Ijtihad untuk Perbankan
Syariah pada Kasus Bai’u Hukmi dan Qabdlu Hukmi
Pendirian bank syariah di Indonesia dengan
fokus peningkatan kualitas muamalah masyarakat Muslim di Indonesia adalah
sebuah keniscayaan dalam ijtihad. Semuanya berangkat dari dalil asal bahwa
menyiapkan sebuah sistem perbankan zero riba adalah berlandaskan pada keputusan
dalil qath’i halalnya jual beli dan haramnya riba. Dengan demikian, untuk
mencapai kondisi zero riba, segala wasilah menuju ke arahnya, sangat mungkin
untuk diusahakan. Sebuah kaidah fiqih mengatakan:
مالايتم
الواجب إلا به فهو واجب
Artinya: “Segala sarana menuju sempurna
perkara wajib maka wajib pula menyediakan sarana tersebut.”
Masalahnya adalah, upaya memberikan landasan
fiqih terhadap beberapa praktik muamalah perbankan syariah terkadang menemui
beberapa kendala. Kendala yang amat mungkin terjadi adalah konsepsi fiqih
turats (fiqih tradisi/klasik) yang kadang seolah bertentangan dengan
konsepsi muamalah modern. Untuk itulah pemikiran terus-menerus dan upaya menggali
potensi masuk ke dalam keabsahan akad muamalah modern, sangat diperlukan.
Banyak wasilah yang bisa dipergunakan oleh
para pemikir dan praktisi perbankan syariah ini. Qaidah ‘urfiyah, istihsan,
konsepsi maslahatul mursalah, istishhab, memiliki peluang untuk
dimanfaatkan. Pertimbangan pesatnya kemajuan teknologi dan faktor yang
memungkinkan penjagaan dari unsur ghabn dan tadlis (penipuan),
juga dapat dijadikan bahan masukan pertimbangan. Jika produk lama fiqih umumnya
menggunakan data murasalah (surat-menyurat) yang diantarkan langsung
oleh jasa kurir, bisa jadi kondisi ini bisa dipangkas melalui peran hightech,
seperti email, telekonferensi, faximile, telepon, dan lain-lain.
Dalam pasar saham misalnya, peran hightech
sangat tampak mendominasi transaksi jual-belinya. Padahal dalam fenomena pasar
saham, lebih banyak dihuni oleh data dan dokumen. Konsep jual-beli yang
sebelumnya harus yadan bi yadin (serah terima tangan), memungkinkan menjadi
diubah fungsinya menjadi akad mubaya’ah hukmiyah (jual beli hukmi). Jika
mubaya’ah sudah berlangsung secara hukmi, maka aqad qabdlu-nya
juga pasti berlangsung secara hukmi. Bagaimana dengan syarat harus mengetahui
sifat dan jenis barang sebagaimana disyaratkan dalam fiqih klasik? Dalam hal
ini, maka dikembalikan kepada kasus urfi (adat/tradisi) yang berlaku di
kalangan masyarakat pialang bursa efek.
Mubaya'ah hukmi adalah jual beli yang
disertai perpindahan kepemilikan barang yang berlaku melalui nota/dokumen. Qabdlu
hukmi, adalah penerimaan hak tamlik atas suatu barang melalui dokumen.
القبض
الحكمي هو كل ما تتحق به الحيازة والتمكن من التصرف بحسب العرف السائد من غير
تناول باليد أو قبض حسي
Artinya: "Al-Qabdlul hukmi adalah
setiap perkara yang bisa memastikan kepemilikan barang dan memungkinkan
penggunaannnya secara 'urf setempat meski tanpa harus memegang aset atau
memegang secara fisik (legal ownership)." (Wahbah Al Zuhaily dalam
kitab al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu)
Dalam kasus mubaya'ah hukmi dan qabdlu
hukmi ini permasalahan yang mungkin timbul adalah bagaimana dengan syarat
harus mengetahui sifat dan jenis barang sebagaimana disyaratkan dalam fiqih
klasik. Dalam hal ini, maka dikembalikan kepada kasus urfi
(adat/tradisi) yang berlaku di kalangan masyarakat pialang bursa efek.
Komisi Bahtsul Masail Diniyah Waqi’iyah di
Mu’tamar NU ke-32 di Makasar, pernah membahas tentang konsepsi majelis dan
pengaruhnya terhadap akad jual beli serta akad nikah. Para pembaca bisa merujuk
ke hasil sidang tersebut agar mudah memahami arah tulisan ini.
Pada keputusan Komisi Bahtsul Masail Diniyah
Waqi’iyah di Muktamar NU ke-32, Makassar, para musyawwirin pertama kalinya
mencoba menggali hukum transaksi jual beli barang dan kebutuhan akad nikah via
elektronik seperti media telepon, email dan media siber yang lain. Jawaban dari
permasalahan ini ternyata memutuskan bahwa hukum transaksi jual beli melalui
media elektronik adalah dipandang sah apabila sebelum transaksi kedua belah
pihak penjual dan pembeli “sudah melihat” mabi’ (barang yang diperjualbelikan)
atau telah dijelaskan baik “sifat” maupun “jenis” mabi’ serta memenuhi
syarat-syarat dan rukun jual belinya.
Pertanyaan kedua dari soal yang sama mencoba
mengungkap hukum sah atau tidaknya akad jual beli pada majelis terpisah. Hasil
keputusan sidang menyebutkan bahwa hukumnya tetap sah melakukan transaksi
jual-beli meskipun berada di majelis yang berbeda. Jawaban dari kedua persoalan
di atas ternyata tidak berlaku sama untuk kasus akad nikah. Alasannya tidak
akan disampaikan oleh penulis, karena kita fokus pada konsepsi majelis
transaksi jual beli yang merupakan landasan perbankan syariah yang sedang kita
dalami ini.
Pertanyaan ketiga, majelis musyawwirin
Bahtsul Masail mencoba mengungkap hukum akad/transaksi wakalah dari seorang
calon pengantin kepada seseorang yang hadir di majelis. Jawaban musyawwirin
terkait dengan masalah tersebut ternyata juga memandang sah mewakilkan melalui
SMS dengan batasan syarat yaitu aman dan sesuai dengan nafsu al-amri (sesuai
kenyataan).
Keputusan hasil sidang Bahtsul Masail
muktamar dalam memandang konsepsi sahnya transaksi di atas, didasarkan pada
teks rujukan beberapa kitab, antara lain Kitab Nihayatul Muhtaj: 11/280,
Hasyiyah al-Bujairamy ‘ala al-Khathib: 2/403 dan 10/148, Hasyiyatul Jamal:
4/301, Syarah Al-Yaquuti al-Nafiis: 2/22, Al Syarwany Syarah Tuhfatul Muhtaj:
4/221.
Salah satu yang dirasa perlu dicuplik oleh
penulis pada kesempatan ini adalah dasar dari kitab Al-Syarwany Syarah
Tuhfatul Muhtaj (4/221):
وينعقد]
البيع من غير السكران الذي لا يدري لأنه ليس من أهل النية على كلام يأتي فيه فى
الطلاق [بالكناية] مع النية]
والكتابة
لا على مائع أو هواء كناية فينعقد بها مع النية ولو لحاضر فليقبل فورا عند علمه
ويمتد خيارهما لانقضاء مجلس قبوله [قوله: والكتابة إلخ] ومثلها خبر السلك المحدث
فى هذه الأزمنة فالعقد به كناية فيما يظهر
Artinya: “(Sah) melakukan jual beli kecuali
orang yang mabuk yang tidak menyadari, karena ia bukan termasuk ahli niat
berdasarkan kalam yang akan disampaikan nanti tentang thalaq (dengan kiasan)
disertai dengan niat.”
Syarah:
“Menulis di atas sesuatu yang bukan benda
cair atau udara adalah masuk unsur kinayah, dan sah bila disertai dengan niat
meskipun menulisnya tersebut ditujukan kepada orang yang hadir, maka sebaiknya
diterima dengan segera setelah diketahuinya (tulisan tersebut), namun sebaiknya
waktu khiyar keduanya diperluas karena selesainya majelis penerimaan. (Ucapan
mushannif: dan tulisan, dst) perumpamaannya adalah khabar al-suluki
al-muhaddits (SMS) di zaman ini, maka transaksi dengannya merupakan contoh
transaksi kinayah.”
Relevansi hasil Muktamar NU ini dengan
realitas modern bursa efek dan perdagangan saham tampak menemui adanya
korelasi. Rambu-rambu dari fiqih turats memandang legal standing akad
ada pada nafsu al-amri (sesuai dengan kenyataan) dan keamanan transaksi. Aman
jika dibawa dalam konteks perdagangan saham serta bursa efek bisa jadi masuk
dalam wilayah ‘urf iklim perusahaan yang memandang bahwa dokumen
transaksi sebagai barang yang bisa dipergunakan sebagai bukti telah terjadinya
transaksi jual beli antara perusahaan satu dengan perusahaan lainnya.
Ibarat yang disampaikan oleh musyawwirin
dengan menukil kitab Hasyiyatu al-Bujairami (10/147) tampaknya bisa
menjadi batasan bagi keabsahan transaksi di atas, yaitu keberadaan unsur
kecerdasan pihak yang terlibat.
وليس
لنا نكاح ينعقد بالكناية إلا بالكتابة وإشارة الأخرس إذا اختص بفهمها الفطن
Artinya: “Tidak sah bagi kita akad nikah
dengan jalan kinayah kecuali lewat jalan kitabah atau isyarat orang yang tulis
ketika bisa dipahami oleh orang yang pandai/cerdas.”
Dengan mengacu pada kutipan di atas, suatu
akad dipandang sah dengan jalan tulisan (nota) namun dengan batasan bisa
dipahami oleh orang yang cerdas. Lantas bagaimana dengan akad jual-beli lewat
jalur dokumen, lalu menjual lagi melalui jalur dokumen pula, sementara unsur qabdlu-nya
diwakili secara dokumen pula? Contoh riilnya kasus transaksi tawarruq di
perbankan syariah, yang sebelumnya pernah kita bahas di sini.
Sampai di sini, problematika tersebut sudah
terjawab, bahwa akad tersebut masih masuk unsur sah, dengan syarat bisa
dipahami oleh orang yang cerdas. Aplikasi pihak yang dimaksud sebagai “orang
yang cerdas” di sini barangkali adalah Lembaga/Badan Perlindungan Dana Konsumen
dan Nasabah Perbankan.” Namun, dimanakah ia berkedudukan?
Wallahu a’lam
[]
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean, Kab. Gresik, Jatim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar