Bekal Berumah Tangga
dari KH Hasyim Asy’ari
Judul
: Nasehat Pernikahan Sang Kiai: Bekal Utama Mengarungi Bahtera Rumah Tangga
Penerjemah
: Yusuf Suharto
Penerbit
: Langgar Swadaya Depok
Cetakan
: Pertama, 2015
ISBN
: 978-979-16662-7-5
Peresensi
: Fathoni Ahmad
Tradisi akademik
dalam bentuk menulis buku dan kitab telah berabad-abad diwariskan oleh para
ulama pendahulu. Begitu juga yang dilakukan oleh salah seorang Pendiri
Nahdlatul Ulama (NU) Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947). Ia
menulis puluhan kitab fiqih dan hadits yang menjadi kepakarannya.
Berdasarkan proses
tashih dan pengumpulan yang dilakukan oleh KH Ishomuddin Hadziq (cucu KH Hasyim
Asy’ari), kakek Gus Dur tersebut telah menulis sebanyak 20 buah kitab. Termasuk
kitab Dhau’ al-Misbah fi Bayani Ahkam an-Nikah yang diterjemahkan oleh Yusuf Suharto,
kiai muda kelahiran Banyuwangi yang saat ini tinggal di Jombang.
Dari terjemahan kitab
Dhau’ al-Misbah fi Bayani Ahkam an-Nikah yang diberi judul Nasehat Pernikahan
Sang Kiai: Bekal Utama Mengarungi Bahtera Rumah Tangga ini, Yusuf Suharto
berupaya menyebarluaskan karya Kiai Hasyim Asy’ari kepada masyarakat luas agar
ajaran-ajarannya juga membumi, tidak hanya di kalangan pesantren.
Buku yang diterbitkan
oleh Penerbit Langgar Swadaya ini memuat penjelasan Kiai Hasyim Asy’ari terkait
dengan hukum-hukum nikah, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan. Kitab yang
ditulis oleh ayah KH Wahid Hasyim ini sangat ringkas. Setelah diterjemahkan
dalam bentuk buku hanya memuat 71 halaman.
Tetapi, masyarakat
perlu mengetahui sebab-musabab kenapa Kiai Hasyim Asy’ari menuliskan kitab
nikah sebegitu singkatnya. Dalam muqaddimahnya, setelah mengucap rasa syukur
dan menyampaikan shalawat kepada Nabi Muhammad, Kiai Hasyim Asy’ari memberikan
penjelasan:
Inilah risalah yang
berisikan beberapa hukum pernikahan. Adapun yang mendorong saya menulis risalah
ini adalah banyaknya orang awam di negeri saya ini yang hendak menuju jenjang
pernikahan tetapi tidak mempelajari terlebih dahulu syarat, rukun, dan
etikanya. Padahal bagi mereka mempelajari semua itu adalah wajib.
Saya sempat mengamati
penyebabnya mengapa mereka tidak mempelajari rukun, syarat, dan etika
pernikahan. Ternyata penyebabnya adalah pembahasan pernikahan berada dalam
kitab-kitab besar dan berjilid-jilid. Akibatnya mereka tidak bersemangat
mempelajarinya.
Itulah penggalan dua
paragraf dari muqaddimah kitab Dhau’ al-Misbah fi Bayani Ahkam an-Nikah yang
diutarakan oleh Kiai Hasyim Asy’ari. Di situ jelas sekali ditulis bahwa Kiai
Hasyim berupaya menyajikan hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban nikah dalam
bentuk risalah atau kitab yang lebih singkat sehingga mudah dipahami dan
dimengerti oleh masyarakat luas.
Tentu Kiai Hasyim
Asy’ari menyarikan risalah singkat ini dengan merujuk kepada kitab-kitab karya
ulama yang tebal dan berjilid-jilid. Buku ini layaknya seorang dosen menyusun
diktat kuliah bagi para mahasiswanya berdasar sumber-sumber primer. Namun,
bukan berarti masyarakat tidak perlu mempelajari lebih jauh lagi keterangan
para ulama dari kitab-kitab yang berjilid-jilid itu.
Orang awam yang
dimaksud Kiai Hasyim Asy’ari tentu masyarakat zaman dulu, ketika mereka belum
memiliki kesadaran kuat dalam mempraktikkan ibadah sesuai syariat Islam, yaitu
pernikahan. Bagi kaum santri dan kalangan pesantren, mempelajari syariat
berdasarakan kajian berbagai kitab mungkin sudah terbaisa. Tetapi bagi
masyarakat awam, seorang ulama harus pandai menyiasati dakwahnya, baik dakwah
dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Dari sudut pandang
demikian, Kiai Hasyim Asy’ari tidak hanya mumpuni dalam keilmuan agama Islam,
tetapi ia juga memahami kondisi sosial masyarakatnya sehingga dakwah yang
berusaha disampaikannya mudah diterima dan dipahami.
Kiai Hasyim tidak mau
membandingkan antara kemampuan dan ghirah (semangat, motivasi) santri
dalam menuntut ilmu agama dengan masyarakat yang membutuhkan sajian praktis
dalam memahami ilmu agama. Sebab itulah risalah singkat tentang syarat, rukun,
dan etika pernikahan ini merupakan pegangan yang sangat penting bagi masyarakat
umum.
Karena diperuntukkan
bagi masyarakat umum, buku ini tidak hanya berlaku bagi masyarakat pada konteks
ketika kitab ini ditulis, namun tetap menjadi rujukan penting bagi masyarakat
sekarang. Yakni bagaimana seorang Kiai Hasyim Asy’ari, sang pemilik sanad ke-14
dari Kitab Shahih Bukhori Muslim ini menyajikan keterangan dan dalil terkait
pernikahan.
Keterangan dan dalil
yang disajikan oleh Kiai Hasyim merujuk pada kitab-kitab babon (besar) seperti
Kitab al-Um karya Imam Syafi’i dan Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali. Karena
risalah ini tidak hanya memuat syarat dan rukun, tetapi etika, hak dan
kewajiban suami-istri dalam berumah tangga. Selamat membaca! []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar