Jumat, 20 September 2019

Kang Komar: Seni Mengelola Hidup


Seni Mengelola Hidup
Oleh: Komaruddin Hidayat

PADA salah satu tulisannya, Plato menyebut salah seorang bernama Gorgias. Mungkin saja ia merupakan tokoh fiksi yang digunakan sebagai simbol untuk menggambarkan orang-orang pada zamannya.

Gorgias berpendapat bahwa kebahagiaan seseorang terletak di dalam kemampuannya untuk mewujudkan apa yang ia inginkan, apa pun bentuknya. Kebahagiaan itu wujud dari yang diinginkan orang.

Pada dasarnya Gorgias adalah seorang ahli retorika, yakni guru yang mengajarkan kemampuan untuk memengaruhi orang dalam segala bidang, atau yang juga disebut sebagai seni persuasif. Yaitu bagaimana mengajarkan orang untuk terampil berargumen dan memengaruhi orang lain, walaupun orang yang berargumen tersebut mungkin saja tidak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang apa yang ia bicarakan.

Dengan kemampuan ini, dalam ruang pengadilan, orang dapat memengaruhi para hakim dan jaksa, para pejabat di rapat pemerintah, maupun orang pada umumnya di sebuah rapat terbuka, sehingga ia dapat menghasilkan kekayaan besar hanya dengan mengandalkan kemampuannya untuk berbicara.

Gorgias menegaskan bahwa jika orang memiliki kemampuan ini, ia akan mendapatkan apa pun yang dinginkan, tak peduli seberapa pun sulitnya. Inilah keberuntungan tertinggi yang bisa diraih manusia, yakni mencapai apa pun yang diinginkannya.

Sebagai seorang yang menyenangi filsafat, Gorgias tidak mengatakan apa yang membuat manusia menjadi bahagia. Ia menawarkan cara untuk mewujudkan setiap keinginan yang ada di hati setiap orang, karena kebahagiaan setiap orang sangatlah tergantung pada apa yang diinginkan jauh di lubuk hatinya.

Dengan kata lain, menurut Gorgias, orang perlu untuk menggunakan semua kekuatan akal maupun fisiknya untuk mencapai setiap keinginan yang ia miliki, karena di dalam pencapaian keinginan itulah terletak kebahagiaan. Kemampuan dalam pencapaian keinginan untuk memengaruhi orang lain dan berargumentasi itulah seni untuk mendapatkan kebahagiaan.

Jadi bahagia itu memerlukan seni, the art of happiness. Coba kita bayangkan bagaimana sikap orang terhadap gitar ketika masing-masing dibagikan gitar.

Orang yang satu dengan yang lain akan berbeda tanggapannya. Orang pertama diberi gitar... aduh . .. pas banget nih saya diberi gitar pas tidak punya duit. Gitar bisa saya jual lagi, saya dapat duit.

Orang kedua diberi gitar, wah pas banget nih anak saya suka bermain gitar dan saya pas tidak punya uang untuk membelikan. Orang ketiga diberi gitar, wah wah wah dengan gitar saya bisa menciptakan banyak lagu dan menciptakan uang.

Gitarnya sama, bendanya sama. Tapi hasilnya bisa beda-beda. Bunyi lagu pun hanya ada 7 not (do re mi fa sol la si).

Angka 7 itu dikenal sebagai the magic seven, Alfatihah 7 ada ayat diulang-ulang, hari ada 7, nada 7, langit 7. Menurut penelitian psikologi, bila kita ingin membandingkan orang, maksimal adalah 7. Lebih dari 7 sudah tidak akurat.

Dengan 7 nada, berapa lagu tercipta di muka bumi ini? Pertanyaannya, mengapa ada yang bisa menciptakan ribuan lagu, tapi ada juga yang tidak dapat menciptakan sama sekali? Apa yang memengaruhinya? Talenta. Di situ ada the quality of art.

Bila kita bicara art maka ada unsur olah rasa, olah pikir, ada kesadaran rasional. Ada tinggi, rendah, sedang. Tapi tidak cukup olah pikir dalam seni. Yang menonjol adalah olah rasa. Kita punya pikiran, kita punya rasa (heart), kita punya hand (raga).

Seni itu melibatkan pikiran, perasaan, dan aktivitas fisik. Maka itu, orang yang punya penghayatan, punya skill seni, bagi dia bisa menghasilkan karya yang mahal, sementara bagi orang lain harus membelinya dengan harga mahal.

Contohnya pakaian. Kain dengan harga murah, tapi bila diolah dengan cita rasa yang tinggi oleh desainernya, maka akan menghasilkan model pakaian yang indah dan harga mahal. Ada juga yang dari bahan mahal, tapi desainernya tidak memiliki rasa seni tinggi, maka harganya pun jatuh.

Ada juga orang yang diberi kertas putih yang sama, tapi yang satu mampu menghasilkan puisi-puisi indah, yang lainnya masih tetap putih. Begitu juga kebahagiaan. The art of happiness.

Mengapa kebahagiaan perlu seni? Karena untuk mendapatkan kebahagiaan, kita perlu seni mengelola hidup. Misalnya melakukan sesuatu yang murah, tapi nilainya mahal dan membahagiakan. Contohnya ungkapan: Mom, I love you. Murah tapi membahagiakan orang tua. Di situ tidak melibatkan uang, tapi ada keterlibatan emosi, perasaan hati.

Happiness ada dua aspek: yang memuat emosi menyenangkan. Tapi happiness yang tinggi kualitasnya adalah yang meaningful. Bahagia sekaligus bermakna. Ada orang merasa happy tapi tidak bermakna. Ada yang meaningful tapi tidak membahagiakan.

Jadi, hidup itu mestinya happy dan meaningful. Maka kita sering dengar ungkapan, saya letih tapi bahagia, saya letih tapi puas. Ada orang capek tapi meaningful tapi ada juga yang capek, namun meaningless. Inilah sebagian dari seni mengelola hidup, the art of happiness––seni mengelola hidup.

Plato berpendapat bahwa setiap orang memiliki beragam keinginan dan hasrat yang saling tumpang tindih di dalam dirinya. Di dalam bukunya yang berjudul The Republic, ia mengajukan sebuah teori tentang kepribadian manusia, atau yang disebutnya sebagai teori tentang jiwa.

Baginya, jiwa manusia memiliki tiga bagian, yakni bagian akal budi, semangat, dan nafsu-nafsu rendah. Ketiga bagian ini saling berlomba untuk mengatur keseluruhan manusia. Jika bagian akal budi menang, ia akan menjadi manusia yang rasional; jika bagian semangat yang menang maka ia akan menjadi orang yang berani; dan jika bagian nafsu-nafsu rendah yang menang maka ia akan menjadi orang yang diperbudak oleh nafsu-nafsu rendahnya, seperti nafsu seks berlebihan, nafsu makan, dan nafsu akan kekuasaan.

Tentu saja teori ini agak terasa ketinggalan zaman. Namun, ada satu hal yang kiranya membuat teori Plato relevan, yakni penegasannya bahwa manusia memiliki beragam keinginan, tujuan, cita-cita, hasrat, dan ambisi yang saling tumpang tindih dalam dirinya.

Orang sering kali tidak menyadari beragam keinginan saling bertarung dalam dirinya ini, karena dibutuhkan kemampuan berpikir reflektif dan kritis yang tinggi untuk mengenalinya. Kalau tidak, kita bisa letih membiarkan dan merasakan konflik dan pertarungan yang berkecamuk dalam diri kita. []

KORAN SINDO, 20 September 2019
Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar