Cara Mbah Umar Solo
Tepis Hoaks ketika Diisukan Bid’ahkan Bedug
Pada tahun 1978, atau
sekitar tahun itu, beredar kabar bohong alias hoax di Solo bahwa Mbah Kiai
Ahmad Umar bin Abdul Mannan membid’ahkan penggunaan bedug di masjid. Isu itu
juga menyatakan bagi yang tidak percaya dipersilakan datang ke Pondok Pesantren
Al-Muyyad Mangkuyudan guna membuktikan kebenarannya.
Di Masjid Al-Muayyad
memang sejak awal didirikan tidak ada bedug. Yang ada hanyalah sebuah
kenthongan untuk menandakan waktu shalat fardhu telah tiba atau iqamah segera
dilakukan. Hal ini berbeda dengan di Masjid Tegalsari Surakarta sebagai masjid
jami’ dan Masjid Agung Surakarta yang selain terdapat kenthongan juga ada
bedug. Ketiadaan bedug di Mangkuyudan telah dijadikan dalil oleh penyebar hoax
bahwa Mbah Kiai Umar tidak kersa bedug dengan alasan bid’ah.
Mendengar isu itu
Mbah Kiai Umar tidak mengundang wartawan untuk konferensi pers, atau melakukan
press release ke berbagai media, atau pula melakukan sumpah di depan publik
untuk melakukan penyangkalan. Hal yang segera dilakukan Mbah Kiai Umar adalah
melakukan tindakan nyata dengan membeli sebuah bedug berukuran cukup besar
untuk ditempatkan di masjid.
Sejak itu setiap hari
suara bedug terdengar menggelegar dari mana-mana di sekitar Pondok Pesantren
Al-Muayyad yang dulu lebih dikenal dengan nama Pondok Mangkuyudan. Keberadaan
bedug beserta suaranya yang cukup keras itu merupakan jawaban empiris dari Mbah
Kiai Umar atas hoax yang menimpa beliau.
Dengan jawaban
empiris berupa bedug di masjid tersebut Mbah Kiai Umar berharap masyarakat bisa
kritis menyikapi hoax atau isu bid’ah dengan cara meragukan dan bukan langsung
mempercayainya untuk kemudian membuktikan hal yang sebenarnya guna memperoleh
kebenaran yang meyakinan bahwa Mbah Kiai Umar tidak membid’ahkan bedug.
Cara Mbah Kiai Umar
merespon hoax seperti itu sejalan dengan metode keraguan (syak minhaji) yang
diperkenalkan oleh Imam al-Ghazali sebagaimana dapat ditemukan dalam risalah
beliau berjudul al-Munqidz min ad-Dhalal (Pembebas dari Kesesatan) yang
ditulisnya pada sekitar tahun 1097.
Metode keraguan Imam
Ghazali pada intinya merekomendasikan agar kita bersikap ragu atau tidak
membenarkan atau meyakini begitu saja apa yang ada dalam pikiran seperti
anggapan-anggapan, dugaan-dugaan, atau bahkan apa yang telah ditangkap oleh
indera seperti mendengar suatu berita atau melihat sesuatu, sebelum melakukan
pembuktian. Tentu saja metode ini berkaitan dengan hal-hal di luar masalah
keimanan.
Bagaimanapun,
meragukan adalah sikap tengah-tengah atau moderat. Ia berada di antara dua
sikap yang saling bertolak belakang, yakni antara percaya dan mengingkarinya.
Karena posisinya di tengah, maka tidak sulit untuk beralih ke posisi
mempercayai atau mengingkari setelah ada dalil-dalil atau bukti-bukti yang
valid. []
Muhammad Ishom, dosen
Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar