Islam,
Rusia, dan Indonesia (2)
Oleh: Azyumardi Azra
Berbeda
dengan wilayah Eropa lain, tempat kebanyakan kaum Musliminnya adalah
(keturunan) migran, 90 persen penganut Islam Rusia adalah pribumi. Oleh karena
itu, Islam Rusia yang kini sekitar 15 persen (antara 15-20 juta) penduduk total
terbentuk tidak karena migrasi kaum Muslim dari bagian dunia lain, tetapi telah
berurat berakar selama berabad-abad. Atas dasar inilah Islam secara resmi
dinyatakan sebagai ‘agama tradisional’ Rusia.
Sebagai
‘agaisional’, Islam telah berakomodasi, berasimilasi, dan berakulturasi dengan
tradisi dan budaya berbagai kelompok etnis lokal. Hasilnya, Islam Rusia umumnya
bukan tidak mirip dengan Islam Indonesia yang multietnis, dan multikultural;
inklusif, moderat, toleran dan hidup berdampingan damai dengan komunitas etnis
dan agama lain.
Meski
demikian, bukan tidak ada ketegangan dan konflik antara kaum Muslim dan
pemerintah—sejak masa Uni Soviet sampai Rusia sekarang. Dalam waktu yang lama—lebih
500 tahun—telah berkembang gerakan perlawanan di kalangan etnis Tatar, Chechen,
Ingushetia, dan Daghestan di kawasan utara Kaukasus; mereka menuntut
kemerdekaan. Gerakan separatis ini dihadapi secara represif oleh Pemerintah
Soviet kemudian Rusia, yang memunculkan lingkaran setan kekerasan yang tidak
bisa diakhiri.
Keadaannya
kian rumit sejak awal 1990-an dengan penyebaran paham dan gerakan Salafi-Wahabi
yang menentang tidak hanya kekuasaan Rusia, tetapi juga otoritas keagamaan
Islam tradisional setempat. Sejak 1999, gerakan Wahabi memaklumkan jihad
terhadap Pemerintah Rusia, dengan melancarkan aksi kekerasan dan terorisme.
Pemerintah
Rusia di bawah Presiden Putin belakangan ini cenderung lebih hati-hati
menyikapi aksi kekerasan segelintir Muslim tersebut. Misalnya, setelah
terjadinya aksi kekerasan di St Petersburg pada 3 April 2017, Putin memilih
pendekatan lunak; ini tak lain agar tidak menimbulkan backlash (reaksi
balasan lebih besar) dari kaum Muslimin Rusia umumnya.
Namun,
mayoritas Muslim lain yang merupakan penduduk mayoritas di delapan negara
bagian Federasi Rusia tetap hidup dengan moderasi dan perdamaian. Mereka ini
berhubungan baik dengan Putin dan aparat pemerintah lain yang dengan sangat
hati-hati memisahkan antara Islam dan Muslim secara keseluruhan dengan aksi
kekerasan dan terorisme.
Menyimak
berbagai perkembangan itu adalah tepat waktu penyelenggaraan Dialog Kedua Rusia
dan Indonesia tentang ‘Interfaith and Intermedia’. Acara ini diselenggarakan
Direktorat Diplomasi Publik, Ditjen Informasi dan Diplomasi Publik Kemlu RI di
Moskow 12-16 September 2018.
Mengawali
dialog dengan ceramah umum bertema ‘Menempa Ketahanan Negara dan Masyarakat
Sipil menuju Harmoni Agama’, di Universitas MGIMO Moskow tampil dua pembicara
DR Siti Ruhaini Dzuhayatin, staf khusus presiden RI untuk Masalah Keagamaan
Internasional dan penulis Resonansi ini.
Selanjutnya
adalah Konferensi Sehari antara Delegasi Rusia dan Delegasi Indonesia, yang
masing-masing multiagama dan multietnis di Civic Chamber Moskow. Dipimpin Albir
Krganov, seorang mufti, konferensi dimulai pembicara pertama, Konstantin
Shuvalov, yang juga merupakan duta besar At-Large Rusia.
Shuvalov
menekankan pentingnya pertukaran pengalaman dengan Indonesia dalam dialog
antaragama. Baginya, kedua negara, Rusia dan Indonesia berusaha mewujudkan
keseimbangan di antara keragaman dengan kesatuan.
Pembicara
Rusia lain, Alexander Terentier dan Josef Diskin menguraikan perubahan
sosial-ekonomi dan politik demokrasi yang juga menimbulkan keguncangan dan
destabilisasi sosial. “Keadaan ini dimanipulasi orang-orang radikal untuk
menghasut munculnya aksi kekerasan," ujar Terentier. “Mereka memelintir
agama juga tidak mengerti demokrasi," kata Diskin.
Sedangkan
pembicara Indonesia, sejak dari Pendeta Gomar Gultom, tokoh Buddha Philip K
Wijaya, Siti Ruhaini, dan penulis Resonansi ini berbicara tentang berbagai
aspek upaya membangun kerukunan dan harmoni, baik intra maupun antaragama di
Indonesia, baik yang dilakukan masyarakat maupun pemerintah.
Dalam
konteks itu, Philip Wijaya menekankan pentingnya peran Pusat Kerukunan Umat
Beragama (PKUB) yang ada dalam struktur Kementerian Agama. Tak kurang
pentingnya adalah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di provinsi dan
kota/kabupaten dengan anggota berbagai majelis agama.
Pada
akhir konferensi, kedua belah pihak sepakat berkesimpulan; dialog intra dan
antaragama, dan intramedia sangat perlu untuk membangun kehidupan sosial,
politik, dan keagamaan yang harmonis. Kehidupan seperti ini bukan hanya sangat
penting bagi masing-masing negara, melainkan juga bagi dunia internasional
lain.
Oleh
karena itu, kedua negara bersepakat meningkatkan program pertukaran di antara
para ahli, pemimpin agama, masyarakat sipil, dan mahasiswa. Dengan pertukaran
yang melibatkan berbagai lingkungan elite strategis, pesan-pesan moderasi
keagamaan, perdamaian, dan harmoni dapat disebarkan ke masyarakat akar
rumput. []
REPUBLIKA,
04 Oktober 2018
Azyumardi Azra | Profesor UIN
Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan AIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar