup. Akibatnya, sikap dan tindakannya pun suka sewenang-wenang atas nama cinta bangsa dan negara, bahkan tak segan melakukan kekerasan atas nama bela negara.
Dalam konteks keagamaan, ketika cinta bangsa dan negara atau cinta Tanah Air dibungkus dengan kredo hubbul wathan min al-iman, yang terjadi malah bias perilaku dan represif. Agama dan iman bukan menjadi ajaran pencerah, sebaliknya sebagai alat pemukul yang sakral. Gampang menuding pihak lain radikal, padahal dirinya sama radikalnya.

Karena paham ultra-nasionalisme yang berlebihan, maka melahirkan ketidakseimbangan antara jiwa keimanan dan cinta ketanah-airan. Imannya menjadi kering karena serbaverbal dan jarang dijernihkan, sementara cinta negerinya serbaekstrem dan berhenti di kulit luar. Dimensi iman yang sublim (jernih dan mencerahkan ruhani) dikalahkan atau bahkan menjadi subordinasi dari nasionalisme yang ingar-bingar.

Akibat lebih jauh bahwa iman sebagai ranah transendensi (melampaui, tak terbatas) yang bersumbu pada tauhid menjadi serbaimanen (dekat, sekuler)dan kehilangan pengaruh nilai ruhaniahnya yang mencerahkan dalam jiwa berbangsa dan bernegara.

Dengan ultra-nasionalisme yang naif seperti itu, maka sensitivitas terhadap simbol-simbol ketuhanan, keagamaan, dan keimanan yang murni menjadi mati suri dikalahkan simbol-simbol verbal nasionalisme yang dangkal. Lafaz Asma al-Husna pun dengan ringan direduksi oleh orientasi ideologi dan politik yang sempit sehingga kehilangan nilai dan maknanya yang luhur.

Paham nasionalismenya yang ultra dan radikal dapat mengalahkan pandangan keagamaan atau keimanannya yang damai dan luhur. Kalimah tauhid dihayati serba dhahir dan tercerabut dari batinnya yang esensial karena dibayangi cemburu buta dan sikap curiga terhadap siapa pun yang dianggap ancaman bagi diri dan negerinya.

Cinta butanya terhadap Tanah Air sampai mengalahkan cinta sejatinya kepada Allah sebagaimana dilukiskan Alquran, yang artinya: “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS: at-Taubah Ayat: 24).

Muslim di mana pun, meskipun cinta Tanah Air, niscaya lurus tauhidnya kepada Allah sebagaimana firman-Nya: ”Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-An’aam: 162). Bukankah di antara ciri orang-orang yang beriman, mereka amat sangat mendalam cintanya kepada Allah?

Maka, sungguh merugi manakala ada yang bersikap tahawwur atau nekat dengan meluruhkan iman nan jernih dan mengoyak keutuhan ukhuwah dengan saudara seiman demi cinta Tanah Air yang berlebihan. Padahal, Islam mengajarkan, sebaik-baik urusan ialah yang bersifat tengahan. Lalu, mengapa mesti mengambil jalan radikal untuk mencintai Indonesia dalam sangkar besi ultra-nasionalisme yang usang? []

REPUBLIKA. 28 Oktober 2018
Haedar Nashir | Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar