Senin, 08 Oktober 2018

Kang Komar: Irasionalitas Demokrasi


Irasionalitas Demokrasi
Oleh: Komaruddin Hidayat

"If democracy were a matter of rational decision-making, there would be absolutely no reason to give all people equal voting rights - or perhaps any voting rights at all," tulis Harari dalam 21 Lessons for the 21st Century (2018).

SEJAUH ini demokrasi dianggap sebagai sistem dan mekanisme terbaik untuk memilih presiden, gubernur dan bupati atau wali kota. Tetapi bukan berarti demokrasi tidak memiliki kelemahan dan cacat bawaan.

Seperti kutipan di atas, jika demokrasi itu dianggap cara paling rasional untuk membuat keputusan politik, maka menjadi tidak rasional jika mereka yang memiliki pendidikan tinggi dan mereka yang tidak sekolah memiliki suara yang sama, misalnya, dalam memilih presiden.

Demokrasi itu akan berlangsung rasional bagi sebuah negara atau bangsa yang jumlah penduduknya kecil dengan tingkat ekonomi dan pendidikan yang relatif mapan, sama dan merata. Semua memiliki akses dan pengetahuan yang relatif sama terhadap kualitas para politisi yang hendak bertarung dan memahami problem yang dihadapi negara. Di zaman Yunani Kuno dulu demokrasi diterapkan bagi negara kota yang jumlah penduduknya di bawah satu juta.  

Bagi sebuah bangsa dan negara seperti Indonesia yang jumlah penduduknya mendekati 250 juta, tersebar ke sekian ratus pulau, dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang sangat timpang, maka formula demokrasi "one man one vote" tentu memiliki kelemahan besar. Kata Harari, dalam setiap pemilihan langsung, pada akhirnya yang menonjol adalah sikap "How do you feel", bukannya "How do you think". Rasanya benar sinyalemen Harari ini.

Menjelang pemilu ini di dunia medsos ekspresi emosional cukup fenomenal. Orang bukannya mengedepankan penalaran logis disertai data dan analisis yang jernih dan tenang, melainkan debat emosional dan berbagai pernyataan yang bernada permusuhan dan kebencian. Semangat meraih kemenangan mengalahkan prinsip kebenaran.

Semula saya sering dibuat terkaget-kaget, banyak intelektual berpendidikan tinggi tetapi ketika masuk pilihan politik lalu berubah menjadi emosional. Terlebih ketika faktor agama dilibatkan, maka praktik demokrasi semakin irasional.

Makanya tidak mengherankan kalau panggung politik di alam demokrasi itu selalu berisik (noisy) dan selalu ribut (restless) sehingga yang namanya kebebasan mesti disandingkan dengan penegakan hukum yang tegas, transparan dan adil. Hukum dan kebebasan mesti berjalan serentak untuk mengawal demokrasi.

Apakah berarti kita sebaiknya kembali ke zaman kerajaan atau kesultanan? Bagi Indonesia itu pikiran utopis. Yang mesti kita sadari adalah masih banyak prinsip dan kaidah demokrasi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya di negara kita ini sehingga jangan sampai kondisi ini diperburuk lagi.

Pada tingkat negara kita sepakat menganut sistem demokrasi. Tetapi pelaksanaannya mesti melihat kondisi objektif masyarakat kita yang sedemikian plural dan kompleks.

Belakangan ini mulai muncul aspirasi agar UU Pemilu dan Kepartaian ditinjau ulang. Termasuk aspirasi untuk mengevaluasi pilkada langsung yang ongkosnya amat mahal, namun pemimpin yang terpilih jauh dari ideal. Korupsi di daerah kian merata karena ongkos politik untuk bertanding dalam pilkada teramat mahal.

Saya sepakat bahwa sistem demokrasi adalah pilihan terbaik bagi Indonesia. Tetapi mesti pula disadari adanya cacat bawaan demokrasi dan berbagai penyimpangan serta kelemahan dalam tafsiran dan pelaksanaan di negara kita. Belum lagi ketika konsep demokrasi Barat itu kita perhadapkan dengan Pancasila, di sana terdapat elemen yang sangat berbeda sehingga diperlukan modifikasi untuk konteks bangsa Indonesia. []

KORAN SINDO, 5 Oktober 2018
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar