Senin, 29 Oktober 2018

(Ngaji of the Day) Pelaksanaan Negosiasi Akad Bai’ Murabahah antara Nasabah dan Bank Syariah


Pelaksanaan Negosiasi Akad Bai’ Murabahah antara Nasabah dan Bank Syariah

Tulisan ini diawali dari sebuah pertanyaan bagaimana akad jual beli murbahah ini dilaksanakan oleh Nasabah dan perbankan syariah dan bagaimana mekanisme pembeliannya? Rujukan utama tulisan ini adalah situs resmi Bank BNI Syariah kemudian dikomparasikan dengan Fatwa DSN MUI: No. 4/DSN-MUI/IV/2000. Tujuan komparasi ini adalah untuk mengetahui keterlaksanaan dari fatwa tersebut dan praktiknya dalam pendekatan riil di lapangan. 

Merujuk pada situs resmi Bank Syariah Mandiri (BSM), produk jual beli murabahah  ini mereka tawarkan dalam bentuk kesediaan membiayai kebutuhan nasabah dalam hal pengadaan barang konsumtif seperti rumah, kendaraan atau barang produktif, seperti mesin produksi, pabrik dan lain-lain. Sebelumnya, BSM memaknai bai’ murabahah ini sebagai akad jual-beli antara bank dengan nasabah, yang mana Bank berperan selaku penjual yang menjual barang kepada nasabah dengan harga pokok ditambah dengan keuntungan margin yang disepakati. Belum dijelaskan mengenai siapa yang bersepakat, namun asumsi sementara penulis adalah kedua pihak  antara Bank dan nasabahnya. 

Mekanisme jual beli adalah dibayar oleh nasabah dengan jalan mengangsur (muajjalan) dengan jumlah angsuran tetap (konstan) selama masa perjanjian (masa kontrak). Lama dari periode kontrak ditentukan oleh nasabah, dan jenis pembiayaan bisa berwujud valuta rupiah atau mata uang US Dolar. 

Jenis pembiayaan yang ditawarkan ada dua, yaitu pembiayaan konsumtif dan produktif. Pembiayaan konsumtif, dimaksudkan untuk bantuan pendanaan bagi nasabah yang menghendaki kebutuhan privasinya seperti kendaraan, rumah, dan sejenisnya. Sementara untuk pembiayaan produktif dimaksudkan untuk membiayai sektor usaha, Unit Usaha Masyarakat Kecil dan Menengah (UMKM), dan sejenisnya. 

Melihat segi alur bagaimana BSM memainkan peran bai’ murabahah, nampak bahwa penerapan akad tersebut berdasarkan situs di atas adalah telah sesuai dengan Fatwa DSN MUI No. 4 Tahun 2000. Adanya prasyarat jaminan dibenarkan oleh Fatwa DSN dengan maksud agar nasabah serius dengan barang yang dipesannya melalui jasa Bank tersebut. Beberapa prasyarat lainnya merupakan jaminan nasabah. Dalam Fatwa DSN, jaminan ini bisa dalam bentuk barang yang bisa dipegangkan, seperti sertifikat atau barang lain. Dasar dari jaminan ini sebagaimana dalam Fatwa MUI adalah hadits riwayat Al-Tirmidzi :

الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ، إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا. وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا، أَوْ أَحَلَّ حراما 

Artinya: “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan perkara halal atau menghalalkan perkara haram. Dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan perkara halal atau menghalalkan perkara haram.” (HR. Al-Tirmidzi dari ‘Amru bin ‘Auf)

Penjabaran dari hadits ini sebagaimana diuraikan oleh Syeikh Abdurrahman al-Sa’di dalam kitab Bahjatu Qulûb al-Abrâri wa Qurrati ‘Uyûni al-Akhyâr fî Syarhi Jawâmi’i al-Akhbâr (1/92)  disebutkan bahwa: 

جمع في هذا الحديث الشريف بين أنواع الصلح والشروط - صحيحها وفاسدها - بكلام يشمل من أنواع العلم وأفراده ما لا يحصى بحد واضح بين .فأخبر أن الأصل في الصلح: أنه جائز لا بأس به، إلا إذا حرم الحلال، أو أحل الحرام. وهذا كلام محيط، يدخل فيه جميع أقسام الصلح. والصلح خير، لما فيه من حسم النزاع، وسلامة القلوب، وبراءة الذمم .فيدخل فيه: الصلح في الأموال في الإقرار، بأن يقر له بدين، أو عين، أو حق، فيصالحه عنه ببعضه أو بغيره

Artinya: “Terkumpul dalam hadits yang mulia ini bermacam-macam jenis perdamaian dan syarat – baik syarat shahnya maupun rusaknya syarat – dengan hanya satu ungkapan yang memuat beragam ilmu dan disiplin-disiplin lain yang tak terhitung dengan batas yang jelas. Hadits memberitahukan bahwasannya pada dasarnya shuluh (perdamaian) adalah boleh dan tidak apa-apa dilaksanakan kecuali ketika mengharamkan perkara halal atau sebaliknya menghalalkan perkara haram. Betapa hadits ini simple namun memuat beragam jenis pengertian shuluh. Shuluh (perdamaian) merupakan hal yang baik karena mencegah perselisihan, selamatnya hati, dan lepasnya beban. Masuk juga dalam makna hadits ini akad perdamaian dalam iqrar harta, dengan jalan pengakuan hutang, atau suatu barang, haq, maka dianjurkan melakukan perdamaian pada masalah tersebut antara satu lain.” (Lihat: Bahjatu al-Qulub al-Abrar wa Qurrati ‘Uyuni al-Akhyar, juz 1, halaman 92, yang diterbitkan oleh Wazârati al-Syu-un al-Islamiyyah wa al-Auqaf wa al-Da’wah wa al-Irsyad, Cet. Ke-4, Tahun 1423 H)

Korelasi dari jaminan berdasar ibarat di atas adalah masuk unsur syarat-syarat pengajuan pembiayaan oleh nasabah terhadap bank sebagaimana telah digariskan oleh pihak perbankan. Adapun dalam hal negosiasi “pengadaan barang”, mengikut bunyi ibarat, maka pihak nasabah bisa melakukan perundingan dengan pihak perbankan, sebagaimana hal ini juga disampaikan oleh Fatwa DSN juga. Dalam hal ini, MUI menganjurkan agar nasabah dan perbankan melakukan shuluh terkait dengan besaran “nisbah rasio keuntungan” yang bisa diterima oleh bank. 

Demikian juga, dengan kemungkinan biaya tambahan karena penggunaan jasa pihak ketiga yang ditanggung bersama-sama antara bank dan nasabahnya. Keuntungan ditambah dengan biaya mendatangkan barang merupakan angka margin yang dimaksud di awal tulisan ini. Dengan kata lain, pihak nasabah diperkenankan menegosiasi margin keuntungan dengan bank. Inilah yang kemudian membedakan antara pengajuan kredit di Bank Konvensional dengan akad murabahah di Bank Syariah.  

Persoalan yang sebenarnya lebih penting adalah, bagaimana menentukan harga pokok barang? Jika pada kasus pembiayaan konsumtif, hal itu bisa dengan mudah dilakukan, tanpa unsur kesulitan yang berarti. Namun, pada konteks pembiayaan produktif, masih ada persoalan yang menjadi ganjalan. Mengapa? Karena pihak bank harus melakukan penghitungan berdasarkan angka penaksiran. Tanpa adanya penaksiran dan agunan (jaminan barang dan uang muka), tentu pihak perbankan harus siap-siap untuk mengalami kerugian. Oleh karena alasan inilah, kemudian diperbolehkan melakukan akad ‘urbun (uang muka) sebagaimana dalam Fatwa DSN disebutkan. 

Akad ‘urbun diterapkan berdasarkan nash hadits yang diriwayatkan oleh Abd al-Raziq dari Zaid bin Aslam, yaitu: 

أنه سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم عن العربان في البيع فأحله

Artinya: “Rasulullah SAW ditanya tentang ‘urbun (uang muka) dalam jual beli, lalu beliau membolehkan.”

Terkait dengan status hadits di atas, Muhammad bin Ali Al-Syaukani dalam kitab Nailu al-Authar: 182 yang diterbitkan oleh Penerbit Darul Hadits (1413 H/1993), menyebutkan bahwa status hadits di atas adalah hadits mursal karena di dalamnya terdapat Ibrahim bin Abi Yahya, sehingga statusnya dla’if. Oleh karena itu, ulama jumhur menetapkan hukum keharamannya, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal yang membolehkan. Namun, Al-Syaukany menilai sebaiknya mengikuti pendapat jumhur, yakni keharamannya. Hal tersebut setelah Al-Syaukany melakukan komparasi dengan hadits larangan bai’ul-‘urban yang diriwayatkan oleh Abi Dawud dari Imam Malik. Selanjutnya Al-Syaukany memberikan komentarnya:

وحديث الباب يدل على تحريم البيع مع العربان وبه قال الجمهور ، وخالف في ذلك أحمد فأجازه وروي نحوه عن عمروابنه . ويدل على ذلك حديث زيد بن أسلم المتقدم وفيه المقال المذكور والأولى ما ذهب إليه الجمهور

Artinya: “Hadits tersebut menunjukkan keharaman jual beli ‘urban (sistem uang muka), dan hal ini merupakan pendapat jumhur. Namun Imam Ahmad bin Hanbal berbeda pendapat dan membolehkannya, kemudian meriwayatkan hadits yang sejenis dari jalur Umar bin Khathab dan putranya. Kemudian, Imam Ahmad juga menggunakan dalil hadits dari Zaid bin Aslam di atas kemudian menetapkan kebolehannya, [Inilah yang menyebabkan] berpedoman pada pendapat jumhur adalah lebih utama.” (Lihat: Nailu al-Authar li al-Syaukani: 286).

Dengan demikian, penetapan kebolehan bai’ul urban oleh Bank Syariah sebagaimana dilegalisasi oleh MUI pada dasarnya menggunakan hadits dlaif menurut kalangan Syafi’iyah. Belum diketahui alasan MUI membolehkan hal tersebut. Barangkali satu-satunya hal yang memungkinkan kebolehannya adalah dlarurat, atau melihatnya dari segi maslahatu al-mursalah. Sebenarnya apa sih yang dimaksud bai’ul-urbun itu? Insyaallah akan diulas kembali dalam tulisan berikutnya.  

Selanjutnya, tempo cicilan, yang dalam hal ini ditentukan oleh nasabah kepada bank sebagai prasyarat yang harus dipenuhi oleh nasabah, yang merupakan wujud pengamalan hadits riyat Al-Tirmidzy di atas. Terkait dengan situasi bila terjadi keterlambatan dalam hal pembayaraan angsuran oleh nasabah kepada Bank, atau bila terjadi claim bangkrut oleh nasabah, maka dalam hal ini, menurut Fatwa DSN MUI, pihak perbankan boleh menerapkan sistem ta’zir (denda). Apa dasar fiqih dari penerapan ta’zir (penalti) oleh bank ini? Simak pada tulisan berikutnya! Insyaallah! []

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Kab. Gresik, Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar