Mengawal
Kampanye Damai
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Saya
tidak tahu mengapa masa kampanye pilpres dan pileg kali ini terlalu panjang?
Selama hampir tujuh bulan (24 September 2018-13 April 2019), seluruh bangsa ini
disibukkan oleh kontestasi politik antarpartai, baik dalam menghadapi pilpres
maupun dalam berebut suara untuk pileg.
Apakah
pada masa mendatang, masa berebut kuasa itu justru dipersingkat saja,
katakanlah selama tiga bulan, agar energi rakyat bisa dipakai untuk kerja-kerja
produktif, saat ketimpangan sosial masyarakat Indonesia masih terasa tajam.
Apakah suasana kontestasi yang berbulan-bulan itu tidak membosankan, di samping
menguras tenaga dan dana?
Sekalipun
suarakan Ikrar Kampanye Damai pada 23 September 2018 yang secara moral mestinya
mengikat kelakuan semua parpol, saya masih ragu apakah dalam realitas akan
dipatuhi. Ikrar yang memuat tiga poin itu semuanya manis dan ideal: (1)
Mewujudkan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. (2)
Melaksanakan kampanye pemilu yang aman, tertib, damai, berintegritas, tanpa
hoaks, dan politisasi SARA dan politik uang. (3) Melaksanakan kampanye
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sekiranya
ikrar yang sangat bagus ini dilaksanakan 75 persen saja sudah merupakan sebuah
prestasi demokrasi yang patut dibanggakan. Dalam kaitan inilah peran sentral
KPU, Bawaslu, media, tokoh masyarakat, alat negara sebagai pengawal kampanye
damai menjadi penentu, khususnya KPU dan Bawaslu dari tingkat pusat sampai
pelosok.
Jika
masih saja ada anggota KPU dan Bawaslu tidak taat aturan, seperti bersikap
partisan, saya sarankan agar langsung dipecat karena telah melanggar sumpah
jabatan. Kemudian, saya ingatkan KPU dan Bawaslu tentang penyakit sosial kronis
yang perlu selalu dicermati di kalangan anak bangsa yang mengaku beragama ini:
“Semudah berikrar, semudah itu pula mengkhianatinya, tanpa terlihat rasa dosa.”
Adapun
tokoh masyarakat sebagai pendukung calon pilihannya tentu boleh saja berpihak,
tetapi mereka mesti menjaga dan mengarusutamakan kondisi aman dan damai yang
secara formal telah disepakati. Jika tidak demikian, martabat sebagai tokoh
panutan publik dengan sendirinya akan tergerus.
Pada poin
dua di atas, ada ungkapan “tanpa hoaks dan politisasi SARA dan politik uang”
yang harus dihindari. Poin ini sungguh sukar dijalankan pada saat dunia media
sosial (medsos) yang selama ini telah bergerak dan beroperasi nyaris tanpa
etika, tanpa moral.
Ujaran
kebencian dan kata-kata ganas dan kasar adalah senjata yang dipakai untuk
melumpuhkan lawan politik. Alat medsos di tangan manusia tunamoral sungguh
efektif untuk berbuat apa saja, termasuk perbuatan yang paling hitam
sekalipun.
Pada era
politik pascakebenaran pada tataran global, regional, nasional, dan bahkan di
kawasan pedesaan, adab dan sopan santun telah semakin terpinggir, dibinasakan
oleh kepalsuan dalam jubah kebenaran.
Agama
yang seharusnya jadi sumber moral dan etika tertinggi pada era sekarang sudah
hampir kehabisan daya dan tenaga, karena sebagian para pemeluknya telah
bermetamorfosis menjadi: “political animals.”
Oleh
sebab itu, tiga poin yang digagas KPU di atas merupakan sebuah taruhan bagi
sebuah bangunan demokrasi yang sehat, kuat, dan bermartabat. Tetapi
setidak-tidaknya KPU telah memberikan rambu-rambu yang bagus untuk dijadikan
pedoman dalam politik kampanye.
Pemain
utama dalam demokrasi adalah parpol. Selama ini mereka memerlukan biaya politik
tinggi, maka yang dilakukan adalah menggerogoti APBN, APBD, BUMN, BUMD.
Ini bukan
rahasia lagi, publik sudah lama tahu, tetapi tidak dapat berbuat banyak, tangan
mereka tak kuasa mencegahnya. Untuk memperbaiki kondisi buruk ini, secepatnya
UU Parpol wajib direvisi secara radikal dan parpol dibiayai oleh APBN agar
mudah diaudit.
Dalam
situasi sekarang, keuangan parpol tidak ada yang mengawasi, semuanya bergantung
pada selera elite pimpinannya. Para elite ini sangat berkuasa, sekalipun
sebagian mereka mungkin saja koruptor kelas hiu.
Kembali
kepada harapan untuk kampanye damai. Seruan ini perlu dikobarkan berulang-ulang
melalui berbagai media. Pihak-pihak yang melanggar tidak saja harus ditegur
secara lisan dan tertulis, tetapi juga diberi sanksi sesuai dengan aturan
perundang-undangan yang berlaku.
Oknum KPU
dan Bawaslu jangan ada yang main mata dengan para peserta pemilu. Prinsip
independensi dan imparsialiti dalam menjalankan tugas sungguh merupakan sine qua non (syarat
mutlak) yang tidak boleh dilanggar.
Adapun
mereka punya pilihan politik sendiri tidak ada masalah karena itu melekat pada
diri mereka sebagai warga negara, kecuali alat negara aktif yang tidak punya
hak pilih menurut UU Indonesia. Selamat berkampanye damai dengan menjaga
persaudaraan sebangsa! []
REPUBLIKA,
02 Oktober 2018
Ahmad
Syafii Maarif | Mantan
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar