Sejarah Kelompok Khawarij (5): Perpecahan
Internal Khawarij
Sebagaimana disinggung di awal bahasan,
kelompok Khawarij terpecah menjadi beberapa faksi. Hal ini bisa dimaklumi sebab
nalar mereka memang mengafirkan siapa pun yang berbeda pendapat dengan mereka,
akhirnya mereka sendiri pun pecah dan saling mengafirkan satu sama lain atau
paling tidak saling berlepas diri dan berperang. Berikut ini adalah penjelasan
singkat mengenai faksi-faksi tersebut dan sekelumit pola pikir mereka.
1. Al-Muhakkimahal-Ula
Meskipun nalar Khawarij bisa kita lacak
keberadaannya sejak masa Rasulullah hingga masa Khalifah Utsman, tapi
kebanyakan sejarawan secara resmi mencatat Khawarij pertama adalah golongan
yang keluar menentang Ali sebagaimana dijelaskan pada artikel sebelumnya.
Merekalah yang kemudian disebut sebagai al-Muhakkimahal-Ula atau golongan yang
berkata “tak ada hukum kecuali milik Allah” yang pertama. Tentu saja, slogan
tersebut hanyalah apologi sebab sebenarnya maksud mereka adalah tak ada hukum
kecuali hukum versi mereka sendiri.
Seorang Khawarij bernama Urwah berkata:
تحكمون
فِي أمر اللَّه الرجال لا حكم إلا اللَّه
“Kalian berhukum dalam hal ajaran Allah pada
manusia [saat arbitrase]. Tak ada hukum kecuali milik Allah” (Ibnu al-Jauzi,
TalbîsIblîs, 82).
Pasca-arbitrase, Ali dan pasukannya memasuki
kota Kufah sedangkan Khawarij menuju Harura’. Pimpinan mereka adalah Abdullah
bin al-Kawa’, Itab bin al-A’war, Abdullah bin Wahbar-Rasibi, Urwah bin Jarir,
Yazid bin Ashim dan Hurqush bin Zuhair. Jumlah mereka sekitar 12.000 orang yang
kesemuanya meneriakkan jargon “tidak ada hukum kecuali milik Allah” sebagai
bentuk perlawanan pada arbitrase yang dianggap menjadikan manusia sebagai
penentu hukum. Mereka adalah para ahli ibadah yang sayangnya merasa lebih paham
agama daripada Ali bin Abi Thalib sehingga sulit disadarkan (asy-Syahrastani,
al-Milal wan-Nihal, I, 115; Ibnu al-Jauzi, TalbîsIblîs, 82).
Kesemua Khawarij ini terbunuh oleh pasukan
Sayyidina Ali di suatu daerah yang bernama Nahrawan hingga tak tersisa kecuali
tak lebih dari sepuluh orang saja. Dua di antara mereka lari ke Amman, dua lagi
ke Kerman, dua ke Sijistan, dua ke jazirah, dua ke Yaman. Di tempat-tempat
itulah faksi Khawarij berikutnya bermunculan (asy-Syahrastani, al-Milal
wan-Nihal, I, 115). Di antara yang terbunuh di Nahrawan ini adalah Dzul
Khuwaishirah, Khawarij pertama yang merasa lebih adil dari Nabi Muhammad yang
kisahnya telah diulas pada artikel sebelumnya.
2. Azariqah
Mereka adalah para pengikut Nafi’ bin Azraq.
Faksi ini adalah Khawarij terkuat dan terbanyak jumlahnya yang pernah ada.
Jumlah mereka lebih dari 20.000 orang. Mereka menganggap siapa pun di luar
mereka sebagai kaum musyrik, berbeda dengan al-Muhakkimahal-Ula yang menganggap
para musuhnya sebagai kafir. Yang lebih parah dari Muhakkimah, kalangan
Azariqah ini menganggap musyrik kalangan mereka sendiri yang tak mau mengangkat
senjata. Mereka mempunyai kebiasaan menguji “keimanan” calon anggota mereka
dengan cara menyodorkan tawanan dari kalangan muslimin non Khawarij padanya.
Bila calon anggota tersebut mau membunuh tawanan tersebut maka mereka
menerimanya. Namun bila ia enggan membunuhnya, maka mereka menyebutnya munafik
dan musyrik lalu membunuhnya. Sebagian mereka memperbolehkan membunuh istri dan
anak para penentangnya dan berpendapat bahwa anak-anak adalah musyrik. Mereka
memastikan anak non-Khawarij berada kekal di neraka. Dalam hal fikih,
mereka mengingkari hukum rajam dan memperbolehkan mengingkari amanat. Selain itu
mereka memotong tangan pencuri tanpa peduli seberapa kecil barang yang
dicurinya sebab mereka tak memberlakukan batas minimal pencurian (Abdul
Qahiral-Baghdadi, al-Farq bain al-Firaq, h. 62-64). Ibnul Jauzi menceritakan
bahwa di antara perkataan mereka adalah: “Kami tak mengenal ada satu pun orang
islam [di luar mereka]” (Ibnul Jauzi, TalbîsIblîs, h. 19).
3. An-Najdat
Ketika Nafi’ bin Azraq mulai mengafirkan
anggotanya yang enggan mengangkat senjata dan menyebut mereka sebagai musyrikin
serta menghalalkan pembunuhan atas istri dan anak lawan politiknya, maka
sebagian orang yang dipimpin oleh Abu Qudail, Athiyah al-Hanafi, Rasyid
at-Thawil dan Ayyub al-Azraq memisahkan diri. Mereka pergi ke Yamamah hingga
bertemu dengan Najdah bin Amir al-Hanafi berserta pasukannya di perjalanan.
Najdah sebenarnya ingin bergabung dengan para Azariqah, namun ketika mendengar
kisah dari orang-orang Azariqah yang memisahkan diri itu, ia pun mengurungkan
diri.
Pasukan Najdah bin Amir al-Hanafi beserta
mantan Azariqah itu kemudian berbaiat pada Najdah. Inilah sebab mereka disebut
sebagai an-Najdat. Mereka mengafirkan para Azariqah yang menghalalkan darah
orang-orang khawarij yang tak mau mengangkat senjata. Namun setelah putra
Najdah beserta pasukannya membunuh penduduk Qathif dan mengambil rampasan
perang tanpa terlebih dahulu dilakukan pembagian, maka kelompok ini terpecah:
Sebagian mendukung Najdah yang mengampuni tindakan putranya itu dengan alasan
mereka masih tidak tahu bahwa itu terlarang serta mengafirkan siapa pun yang
menganggapnya salah. Sedangkan sebagian lagi menentang dan mengafirkannya
karena mendukung aksi pasukan putranya tersebut (asy-Syahrastani, al-Milal
wan-Nihal, h. 123-124)
Uniknya, suatu ketika Najdah saling
berkorespondensi dengan Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari dinasti
Umayyah dan ia menampakkan kecondongan padanya. Akhirnya dia dikritik oleh anak
buahnya dan diminta bertobat. Akhirnya Najdah pun bertobat dari itu. Setelah
itu sebagian anak buahnya merasa bersalah karena telah memaksa imam mereka
bertobat sehingga mereka pun bertobat karena itu. Najdah lagi-lagi dipaksa
untuk bertobat dari tobatnya terdahulu, bila tidak maka ia akan dilengserkan
dan akhirnya Najdah pun bertobat dari tobatnya. (asy-Syahrastani, al-Milal
wan-Nihal, h. 124).
Di antara pengikut Najdah yang memisahkan
diri darinya adalah Athiyah dan Abu Fudaik. Pendukung Athiyyah dikenal sebagai
Athawiyah dan pendukung Abu Fudaik disebut Fudaikiyah. Meskipun keduanya
sama-sama sempalan Najdat, tapi keduanya saling berperang satu sama lain.
Kekuasaan Athawiyah mencakup Sijistan, Khurasan, Kerman dan Qihistan. Pada
perkembangannya, dari Athawiyah muncul sempalan lagi bernama Ajaridah.
(asy-Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, 124).
4. Ajaridah
Mereka adalah pengikut Abdul Karim bin Ajrad.
Secara umum pendapat mereka sama dengan faksi Najdat sebelumnya. Akan tetapi
mereka mengafirkan pelaku dosa besar dan mengingkari keberadaan surat Yusuf
sebagai bagian dari Al-Qur’an. Alasannya, kisah cinta tak mungkin merupakan
ayat Al-Qur’an. Selain itu mereka berpendapat bahwa anak-anak orang
musyrik kekal di neraka bersama orang tuanya. Dalam perkembangannya, Ajaridah terpecah
kembali gegara perbedaan pendapat dalam hal fikih dan akidah. Di antara
sempalannya adalah Shalthiyah, Maimuniyah, Hamziyah, Khalfiyah, Athrafiyah,
Syu’aibiyah dan Hazimiyah.
Di antara sempalan Ajaridah paling besar
adalah Tsa’alibah yang merupakan kaum pengikut Tsa’labah bin Amir. Tsa’alibah
ini kemudian terpecah lagi menjadi beberapa golongan, yakni: Akhnasiyah,
Ma’badiyah, Rasyidiyah, Syaibaniyah, Mukrimiyah, Ma’lumiyah wal Majhuliyah, dan
Bid’iyah.
Selain keempat faksi besar di atas, ada juga
faksi yang tergolong lebih kecil, yaitu Baihasiyah dan Ibadliyah. Kesemuanya
mempunyai pendapat khas dalam fikih dan sebagian akidah yang menyimpang dari
keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah. Ketika mereka berbeda pendapat, maka
langsung saja mereka terpecah belah dan saling berlepas diri, bahkan saling
mengafirkan.
Bersambung. []
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU
Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar