Pandangan Syekh Abdul Qadir
al-Jilani Menyikapi Bencana Alam
Bencana alam melanda negari kita. Tidak
berlangsung lama setelah gempa di Lombok, gempa kembali mengguncang warga
Sulawesi Tengah, bahkan beberapa jam kemudian disusul dengan tsunami.
Beberapa kalangan mengaitkan bencana tersebut
dengan kepentingan politikm Menurut mereka, bertubi-tubinya bencana dikarenakan
rezim pemerintahan yang menyimpang dan zalim.
Bencana yang melanda warga negara kita
disebut-sebut sebagai azab yang diturunkan oleh Allah. Betulkah anggapan
demikian?
Berikut ini pandangan dari Syekh Abdul Qadir
al-Jilani dalam menyikapi bencana alam yang melanda orang mukmin.
Menurut pandangan Syekh Abdul Qadir
al-Jilani, bencana tidak datang sebagai azab bagi orang mukmin. Namun
sebaliknya sebagai bentuk cobaan.
Beliau berkata:
واعلموا
ان البلية لم تأت المؤمن لتهلكه وانما اتته لتختبره
"Ketahuilah bahwa cobaan tidak datang
kepada seorang mukmin untuk merusaknya, namun datang untuk menguji
keimanananya.” (Sayyid Ja’far al-Barzanji, al-Lujaini ad-Dani fi Manaqibis
Syaikh Abdil Qadir al-Jilani, t.t, Kediri, Maktabah Pondok Pesantren
Tahfidh wal Qiraat Lirboyo, h. 136)
Menurut pemilik julukan sulthânul auliyâ’
(pemimpin para wali) itu, mukmin diberi musibah oleh Allah, agar diuji sebatas
mana tingkat keimanannya. Apakah ia semakin jauh dari Tuhan, apakah semakin
dekat.
Banyak kita jumpai, orang yang terkena
bencana, ia frustasi, pesimis, bahkan cenderung menyalahkan Tuhan.
Bagi kaum beriman, bencana yang melanda
negara kita, hendaknya menjadi bahan introspeksi diri akan kesalahan-kesalahan
kita. Mungkin, kita masih banyak melakukan kemaksiatan. Mungkin kita masih
sering menyakiti orang lain, masih sering melalaikan kewajiban-kewajiban.
Sebagaimana disabdakan oleh Sayyidina Umar
bin Khattab:
حاسبوا
أنفسكم قبل أن تحاسبوا، وزنوها قبل أن توزنوا
"Introspeksilah diri kalian sebelum amal
kalian diteliti, timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang."
Fenomena bencana alam bukan justru menjadi
ajang untuk mengintrospeksi amal orang lain atau mencari-cari kesalahannya.
Apalagi mengambing-hitamkan terjadinya bencana atas perbuatan atau kebijakan
pihak tertentu. Sungguh hal tersebut bukan merupakan sikap yang ideal bagi
seorang mukmin.
Agama melarang seorang mukmin untuk
mencari-cari kesalahan orang lain. Ditegaskan dalam firman-Nya:
وَلَا
تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
“Dan janganlah mencari-cari keburukan orang
dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.” (QS al-Hujurat: 12)
Terkait larangan dalam ayat tersebut, al-Imam
al-Baghawi menjelaskan:
التجسس
هو البحث عن عيوب الناس، نهى الله تعالى عن البحث عن المستور من أمور الناس وتتبع
عوارتهم حتى لا يظهر على ما ستره الله منها
"Tajassus adalah meneliti aib-aib
manusia. Allah melarang meneliti urusan yang samar dari orang lain, dan
melarang meneliti aib-aib mereka. Sehingga ia tidak memperlihatkan aib orang
lain yang telah ditutupi oleh Allah ﷻ.” (Al-Imam al-Baghawi, Tafsir al Baghawi, juz 4, h. 262)
Maka, sebagai orang yang beriman, hendaknya
kita memahami bahwa bencana tersebut sesungguhnya merupakan cobaan bagi kita
semua.
Bencana mengajarkan kepada kita untuk menjadi
pribadi mukmin yang lebih berkualitas lagi, lebih dewasa menghadapi perbedaan-perbedaan,
bukan justru sebaliknya.
Demikianlah sikap kita saat negara kita
dilanda bencana menurut pandangan Syekh Abdul Qadir al-Jilani.
Semoga para korban bencana diberi tempat yang
layak di sisi-Nya, diampuni segala dosa-dosanya dan diterima amalnya. Semoga
keluarga korban diberi kesabaran dan ketabahan.
Wallahu a'lam bish shawab.
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar