Arah Dua Pola Kehidupan (12)
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Untuk mempersiapkan era baru dalam orientasi niaga-laut yang akan
mulai kita kembangkan dalam waktu dekat ini, peran penting pelabuhan samudera
di berbagai tempat sangat nyata bagi kita. Kalau kita mulai dari pulau Jawa,
yang menjadi konsentrasi sebagian besar penduduk Indonesia, maka beberapa buah
pelabuhan samudera harus dibangun. Seperti di Gresik, Banyuwangi, Perigi
(Trenggalek), Pacitan, Gunung Kidul, Cilacap, Baya (Banten), Bojonegara,
(Tanggerang), Cimalaya, Indramayu, Jepara, Tuban. Kemudian di bagian selatan
pulau Sumatera kita memerlukan pelabuhan samudera di Kruwi (Lampung Barat) dan
Tanjung Siapi-Siapi (Sumatera selatan), Tanjung Jabung ( Jambi) Sabang dan
Simelue (Aceh Barat), Natuna (Riau). Di Kalimantan, sebuah pelabuhan samudera
di Teluk Balikpapan (Kalimantan Timur), sebuah di pulau terbesar Sulawesi
Barat, Bitung (Sulawesi Utara), di Propinsi Maluku tidak jauh dari Ambon,
di Pulau Biak dan sebuah lagi di Teluk Wamena (Irian/Papua) dan di Selat Lombok
berseberangan dengan Pulau Bali.
Ini semua akan menghasilkan begitu banyak pekerjaan umum (P.U
-public works), sehingga mendorong munculnya kegiatan kawasan-kawasan yang
menjadi tempat pembangunan pelabuhan-pelabuhan samudera itu. Namun pembangunan
pelabuhan samudera itu harus digilir begitu rupa, sehingga denagan cara rotasi
semuanya terbangun dalam lima belas tahun. Dalam konsep, hal itu sama dengan
pembangunan di RRT (Republik Rakyat Tiongkok) sekarang ini, yang ditekankan pada
pembangunan jalan raya, jembatan dan rel kereta api.. Kita sengaja tidak
membangun tanah-tanah pemukiman dalam bentuk perumahan di daerah-daerah
transmigrasi (melainkan hanya dibangun prasarana minimal seperti sekolah dasar,
puskesmas, bangunan toko serba ada, Masjid, Gereja dan tempat ibadah lainnya,
serta sebuah bengkel besar). Walaupun demikian para transmigran nantinya akan
datang dan membangun tempat-temapt tinggal mereka sendiri.
Pembangunan kawasan seperti ini akan berdampak pada dibangunnya jaringan
trasportasi umum ke arah tempat-tempat yang diharapkan dibangun sendiri oleh
para pendatang. Hal ini seperti dimaksudkan dalam Home Stead Act di Amerika
Serikat sejak paruh kedua abad ke-19 Masehi, yang jelas memisahkan antara
kewajiban negara menyediakan prasarana umum dengan kewajiban warga negara
menyediakan prasarana umum untuk membangun tempat tinggal mereka sendiri.
Semakin tinggi kemampuan “para trasmigran sukarelawan” itu untuk menghasilkan
produk-produk yang dapat diekspor dan atau dijual ke daerah lain, maka semakin
tinggi pula kemampuan tawar-menawar yang mereka miliki terhadap daerah lain
mauapun dunia Internasional. Sebetulnya inilah yang dimaksudkan dengan
trasmigrasi swakarsa, yang membebani pemerintah “hanya” dengan tugas
menyediakan prasarana saja.
Konsep pengembangan pembangunan prasarana di daerah ini sebenarnya
merupakan adopsi kreatif dari cara-cara DR. Dr. Hjalmar Schacht, bekas menteri
perekonomian Adolf Hitler, yang pernah diundang ke Indonesia dalam tahun 50-an
oleh Prof. DR Sumitro Djoyohadikusumo, mitranya yang juga menjadi Menteri
Perekonomian kita. Schacht secara tidak tanggung-tanggung membangun jaringan
jalan raya (autobahnen) sepanjang lebih dari 80.000 kilometer yang menciptakan
akibat ganda (multi effects), yaitu memungkinkan tumbuhnya industri produksi
barang jadi (manufacturing industry), dan berdampak menaikan penghasilan warga
negara Jerman secara mencolok.
Tentu saja kenaikan pendapatan demikian besar yang diakibatkan
oleh pembangunan prasarana tersebut, haruslah disalurkan dengan tepat agar
tidak membawa akibat-akibat negatif bagi bangsa kita. Kalau Hitler
menyalurkan naiknya pendapatan orang Jerman itu sebagai modal untuk menjadi
“raksasa militer”, yang akhirnya diwujudkan dalam ekspansi militer besar-besaran
negeri itu, dengan alasan membuat negara-negara lain disekitarnya sebagai
lebensraum (ruang hidup bagi industri Jerman). Maka kita justru harus mencontoh
Kanselir Jerman Barat Conrad Adenauer dalam membangun kembali ekonomi negeri
itu melalui perluasan industri dan perdagangan dengan negeri-negeri lain.
Kanselir berikut, Ludwig Erhard dengan konsepnya Sozialen Marktwirtschaft
(ekonomi sosial dan pasar) haruslah kita kenal dengan mendalam dan kita
terapkan secara kreatif di Indonesia.Kemampuan belajar dari sejarah inilah yang
kita perlukan, pertama dengan menghilangkan hal-hal dogmatis dan ideologis dari
yang kita ketahui melalui proses mempelajari sejarah orang lain itu.
Kita ambil sebagai contoh, bagaimana bangsa Prancis menggabungkan
wewenang Presiden dan Perdana Menteri dalam kerjasama kreatif berupa pembagian
wewenang bidang-bidang yang berbeda antara mereka berdua. Sistem yang dikenal
juga dengan cohabitation (hidup bersama) antara mereka itu, telah menimbulkan
“ketegangan kreatif” antara kedua pejabat pucuk itu. Di samping
wewenangnya atas beberapa bagian penting dari kehidupan bangsa dan dengan
demikian menyerap dalam dirinya kewajiban-kewajiban protokoler, Presiden harus
berbagi wewenang dengan Perdana Menteri yang juga memiliki wewenang atas bidang-bidang
yang sendiri, serta penguasaan atas administrasi negara.
Kita juga harus mengembangkan jawaban-jawaban atas berbagai
masalah yang kita hadapi, dan membentuk pemerintahan yang sesuai dengan
kebutuhan kita, tanpa mengekor negara lain. Namun ini merupakan proses sangat
lama, memakan waktu sekian dasawarsa, dan perdebatan yang berkepanjangan dalam
kehidupan bangsa kita di masa yang akan datang. Bangsa Iran melalui
perkembangan pemikiran Imam Ruhollah Khomeini, pertama melalui karya beliau
Wilayat al-Faqih, setelah Desember 1979 menjalankan “pemerintahan tiga pihak”
yaitu Presiden, Perdana Menteri yang membawahi pertemuan majlis dan Khubrigan
(Dewan Ulama) yang membatalkan keputusan kedua pihak, jika dianggap melanggar
ajaran agama. Namun proses inipun belum selesai, dengan melihat perjuangan para
mahasiswa Universitas Teheran dewasa ini dan kegiatan para aktivis yang
mengkritisi sistem itu dengan sengit.
*****
Nah, kehendak kita untuk merubah pandangan hidup dan orientasi
perekonomian, akan membawa kita kepada kebutuhan-kebutuhan yang tadinya kita
tidak duga sama sekali. Bermula dari orientasi niaga-laut yang dikembangkan
Sriwijaya dan Majapahit, yang didampingi/disaingi oleh orientasi agraris serba
sistematik yang dikembangkan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram
dalam abad ke-16 Masehi. Di situ tampak adanya proses sangat menarik dalam
kehidupan kita sebagai bangsa. Bahwa kemudian sistem itu membuat kebutuhan kita
hanya bersandar kepada sistem perekonomian agraris saja, yang mengakibatkan
keterikatan kita kepada ekonomi substitusi impor, seperti jaman pemerintahan
Orde Baru hingga hari ini, mengharuskan kita untuk mengadakan pemeriksaan
mendalam atas orientasi perekonomian kita sendiri. Kemudian barulah kita dapat
mengambil bentuk-bentuk sistem politik, yang diperlukan untuk menyusun
pemerintahan yang kita perlukan di masa depan. Jika ada titik temu antara
kebutuhan sistem pemerintahan tertentu di satu pihak, dengan orientasi
perekonomian yang sanggup mengembangkan kekakayaan sumber alam kita yang luar
biasa dipihak lain, serta menyediakan prasarana bagi penumbuhan kekuatan
ekonomi bangsa kita dalam waktu cepat -katakanlah 15 tahun pertama-, maka akan
tumbuh sebuah pola hidup sebagai kekuatan raksasa di kalangan bangsa kita.
Hal-hal seperti kejelasan orientasi perekonomian yang kita perlukan, serta
kemampuan menggabungkannya dengan tuntutan perdagangan internasional,
dikehendaki dari kita semua, terutama dari pemimpin pemerintahan. Mudah
dikatakan tetapi sulit dilaksanakan, bukan? []
Jakarta, 17 Desember 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar