Mencintai
Indonesia
Oleh:
Haedar Nashir
Anda
mencintai Indonesia? Penyanyi nyentrik
almarhum Mbah Surip menjawab dengan lagu populernya: “I Love You Full”. Cinta
sepenuh hati sampai mati. Ibarat kisah romantis Zainudin dan Hayati dalam novel
Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck karya Buya Hamka.
Semua
warga bangsa tentu mencintai Indonesia. Namun, ekspresi cinta Indonesia itu
beragam dan tidak satu warna. Mungkin ada yang suka menggebu-gebu dan gemar
berslogan heroik “Aku Indonesia”, “Aku Pancasila”, “NKRI harga mati”. Ada yang
terbiasa melakukan pekik “Merdeka” terutama ketika berpidato. Ada pula yang
pamer kaus oblong bertuliskan “I love Indonesia”. Suatu idiom cinta gaya
verbal.
Sebagian
mengekspresikan cinta Indonesia dengan berbagai upacara dan kegiatan-kegiatan
simbolis, seperti pada perayaan HUT kemerdekaan atau hari-hari nasional
lainnya. Dari berbagai kirab cinta negeri dan ritual-ritual sosial kebangsaan
yang bersifat massal sampai kegitan lomba panjat pinang, balap karung, dan
makan krupuk. Bendera Merah Putih dibawa ke mana-mana untuk menunjukkan simbol
lekat keindonesiaan. Cinta penuh gembira ala kerumunan massa.
Banyak
pula yang tidak suka gembar-gembor menyuarakan “Aku cinta Indonesia” kecuali
sesekali ketika dipandang perlu untuk berkata-kata. Tetapi, bakti dan pengorbanannya
luar biasa untuk merawat dan memajukan Indonesia. Mereka bekerja gigih untuk
rakyat tanpa pamrih memajukan Indonesia.
Mereka
menjadi sukarelawan membantu saudaranya yang terkena musibah banjir, gempa
bumi, tsunami, dan bencana alam lainnya, bahkan dengan taruhan nyawa. Mereka
berkhidmat di sudut-sudut negeri dalam ruang sunyi tanpa publikasi dan retorika
sarat citra.
Boleh
jadi terdapat pula cinta palsu. Setiap hari lantang menggelorakan cinta NKRI,
setia Pancasila, pro-kebinekaan, dan idiom-idiom kebangsaan lainnya yang merah
menyala. Pada saat yang sama menyelinap ke seluruh relung negeri mengejar
keuntungan diri secara politik, ekonomi, dan akses pamrih lainnya tanpa rasa
kenyang.
Di antara
mereka haus proyek dan segala akses kuasa untuk menguras bumi, alam, kekayaan,
dan hajat hidup rakyat Indonesia. Klaimnya cinta Indonesia, tetapi kenyataannya
memperdaya dan menyandera Indonesia!
Eksistensi cinta
Sungguh,
ekspresi kecintaan terhadap Indonesia tidak harus sama dan sebangun antara satu
warga dengan lainnya. Ketika kecintaan itu diwujudkan dalam bentuk kritik dan
pendewasaan tanpa memanjakan, apakah itu bukan cinta Indonesia? Tentu kritik
yang konstruktif itu pun merupakan wujud cinta Indonesia agar yang dicintai
tetap utuh lahir dan batin serta tidak salah arah jalan.
Cinta
sejati bukan memanjakan dan membiarkan yang dicintai terjerumus dalam jurang.
Cinta itu menyayangi setulus hati disertai mendidik, mendewasakan,
memberdayakan, memajukan, dan membebaskan.
Dalam
filsafat eksistensialisme Gabriel Marcel, cinta memerlukan fidelite, yakni sikap
setia dalam membangun hubungan dengan yang dicintai. Tetapi, kesetiaan itu,
kata sang filosof Prancis, bukanlah taklid minus pendirian. Kesetiaan cinta
mengandung kesediaan untuk terlibat dengan keberanian mengambil risiko.
Jangan
dibiarkan Indonesia yang dicintai jatuh dan salah kaprah. Seperti mencegah
Indonesia dari cengkeraman pihak mana pun, baik domestik maupun asing yang
dapat menghancurkan kedaulatan negeri serta menguras kekayaan alam milik
rakyatnya.
Kata
Marcel, cinta pun harus memiliki sifat engagement,
yakni mengambil bagian dalam membangun relasi yang positif. Dalam makna ini,
jika cinta Indonesia maka semua pihak harus terlibat dalam mencegah Indonesia
dari kemunduran, ketertinggalan, kejumudan, luruh nilai, krisis, korupsi, dan
segala perbuatan yang membuat negeri ini jatuh.
Jika
benar-benar “Aku Indonesia”, jangan biarkan rupiah terpuruk, ekonomi krisis,
politik disandera, perusahaan-perusahaan milik negara disalahgunakan,
mafia-mafia impor merajalela, narkoba meluas, penjahat kerah putih beraksi
leluasa, para petualang politik dan ekonomi berbuat sekehendaknya, dan segala
ancaman masuk dengan leluasa ke negeri ini.
Manakala
benar-benar cinta Indonesia, maka “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”
seperti spirit dalam salah satu bait lagu “Indonesia Raya”. Bawa, bangun, dan
kelola negeri dan bangsa ini dengan amanah yang sebaik-baiknya menuju keadaan
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur sebagaimana cita-cita
nasional yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa tahun 1945.
Baik
pemerintah maupun komponen rakyat semua bersatu menjadikan Indonesia
benar-benar maju dan berdaulat di segala bidang kehidupan. Bahkan, jika
benar-benar cinta Pancasila maka wujudkan kelima sila yang luhur itu dalam
kebijakan dan praktik kehidupan nyata, tidak berhenti dalam slogan dan
kata-kata indah belaka.
Makna
refleksinya, bahwa cinta Indonesia tentu bukan cinta buta apalagi cinta
pura-pura alias pura-pura cinta. Indonesia mesti dijaga agar benar-benar layak
untuk dicintai.
Cinta
Indonesia, cinta NKRI, cinta Pancasila, cinta Bhinneka Tunggal Ika, dan sederet
aklamasi cinta yang gempita mesti diwujudkan agar negeri ini benar-benar
menjadi unggul, jaya, dan berkemajuan menuju peradaban tinggi sejajar dengan
bangsa dan negara lain yang telah maju di pentas dunia. Itulah cinta Indonesia
yang murni atau autentik. Inilah wujud cinta sejati, bukan cinta verbal dan
komunal.
Indonesia
yang dicintai tidak boleh dibiarkan menjadi negeri yang disandera dan
digerogoti oleh para koruptor, pengeruk kekayaan alam, petualang politik,
tangan-tangan perkasa yang haus kekayaan alam, dan aktor-aktor rakus yang haus
kuasa, harta, dan gemerlap duniawi tak berkesudahan.
Sementara,
mayoritas rakyat belum menerima keadilan dan kemakmuran sebagaimana didambakan
mereka dalam suasana miskin, sulit pekerjaan, marginal, dan tidak menjadi tuan
di negeri sendiri. Jika benar-benar cinta Indonesia yang sejati, maka meminjam
istilah WS Rendra, jangan biarkan negeri dan bangsa ini seperti “kasur tua”.
Cinta sejati tidak ingin menyaksikan Indonesia yang dicintainya hidup nestapa!
Ultra-nasionalisme
Ketika
cinta Indonesia digelorakan sedemikian rupa hingga mematikan nalar sehat dan
kewajaran, sesungguhnya aura cinta seperti itu sering kehilangan zauhar atau esensi cinta
yang penuh makna. Cinta verbal seperti itu rapuh, bahkan ketika bersenyawa
dengan kepentingan-kepentingan lain yang eksklusif dan menyelinap dalam nafsu
egoisme diri atau kelompok secara berlebihan, boleh jadi malah dapat
menumbuhkan aura cinta gelap mata.
Cinta
yang mengandung cemburu buta sekaligus kehilangan rasionalitas, akan memandang
orang lain sebagai ancaman dan musuh negara hanya karena berbeda ekspresi
cintanya kepada Indonesia. Indonesia seakan miliknya sendiri, orang lain
dianggap penumpang gelap.
Cinta
berlebihan disertai ekslusivitas yang menutup diri akan rasa ketanah-airan jika
salah kelola dapat memupuk benih nasionalisme yang ekstrem sebagaimana
tumbuhnya ideologi ultra-nasionalisme di Italia, Jerman, dan Jepang pada era
Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Nasionalisme yang ultra atau ekstrem
menumbuhkan gelora “chauvinisme”, suatu virus yang mematri keyakinan berlebihan
(true believing)
bahwa bangsa dan negeri sendiri adalah yang paling segalanya dibanding negara
dan bangsa lain di muka bumi ini.
Negeri
dan bangsa sendiri satu-satunya di muka bumi yang paling unggul, seraya
merendahkan bangsa dan negara lain dengan nafsu serbadigdaya. Meskipun
negerinya ringkih dan dirundung banyak masalah.
Ideologi
ultra-nasionalisme di tiga negara tersebut pada masa itu melahirkan rezim fasis
yang totalitarian. Negara atau pemerintah sebagai pusat hegemoni yang absolut,
sedang warga negara kehilangan kebebesannya. Pemerintahan fasis yang
ultra-nasionalis atau ultra-nasionalis yang fasis itu serbasensitif terhadap
kebebasan warganegaranya.
Sedikit
saja warganya berbeda pandangan akan dianggap antipemerintah dan dianggap
mengancam negara. Pendukung rezim pemerintah pun ikut-ikutan fasis dan
ultra-nasionalis sehingga selalu ingin mengawasi, meneror, mengendalikan, dan
merepresi siapa pun yang tidak sejalan dengan pemerintah dan paham
nasionalismenya yang bergaris keras.
Oleh
karena itu, paham ultra-nasionalis di mana pun selalu bermasalah. Sikapnya
cenderung represif terhadap pihak lain. Cinta bangsa dan bela Tanah Air
diterjemahkan secara monolitik berdasarkan pahamnya sendiri yang sempit, naif,
dan meneror. Kelompok nasionalis yang ultra tersebut tidak toleran terhadap
perbedaan.
Kelompok
lain yang berbeda dengan dirinya akan dianggap ancaman terhadap negara
memgikuti pandangannya sendiri yang tertutup. Akibatnya, sikap dan tindakannya
pun suka sewenang-wenang atas nama cinta bangsa dan negara, bahkan tak segan
melakukan kekerasan atas nama bela negara.
Dalam
konteks keagamaan, ketika cinta bangsa dan negara atau cinta Tanah Air
dibungkus dengan kredo hubbul
wathan min al-iman, yang terjadi malah bias perilaku dan represif.
Agama dan iman bukan menjadi ajaran pencerah, sebaliknya sebagai alat pemukul
yang sakral. Gampang menuding pihak lain radikal, padahal dirinya sama
radikalnya.
Karena paham
ultra-nasionalisme yang berlebihan, maka melahirkan ketidakseimbangan antara
jiwa keimanan dan cinta ketanah-airan. Imannya menjadi kering karena
serbaverbal dan jarang dijernihkan, sementara cinta negerinya serbaekstrem dan
berhenti di kulit luar. Dimensi iman yang sublim (jernih dan mencerahkan
ruhani) dikalahkan atau bahkan menjadi subordinasi dari nasionalisme yang
ingar-bingar.
Akibat
lebih jauh bahwa iman sebagai ranah transendensi (melampaui, tak terbatas) yang
bersumbu pada tauhid menjadi serbaimanen (dekat, sekuler)dan kehilangan
pengaruh nilai ruhaniahnya yang mencerahkan dalam jiwa berbangsa dan bernegara.
Dengan
ultra-nasionalisme yang naif seperti itu, maka sensitivitas terhadap
simbol-simbol ketuhanan, keagamaan, dan keimanan yang murni menjadi mati suri
dikalahkan simbol-simbol verbal nasionalisme yang dangkal. Lafaz Asma al-Husna
pun dengan ringan direduksi oleh orientasi ideologi dan politik yang sempit
sehingga kehilangan nilai dan maknanya yang luhur.
Paham
nasionalismenya yang ultra dan radikal dapat mengalahkan pandangan keagamaan
atau keimanannya yang damai dan luhur. Kalimah tauhid dihayati serba dhahir dan tercerabut dari
batinnya yang esensial karena dibayangi cemburu buta dan sikap curiga terhadap
siapa pun yang dianggap ancaman bagi diri dan negerinya.
Cinta
butanya terhadap Tanah Air sampai mengalahkan cinta sejatinya kepada Allah
sebagaimana dilukiskan Alquran, yang artinya: “Jika bapa-bapa, anak-anak,
saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang
kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad
di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS: at-Taubah Ayat:
24).
Muslim di
mana pun, meskipun cinta Tanah Air, niscaya lurus tauhidnya kepada Allah
sebagaimana firman-Nya: ”Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku,
dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-An’aam: 162).
Bukankah di antara ciri orang-orang yang beriman, mereka amat sangat mendalam
cintanya kepada Allah?
Maka,
sungguh merugi manakala ada yang bersikap tahawwur
atau nekat dengan meluruhkan iman nan jernih dan mengoyak keutuhan ukhuwah dengan
saudara seiman demi cinta Tanah Air yang berlebihan. Padahal, Islam
mengajarkan, sebaik-baik urusan ialah yang bersifat tengahan. Lalu, mengapa
mesti mengambil jalan radikal untuk mencintai Indonesia dalam sangkar besi
ultra-nasionalisme yang usang? []
REPUBLIKA.
28 Oktober 2018
Haedar
Nashir | Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar