Wawasan Keadilan Internasional Bangsa Kita
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Pegangan utama kita dalam hubungan internasional adalah sikap
bertindak multilateral. Karena itu, kita menentang tindakan-tindakan unilateral
seperti yang diambil oleh A.S atas Iraq dengan melakukan penyerbuan. Memang
benar pemerintahan Saddam Husein dapat dikalahkan dan sekarang bersembunyi
entah dimana, namun belum berarti kemenangan terakhir telah dicapai oleh negara
adikuasa dan sekutunya tersebut. Dalam bulan Februari 2003, penulis menyatakan
dalam sebuah konfrensi internasional, bahwa jika dalam waktu 3 bulan Saddam
Husein tidak tertangkap maka rakyat A.S akan begitu rupa marahnya, sehingga
Presiden Bush mau tidak mau harus menarik sebagian besar tentara yang tadinya
ia perintahkan untuk menduduki Iraq. Dan Pemerintah Irak pasca Saddam Hussein
akan dipandang sebagai pemerintahan Boneka A.S dan tidak ditunduki oleh semua
warga negara di kawasan tersebut.
Ternyata pendapat itu terbukti kebenaranya saat ini. Bahkan markas
besar kehadiran PBB di negeri Abu Nawas tersebut tidak luput dari pemboman dan
orang kedua dalam Departemen Pertahanan A.S (Department of Defense/DOD), Paul
Wolfowitz tidak luput dari sasaran bom. Ini berarti, harus ditegakkan cara
penyelesaian damai masalah-masalah yang dihadapi bangsa dan rakyat Iraq. Tentu
saja, satu-satunya cara adalah dengan cara berunding. Karena itu, permintaan
penulis waktu itu dalam konfrensi tersebut berupa himbauan agar penyelesaian
damai di Iraq harus dikaitkan langsung dengan penyelesaian damai yang permanen
antara bangsa Palestina dan bangsa Israel (Yahudi) umpamanya saja dengan
membentuk federasi longgar (loose federation) di kedua kawasan tersebut.
Federasi longgar itu di Iraq dapat berbentuk pemerintahan kompetensi,
di mana Presidennya diambil dari kalangan Sunny, Perdana Menterinya dari
kalangan Syi’ah dan Ketua Perlemennya dari kalangan Kurdi. Sedikit banyak
meniru apa yang menjadi “pembagian kekuasaan” Lebanon antara Presiden dari
kalangan Kristen Maronite, Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan berasal
dari Sunny dan Ketua Parlemennnya dari kalangan Syi’ah. Dengan “kerangka”
seperti itu, keseimbangan antara tiga pihak utama dapat dipertahankan, dan
kerapuhan sistem politik yang ada dapat dijaga tidak merusak kesatuan politik
bangsa Iraq.
Seruan itu saat ini masih belum didengar oleh Presiden A.S yang
masih asyik dengan khotbah (campaigning) mengenai kekuatan Saddam yang jahat,
melawan “kebenaran” yang di bawa A.S. Seolah-olah seperti film Koboi di mana
sang pahlawan pada akhirnya akan mengalahkan bandit-bandit yang ada dalam duel
fisik antara kedua belah pihak. Dilupakan Bush bahwa ada film “The Man
Who Shot Liberty Valance”. Di mana sampai film terakhir, kita tidak tahu siapa yang
menembak Lee Marvin hingga mati, walaupun di permukaan tampak kalah duel pistol
melawan James Steward.
Sikap seolah-olah menjadi “pahlawan” pemenang perang/duel fisik
inilah yang justru harus di hindari oleh Bush. Efektivitas kepemimpinan tidak
terletak pada ketokohan, melainkan pada hasil permanen yang dapat dicapai. Di
sinilah penulis memberanikan diri untuk meminta agar supaya
pertimbangn-pertimbangan geo-politis jangan dianggap sebagai satu-satunya yang
dapat digunakan untuk tujuan merumuskan politik luar negeri yang sehat dan
lebih adil bagi dunia. Hanya dengan cara demikian akan tercapai keseimbangan
antara sisi moral dan sisi politis dalam sikap kita untuk mencari penyelesaian
permanen bagi sengketa-sengketa internasional.
*****
Pertimbangan-pertimbangan geopolitis dengan tidak memasukkan unsur
moral ke dalam diri sementara negara untuk memenangkan sengketa-sengketa yang
dihadapinya, ternyata bersifat fatamorgana dan sedikit sekali menguntungkan
negara tersebut. Kita harus belajar untuk tidak mencari “kemenangan” yang
bersifat lahiriah saja, melainkan juga kemenangan dalam artian yang lebih luas:
kemampuan menangani hal-hal lebih mendasar, seperti kemiskinan dan kebodohan.
Dan bila dikaitkan dengan rusaknya keseimbangan alam, hancurnya lingkungan hidup
dan tidak adanya persamaan dasar dalam nasib warga negara, maka semua masalah
itu jauh lebih memerlukan “pengorbanan” dari kita semua, terutama dari
“kalangan atas” masyarakat yang ‘menentukan’ jalannya negara atau gugusan
kekuatan yang dapat menopang sebuah negara atau kawasan.
Di sinilah terletak pentingnya faham keadilan dalam hubungan antar
manusia dalam sebuah negara ataupun antar negara yang saling berdekatan. Konsep
keadilan seperti dikemukakan di atas, memerlukan kerja sama yang erat antara berbagai
bangsa dan negara dan bersyaratkan adanya kesanggupan untuk memahami masalah
dasar yang dihadapi bersama. Karena itu, kerja sama teknis antar negara
(inter-state technical cooperation) perlu ditambah dengan penciptaan kesadaran
bersama yang lebih luas lagi (inter-state awareness in problem complexity) yang
lebih luas diantara mereka. Ini menghendaki lebih banyak kegiatan untuk
“menyadarkan” masyarakat luas akan persoalan dasar yang dihadapi manusia itu.
Tentu saja ini dianggap sesuatu yang bersifat lamunan dan sama
sekali tidak praktis, karena sama artinya dengan mengurangi peranan
negara-bangsa (roles of nation-states) dalam menyelesaikan sengketa-sengketa
internasional yang terjadi dewasa ini. Seperti sengketa antara Iran dan Emirat,
memperebutkan tiga buah pulau kecil di teluk Persia tentu dianggap lebih
penting dari pada “pengaturan” navigasi laut antara negara-negara yang bertikai
tersebut. Karena dalam sengketa ada nilai-nilai dasar yang bertujuan
menjaga/melindungi harga diri masing-masing negara atau bangsa. Karena itu
negara yang bersengketa dengan negara lain akan mempertahankan mati-matian
obyek sengketa .
Konsep-konsep “keadilan dan kebersamaan” itu memang belum dipahami
secara luas oleh bangsa manapun; namun ini tidak berarti bahwa ia tidak hadir
dalam kehidupan umat manusia. Demi kepentingan umat manusia, diperlukan
kesanggupan berkorban dari bangsa-bangsa yang terlibat sengketa. Hal itu
diawali dari sedikit memahami hakekat persoalan dengan mengembangkan pemahaman
lebih menyeluruh atas sebab-sebab sengketa itui. Di sinilah diperlukan kearifan
yang lebih besar, daripada hanya sekedar kehormatan nasional atau kedaulatan
bangsa dan negara. Mengembangkan kesadaran seperti ini memang mudah dikatakan,
namun sebenarnya sulit diwujudkan dalam kehidupan nyata, bukan? []
Jakarta, 17 November 2003
Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar