Bahasa Sehari-hari KH
Hasyim Asy’ari
Bahasa merupakan
salah satu media berjuang di zaman penjajahan. Tidak heran, para kiai yang kala
itu turut menjadi motor perjuangan rakyat Indonesia mempunyai strategis khusus
dalam menggunakan bahasa sehari-hari.
Selain menggunakan
bahasa Jawa krama inggil dan tentu saja bahasa Indonesia, mereka kerap
menggunakan bahasa Arab. Baik dalam bentuk tulisan maupun lisan, bahasa yang
hanya dimengerti oleh kalangan pesantren ini membuat penjajah saat itu
membutuhkan mata-mata khusus untuk mempelajari Islam, sebut saja Snouck
Hurgrounje oleh Hindia Belanda serta Nobuharo Ono, Saleh Suzuki, dan Abdul
Mun'im Inada oleh Nippon atau Jepang.
Para tenaga khusus
yang memang mengerti Islam tersebut dimanfaatkan penjajah untuk melakukan upaya
spionase atau memata-matai para pejuang Islam beserta tokoh-tokohnya yang
berpangaruh. Namun, tidak banyak yang mereka mengerti perihal bahasa Arab yang
teramat kompleks.
Bahasa Arab ini bukan
hanya mereka terapkan di lingkungan pesantren ketika mengajar para santri,
tetapi juga digunakan sebagai strategi kebudayaan melawan penjajah. Saking
seringnya mempraktikkan bahasa Arab di lingkungan pesantren dan dalam dunia
pergerakan nasional, pendiri NU yang merupakan tokoh pejuang, KH Muhammad
Hasyim Asy’ari (1871-1947) sendiri sehari-harinya banyak menggunakan bahasa
Arab untuk berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan.
Pada tahun 1943,
Pemimpin Gerakan Pemuda Ansor Wilayah Jawa Tengah Saifuddin Zuhri berkesempatan
bersilaturahim ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang pimpinan Hadratussyekh KH
Hasyim Asy’ari. Ia disambut hangat oleh Gus Wahid Hasyim yang menginginkan dia
mampir ke Tebuireng.
Saifuddin Zuhri saat
itu hendak menghadiri jambore Gerakan Pemuda Ansor yang berlangsung di Surabaya
sebagai utusan wilayah Jawa Tengah. Gus Wahid Hasyim langsung mengajak
Saifuddin Zuhri untuk menghadap Hadratussyekh di kediamannya di komplek
pesantren.
Saat Saifuddin Zuhri
menghadap, Kiai Hasyim Asy’ari sedang duduk bersilah sambil membaca sebuah
surat. Saifuddin Zuhri merasa heran seorang yang sepuh berumur lebih dari 70
tahun tetapi masih bisa membaca tanpa kacamata. Kiai Hasyim saat itu mengenakan
baju ‘Jawa’ seperti piama tak berleher, berwarna putih terbuat dari kain katun,
bersarung plekat dan mengenakan serban. (Guruku Orang-orang dari Pesantren,
2001)
Zuhri diperkenalkan
oleh Gus Wahid kepada Kiai Hasyim Asy’ari. Ayah dan anak ini terdengar
berkomunikasi menggunaan bahasa Arab. Tetapi sesekali Gus Wahid menjawab
pertanyaan-pertanyaan ayahandanya dalam bahasa Jawa alus.
Namun setelah Gus
Wahid memperkenalkan Saifuddin Zuhri dari kalangan Pemuda Ansor, Hadratussyekh
kontan langsung menggunakan bahasa Indonesia yang terucap halus, rapi,
sistematis, dan urut meskipun telah diberitahukan bahwa Zuhri berasal dari Jawa
Tengah.
Bahasa Arab yang
banyak digunakan Kiai Hasyim Asy’ari setiap harinya, belakangan diketahui
Saifuddin Zuhri karena tidak terlepas dari aktivitas mengajarnya setiap hari di
pesantren yang juga menggunakan bahasa Arab. Begitu juga kitab-kitab rujukannya
yang hampir seluruhnya berbahasa Arab.
Bahkan, Kiai Hasyim
Asy’ari dan para kiai lain lebih mudah menuangkan buah pemikirannya menggunakan
bahasa Arab dengan tidak meninggalkan bahasa ibunya, yakni bahasa lokal Jawa
dan bahasa Indonesia. Bahasa Arab ini cukup krusial bagi upaya-upaya
kemerdekaan bangsa Indonesia.
Seketika itu kabar
kemerdekaan Indonesia telah tersebar ke seluruh penjuru tanah air dengan janji
kaisar Jepang yang saat itu kalah perang dengan sekutu. Janji kekaisaran Jepang
untuk memerdekakan bangsa Indonesia memang menarik perhatian bukan hanya di
tanah air, tetapi masyarakat dunia Islam, khususnya Syekh Muhammad Al-Amin
Al-Husaini yang saat itu berada di Jerman.
Sampai pada 3 Oktober
1944, Syekh Al-Amin Al-Husaini yang merupakan pensiunan mufti besar Baitul
Muqadas Yerusalem yang juga ketika itu menjabat Ketua Kongres Muslimin se-Dunia
mengirim surat teguran kepada Duta Besar Nippon di Jerman, Oshima. Kala itu
Syekh Al-Husaini sedang berada di Jerman.
Kawat teguran
tersebut berisi imbauan kepada Perdana Manteri Jepang Kuniki Koiso agar
secepatnya mengambil keputusan terhadap nasib 60 juta penduduk Indonesia yang
50 juta di antaranya beragama Islam. Kongres Islam se-Dunia menekan Jepang
untuk segera mengusahakan kemerdekaan bangsa Indonesia. (Choirul Anam, 1985)
Atas teguran
tersebut, Kuniki Koiso berjanji akan mengusahakan kemerdekaan untuk bangsa
Indonesia. Jawaban Koiso itu disebarluaskan melalui Majalah Domei. Kawat
teguran dari Syekh Al-Amin Al-Husaini tersebut sampai kepada Hadratussyekh
Hasyim Asy’ari. Ia selaku Ketua Masyumi menerima tindasan kawat teguran
tersebut.
Menyikapi kawat
teguran itu, Kiai Hasyim Asy’ari yang juga pemimpin tertinggi di Nahdlatul
Ulama (NU) merasa perlu mengumpulkan para pengurus Masyumi yang terdiri dari
berbagai golongan umat Islam dari sejumlah organisasi pada 12 Oktober 1944.
Saat itulah Kiai
Hasyim Asy’ari perlu mengirim surat korespondensi kepada Syekh Al-Husaini untuk
menyampaikan apresiasi atas bantuan dan dukungan yang diberikan untuk upaya
kemerdekaan Indonesia. Seketika Kiai Hasyim langsung menulis surat dengan
menggunakan bahasa Arab yang ditujukan kepada Syekh Al-Husaini.
Tetapi, bahasa apapun
yang digunakan Kiai Hasyim Asy’ari, diriwayatkan oleh KH Saifuddin Zuhri,
beliau selalu mengucapkannya dengan perlahan-perlahan, mencari rangkaian
kata-kata yang mudah dimengerti orang banyak.
Di sinilah karakter
khas ulama pesantren sehingga di mana pun berada, dakwah mereka lebih bisa
diterima banyak kalangan. Bahkan, kemahiran berbahasa ini menjadi ujung tombak
keberhasilan diplomasi para kiai menghadapi penjajah. []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar