Jalan
Kesaktian Pancasila
Oleh:
Yudi Latif
SEPTEMBER--Oktober
ialah bulan daur ulang ingatan traumatis. Saat negara-bangsa menghadapi
tantangan dari berbagai penjuru, visi politik tidak diarahkan untuk memenangkan
masa depan, melainkan ditarik mundur ke belakang, ke arah 'kutukan' masa lalu.
Perubahan
zaman, pergeseran geo-ideologis, dan kelahiran rezim baru tidak menghapus
luka-luka patologis. Imaji masa depan Indonesia seperti cermin yang retak.
Mimpi kebebasan dan kemajuan mudah tertawan oleh sisa-sisa infeksi dari
pengalaman pedih yang tak terdamaikan. Ingatan pedih masa lalu tidak dihadapi
dengan cara melampauinya, melainkan dengan cara mengabadikannya. Akibat tidak
terlampauinya ingatan ke belakang ini, setiap lompatan besar dalam bidang
sosial-politik bangsa ini, di ujungnya selalu berakhir dengan godaan untuk
mempolitisasi masa lalu (politicizing the past).
Menuju
Hari Kesaktian Pancasila mestinya kita bisa belajar dari sejarah dengan cara
melampaui masa lalu. Melampaui masa lalu berarti sama-sama memasuki jalan
Pancasila; jalan perdamaian yang mempertemukan segala ragam ideologis dan
identitas, dalam kelapangan nilai-nilai ketuhanan yang berkebudayaan,
sosio-nasionalisme, dan sosio-demokrasi dengan semangat gotong-royong.
Dalam
memasuki jalan Pancasila ini, hendaknya disadari bahwa berbagai cobaan
ideologis yang dialami bangsa ini menyiratkan adanya jurang yang lebar antara
idealitas dan realitas Pancasila. Nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya
efektif memandu tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila jutaan
anak-anak Indonesia lebih tertarik pada ideologi-ideologi lain ketimbang
Pancasila, pertanda ada yang salah dalam cara kita mempromosikan dan mengamalkan
Pancasila.
Jika
Pancasila benar-benar dikehendaki kesaktiannya, Pancasila harus menjadi praksis
ideologis yang memiliki kekuatan riil dalam melakukan perombakan mendasar pada
ranah material-mental-politikal sebagai katalis bagi perwujudan cita-cita nasional.
Untuk
bisa merevolusikan Pancasila, bangsa Indonesia harus memiliki tiga kesaktian
(Trisakti) di tiga ranah perubahan sosial: berdaulat dalam politik, berdikari
dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Transformasi
mental-kultural diarahkan agar bangsa Indonesia bisa berkepribadian dalam
kebudayaaan, dengan mewujudkan masyarakat religius yang berperikemanusiaan,
yang egaliter, mandiri, amanah, dan terbebas dari berhala
materialisme-hedonisme; serta sanggup menjalin persatuan (gotong-royong) dengan
semangat pelayanan (pengorbanan). Pijakan dasarnya terutama prinsip-prinsip
yang terkandung pada sila ke-1, ke-2, dan ke-3.
Adanya transformasi
Transformasi
politik diarahkan agar bangsa Indonesia bisa berdaulat dalam politik, dengan
mewujudkan agen perubahan politik dalam bentuk integrasi kekuatan nasional
melalui demokrasi permusyawaratan yang berorientasi persatuan (negara
kekeluargaan) dan keadilan (negara kesejahteraan); dengan pemerintahan negara
yang melindungi segenep bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan keadilan.
Pijakan
dasarnya teruma prinsip-prinsip yang terkadung pada sila ke-4.
Transformasi
material (ekonomi) diarahkan agar bangsa Indonesia bisa berdikari (mandiri)
dalam ekonomi, dengan mewujudkan perekonomian merdeka yang berkeadilan dan
berkemakmuran; berlandaskan usaha tolong-menolong (gotong-royong), dan
pengusaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting-yang menguasasi hajat
hidup orang banyak, serta atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya; seraya memberi peluang bagi hak milik pribadi dengan fungsi sosial.
Pijakan dasarnya terutama prinsip-prinsip yang terkadung pada sila ke-5.
Ketiga
ranah transformasi tersebut bisa dibedakan, tapi tak dapat dipisahkan. Satu
sama lain saling memerlukan pertautan secara sinergis. Ketiganya, secara
sendiri-sendiri maupun secara simultan, diarahkan untuk mencapai tujuan
nasional berlandaskan Pancasila: mewujudkan peri kehidupan kebangsaan dan
kewargaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur (material dan
spiritual), berlandaskan Pancasila.
Selanjutnya,
ideologi Pancasila yang dikehendaki efektivitasnya dalam memandu usaha-usaha
transformasi sosial harus mampu memenuhi tuntutan-tuntutan praksis di segala
dimensinya. Paling tidak ada tiga dimensi ideologis yang harus diperhatikan,
yaitu keyakinan, pengetahuan, tindakan.
Sejak era
Reformasi bergulir, keyakinan warga terhadap relevansi dan edukasi Pancasila
dirasakan semakin berkurang, seiring dengan arus pengaruh dan dinamika
perubahan secara internal dan eksternal.
Secara
internal, penurunan keyakinan itu bisa terjadi manakala terdapat kesenjangan
yang lebar antara idealitas Pancasila dan realitas kehidupan. Untuk masa yang
panjang, ketiga lapis ideologis (keyakinan, pengetahuan, dan tindakan)
Pancasila belum diaktualisasikan secara efektif. Kendati keyakinan akan ketepatan
Pancasila sebagai landasan normatif kehidupan berbangsa dan bernegara begitu
kuat didengungkan, pada kenyataannya Pancasila sebagai kaidah fundamental
negara itu tidak selalu konsisten diikuti produk perundang-undangan dan
kebijakan publik.
Kerangka operatif
Berbeda
pula dengan anggapan umum yang memandang Pancasila sekadar teori. Pada
kenyataannya, Pancasila justru belum dikembangkan ke dalam seperangkat teori
secara elaboratif dan komprehensif, yang dapat mewarnai konsepsi-konsepsi
pengetahuan. Padahal, proses objektivikasi dari Pancasila sebagai keyakinan
menjadi Pancasila sebagai ilmu sangat penting karena ilmu merupakan jembatan
antara idealitas-ideologis dan realitas-kebijakan. Setiap rancangan
perundang-undangan seyogianya didahului naskah akademik. Jika pasokan teoretis
atas naskah ini diambil dari teori-teori pengetahuan yang bersumber dari
paradigma-ideologis yang lain, besar peluang lahirnya kebijakan
perundang-undangan yang tak sejalan dengan imperatif moral Pancasila.
Yang
lebih memprihatinkan terjadi dalam kerangka operatif Pancasila. Dimensi
tindakan dalam penyelenggaraan negara masih jauh panggang dari tuntutan
keyakinan normatif dan pengetahuan Pancasila. Pancasila belum begitu konsisten
dan efektif diimplementasikan ke dalam level operasional kebijakan dan tindakan
penyelenggara dan warga negara.
Kelemahan
dalam mewujudkan imperatif keyakinan, pengetahuan, dan tindakan ideologi
Pancasila itu membuat kesaktian Pancasila berhenti sebagai klaim seremonial,
kurang mampu dibumikan dalam realitas kehidupan. Pancasila diajarkan dengan
bahan dan metodologi delivery yang kurang menarik. Pancasila direduksi sekadar
pengetahuan hafalan, kurang mampu diinternalisasikan sebagai pendangan hidup
yang mewujud dalam pendirian dan laku hidup.
Sosialisasi
Pancasila dijalankan secara vertikal; negara yang mengambil inisiatif, negara
yang menafsir, negara pula yang menatar; kurang memberdayakan partisipasi
masyarakat dalam usaha pengisiaan dan pembudayaan Pancasila; membuat Pancasila
menjadi ideologi tertutup.
Tatkala
ketahanan ideologi Pancasila dalam dimensi keyakinan, pengetahuan, dan tindakan
mengalami kerapuhan, bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan-tantangan baru
secara eksternal dan internal yang dapat menimbulkan retakan dalam pandangan dunia
bangsa Indonesia. Keretakan dalam pandangan dunia ini diperburuk distorsi
komunikatif dalam ruang publik akibat penaklukan rasionalitas nilai kebajikan
hidup bersama oleh rasionalitas instrumental dari dunia sistem kapitalisme.
Distorsi komunikatif ini menimbulkan keterasingan (alienasi) sosial, yang
melemahkan hubungan-hubungan permusyawaratan dengan hikmat-kebijaksanaan dalam
kehidupan bersama.
Meluasnya
gejala deprivasi dan alienasi sosial membawa dampak yang serius pada corak
kehidupan kebangsaan di Indonesia. Arus pengaruh penyebaran teknologi baru
bersama seni dan konsekuensi nilai, etis dan gaya hidup yang ditimbulkannya
membuka jalan bagi revivalisme identitas primordial. Lewat politisasi
identitas, manusia yang pada dasarnya bersifat multi-identitas dicoba direduksi
habis-habisan ke dalam satu identitas.
Singkat
kata, ketahanan ideologi Pancasila dihadapkan pada dua kekuatan besar; di satu
pihak adanya tarikan ke arah universalisasi lewat globalisasi, di pihak lain
tekanan ke arah partikularisasi politik identitas. Dalam situasi tegangan
antara universalisasi dan partikularisasi seperti itu, eksistensi Indonesia
sebagai republik dituntut untuk berdiri kukuh di atas konsepsi (ide) negara dan
konsepsi hukum Pancasila, dengan melakukan usaha sengaja untuk membudayakan
Pancasila.
Jalan kesaktian
Dalam
usaha pembudayaan Pancasila ini hendaklah disadari bahwa Pancasila dikehendaki
kesaktiannya sebagai ideologi kerja, ada lima jalur yang harus ditempuh.
Pertama, melakukan revitalisasi dan reaktualisasi pemahaman terhadap Pancasila
dengan melakukan penyegaran materi sosialisasi, pelurusan sejarah Pancasila,
hingga penyegaran metode sosialisasi dan pedagogi Pancasila.
Kedua,
mengembangkan kerukunan (inklusi sosial) di tengah masyarakat melalui
penumbuhan budaya kewargaan (civic culture) berbasis nilai-nilai Pancasila,
serta penguatan dialog lintas agama, suku, ras, dan golongan. Ketiga, mendorong
terwujudnya keadilan sosial melalui perumusan sistem ekonomi dan pembangunan
berbasis nilai-nilai Pancasila, serta perajutan kemitraan ekonomi demi terbangunnya
praktik ekonomi berkeadilan sosial.
Keempat,
menguatkan internalisasi nilai-nilai Pancasila ke dalam produk
perundang-undangan, kebijakan publik, serta lembaga kenegaraan dan
kemasyarakatan. Kelima, menumbuhkan, mempromosikan, dan mengapresiasi keteladanan
agen-agen kenegaraan dan kemasyarakatan dalam mengamalkan nilai-nilai
Pancasila.
Dari
jalur pemahaman diharapkan bisa mengarah pada Indonesia cerdas kewargaan. Jalur
kerukunan (inklusi sosial) mengarah pada Indonesia bersatu. Jalur keadilan
mengarah pada Indonesia berbagi sejahtera. Jalur pelembagaan mengarah pada
Indonesia tertata-terlembaga. Jalur keteladanan mengarah pada Indonesia
terpuji. Itulah lima jalur utama menuju persetujuan bangsa dalam kerangka
kemaslahatan-kebahagiaan hidup bersama.
Di tengah
kondisi bangsa yang sedang diuji letupan konflik akibat benturan kepentingan
dan pemahaman, kelima jalur itulah yang menjadi jalan kesaktian Pancasila
menuju keselamatan dan kebahagiaan hidup bersama. []
MEDIA
INDONESIA, 01 Oktober 2018
Yudi Latif
| Cendekiawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar