Cara Rasulullah Mendidik Anak Kecil yang
Membangkang
Dalam kitab Sunan Abî Dawud, Imam Abu Dawud
Sulaiman memasukkan sebuah riwayat menarik tentang Sayyidina Anas dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Berikut riwayatnya:
قَالَ
أَنَسٌ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَحْسَنِ
النَّاسِ خُلُقًا فَأَرْسَلَنِي يَوْمًا لِحَاجَةٍ فَقُلْتُ وَاللَّهِ لَا
أَذْهَبُ وَفِي نَفْسِي أَنْ أَذْهَبَ لِمَا أَمَرَنِي بِهِ نَبِيُّ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, قَالَ: فَخَرَجْتُ حَتَّى أَمُرَّ عَلَى
صِبْيَانٍ وَهُمْ يَلْعَبُونَ فِي السُّوقِ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَابِضٌ بِقَفَايَ مِنْ وَرَائِي فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ
وَهُوَ يَضْحَكُ فَقَالَ: يَا أُنَيْسُ اذْهَبْ حَيْثُ أَمَرْتُكَ, قُلْتُ: نَعَمْ
أَنَا أَذْهَبُ يَا رَسُولَ اللَّهِ, قَالَ أَنَسٌ: وَاللَّهِ لَقَدْ خَدَمْتُهُ
سَبْعَ سِنِينَ أَوْ تِسْعَ سِنِينَ مَا عَلِمْتُ قَالَ لِشَيْءٍ صَنَعْتُ لِمَ
فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا وَلَا لِشَيْءٍ تَرَكْتُ هَلَّا فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا
Anas bin Malik berkata: “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Suatu
hari beliau mengutusku untuk suatu keperluan, aku berkata: ‘Demi Allah, aku
tidak akan pergi (mengerjakan perintahnya).’ Padahal diriku sebenarnya ingin
pergi melaksanakan apa yang diperintahkan Nabi Allah shallallahu ‘alaihi
wasallam kepadaku.”
Anas berkata: “Lalu aku keluar (rumah). Aku
melewati sekumpulan anak-anak yang sedang bermain di pasar, tiba-tiba
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memegang tengkukku dari belakang, aku
melihat kepadanya, dan beliau sedang tertawa, kemudian berkata: “Wahai Anas,
pergilah sebagaimana yang kuperintahkan padamu (tadi).” Aku menjawab: “Baik,
aku akan pergi (melaksanakannya), ya Rasulullah.”
Anas berkata: “Demi Allah, sudah tujuh atau
sembilan tahun aku mengabdi kepadanya, aku tidak pernah (mendengarnya
mengomentari) kesalahan yang kulakukan dalam mengerjakan sesuatu dengan
berkata: “Kenapa kau melakukannya begini dan begini,” atau mengomentari
(kelalaianku) melakukan sesuatu dengan berkata: “Kenapa kau tidak melakukan ini
dan ini.” (Imam Abu Dawud, Sunan Abî Dawud, Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah,
tt, juz 4, h. 246-247)
****
Sayyidina Anas bin Malik berasal dari suku
Najjar, salah satu klan dari suku Khajraz di Yatsrib (Madinah). Ayahnya bernama
Malik bin Nadhr meninggal sebelum memeluk Islam, kemudian ibunya, Ummu Sulaim,
menikah lagi dengan Sayyidina Abu Thalhah al-Anshari, seorang sahabat nabi yang
turut serta dalam Bai’at al-‘Aqabah yang kedua. Ketika Rasulullah hijrah ke
Madinah, banyak orang yang memberinya hadiah, tapi Ummu Sulaim tidak mampu
mengupayakan itu. Dalam salah satu riwayat diceritakan (HR. Imam al-Turmudzi):
قدم
رسول الله المدينة وأنا ابن ثمان سنين، فأخذت أمي بيدي، فانطلقت بي إليه، فقالت:
يا رسول الله, لم يبق رجل ولا امرأة من الأنصار إلا وقد أتحفك بتحفة، وإني لا أقدر
على ما أتحفك به إلا ابني هذا، فخذه، فليخدمك ما بدا لك, قال: فخدمته عشر سنين،
فما ضربني، ولا سبني، ولا عبس في وجهي
“Rasulullah datang ke Madinah saat aku
berusia delapan tahun, kemudian ibuku menggandeng tanganku dan membawaku pada
Rasulullah, ia berkata: “Wahai Rasulullah, tidak seorang laki-laki dan
perempuan pun dari kaum Anshar yang datang kepadamu kecuali memberi hadiah
untukmu, sedang aku tidak mampu memberimu hadiah kecuali anakku ini. Ambillah,
agar ia bisa melayanimu.” Anas berkata: “Aku mengabdi pada Rasulullah sepuluh
tahun lamanya, tidak pernah sekalipun beliau memukul, mencaci atau berwajam
masam kepadaku.” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, Beirut: Mu’assasah
al-Risalah, 2001, juz 3, h. 399)
Riwayat ini menunjukkan bahwa Sayyidina Anas
adalah anak kecil yang memiliki dunianya sendiri, gemar bermain dan
bersenang-senang. Andaipun disuruh melakukan sesuatu, tanpa segan ia
mengatakan, “tidak”, meski yang menyuruhnya adalah Rasulullah. Ini bukan hal
yang aneh, karena begitulah anak kecil. Yang menarik di sini adalah cara
bersikap Rasulullah. Mendengar kalimat, “aku tidak akan pergi melakukannya,”
beliau tidak menampakkan kemarahan, berwajah masam dan menghardiknya dengan
keras, tapi meninggalkannya. Baru kemudian, ketika beliau menjumpai Sayyidina
Anas di pasar, beliau memegang tungkuknya dan berkata, “Wahai Anas, pergilah
sebagaimana yang kuperintahkan padamu (tadi).”
Dan Sayyidina Anas menjawab, “Baik, aku akan
pergi (melaksanakannya), ya Rasulullah.” Ini menarik, karena Rasulullah tidak
bertanya, “apa kau sudah melaksanakan perintahku?” Jika Rasulullah menanyakan
itu, bisa jadi Sayyidina Anas bingung menjawabnya, karena ia belum
melakukannya, bisa saja pertanyaan semacam itu membuatnya terpojok dan akhirnya
berbohong. Karena itu, Rasulullah menggunakan pendekatan teladan yang baik dan
mudah dimengerti oleh anak kecil, didukung dengan wajah beliau yang sama sekali
tidak menunjukkan kemarahan, malah tertawa lepas tanpa beban.
Hal menarik lainnya adalah jeda yang
diberikan Rasulullah. Ketika perintahnya ditolak Sayyidina Anas, beliau
memberinya ruang agar ia tidak merasa ditekan. Anak kecil tentunya berbeda
dengan orang dewasa. Bagi anak kecil, ancaman dirasakan sebagai tekanan, karena
fitrahnya memang suka bermain-main. Karena itu, selama sepuluh tahun
melayaninya, Rasulullah tidak pernah sekalipun berkata kasar dan
menyalahkannya. Sayyidina Anas bercerita (HR. Imam Ahmad):
خدَمْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ سِنِينَ وَمَا كُلُّ
أَمْرِي كَمَا يُحِبُّ صَاحِبِي أَنْ يَكُونَ مَا قَالَ لِي فِيهَا أُفٍّ وَلَا
قَالَ لِي لِمَ فَعَلْتَ هَذَا وَأَلَّا فَعَلْتَ هَذَا
“Aku melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam selama sepuluh tahun. Tidak semua pekerjaanku sesuai dengan perintah
beliau, (tapi) beliau tidak pernah berkata kepadaku (karena ketidak-becusanku)
“ah/dasar”, dan tidak pernah (juga) berkata padaku, “kenapa kau lakukan ini?”
dan “kenapa tidak kau lakukan (seperti) ini?”
Artinya, Rasulullah sedang mendidik Sayyidina
Anas dengan keteladanan, sehingga kesan yang ditangkap olehnya adalah
kelembutan pekerti dan kemuliaan akhlak. Sikap Rasulullah inilah yang
menumbuhkan rasa tidak enak hati secara alami dalam perasaan Sayyidina Anas.
Karena selama bertahun-tahun bersama Rasulullah, ia tidak pernah merasa
dipertentangkan dengan keadaan yang membuatnya berbohong, dan dibandingkan
dengan anak kecil lainnya hingga menimbulkan perasaan kurang dihargai. Sikap
Rasulullah ini menunjukkan bahwa dunia anak-anak adalah dunia yang tidak bisa
dipandang secara menyeluruh dengan perspektif orang dewasa.
Karena itu, Rasulullah memperlakukan
Sayyidina Anas sebagai anak kecil, bukan sebagai orang dewasa, sehingga apapun
kesalahan yang dilakukannya, ia tidak menyalahkannya, tapi memberinya contoh
yang benar. Nasihat dan kata-kata memang berarti, tapi bagi anak-anak, contoh
keteladanan jauh lebih terasa artinya. Ini bisa dilihat dari sekian banyak
riwayat yang menceritakan bagaimana Rasulullah bergaul dengan anak kecil, baik
cucunya sendiri, maupun orang lain, termasuk Sayyidina Anas.
Pada akhirnya, Sayyidina Anas bin Malik
menjadi maha guru. Ia meriwayatkan ribuan hadits, memiliki banyak murid, dan
menjadi penjaga ilmu. Menurut satu pendapat, ia meriwayatkan sekitar 2.286
hadits, dengan murid yang sangat banyak. Ia memiliki banyak anak dan umur yang
panjang, sebagaimana doa Rasulullah untuknya, saat ibunya meminta Rasulullah mendoakannya,
“allahumma aktsir mâlahu wa waladahu wa athil ‘umrahu waghfir dzanbahu—Ya
Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, panjangkanlah umurnya, dan ampunilah
dosanya.” (Imam Ibnu al-Jauziy, Shifat al-Shafwah, Kairo: Darul Hadits, 2000,
juz 1, h. 278)
Sayyidina Anas bin Malik wafat di usia yang
sangat tua karena penyakit kusta. Mengenai di usia berapa ia meninggal, para
ulama berbeda pendapat. Abu Ubaid, Qatadah, Hamid dan al-Haitsam bin ‘Adi
berpendapat Anas meninggal di usia 91 tahun; al-Waqidi berpendapat di usia 92
tahun; Ibnu ‘Aliyah, Sa’id bin ‘Amir, dan Abu Nu’aim berpendapat di usia 93
tahun; pendapat lainnya mengatakan di usia 103 atau 107 tahun (Imam al-Dzahabi,
Siyar A’lâm al-Nubalâ’, 2001, juz 3, h. 406-407).
Intinya, kita harus memperlakukan anak kecil
sebagai anak kecil. Jangan paksakan padangan orang dewasa kepada mereka. Karena
standar kebenaran anak kecil, belum semapan orang dewasa. Kebenaran bagi mereka
masih berganti-ganti, sesuai selera kesenangan mereka. Di samping itu, kita
juga harus mengedepankan keteladanan dalam bergaul dengan mereka. Nasihat dan
penjelasan tetap harus dilakukan, tapi keteladanan tak bisa ditinggalkan.
Bukankah demikian seharusnya? Wallahu a’lam bish shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP.
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar