Sayyidina Abu Darda' Mengasihi Ahli Maksiat
Dalam kitab al-Jâmi’ li Syu’ab al-Îmân, Imam
al-Baihaqi (384-458 H) mencantumkan salah satu riwayat yang menceritakan
Sayyidina Abu Darda’ yang mengasihi pelaku maksiat. Berikut riwayatnya:
وعن
أبي قلابة ان أبا الدرداء مرّ على رجل قد أصاب ذنباً فكانوا يسبونه، فقال: ارأيتم لو وجتموه في قليب الم تكونوا تستخرجنه؟ قالوا: بلى،
قال: فلا تسبوا اخاكم وأحمدوا الله عز وجل الذي عافاكم. قالوا: افلا تبغضه؟ قال: إنما ابغض عمله، فإذا تركه فهو أخي
Dari Abu Qilabah bahwa sesungguhnya Abu
Darda’ bertemu dengan seorang laki-laki yang telah berbuat dosa. Orang-orang
ramai mencela laki-laki itu. Abu Darda’ berkata: “Tidakkah kalian lihat, andai
kalian mendapatinya (terjebak) di dalam sumur, tidakkah kalian akan
mengeluarkannya dari sumur?” Mereka menjawab: “Tentu saja.”
Abu Darda’ berkata: “Janganlah kalian mencela
saudara kalian, dan pujilah Allah ‘azza wa jalla yang memberikan kesehatan
kepada kalian.” Mereka berkata: “Bukankah kita (harus) membencinya?” Abu Darda’
berkata: “Yang harus dibenci adalah perbuatannya. Jika ia meninggalkan
perbuatan (buruknya), ia adalah saudaraku.” (Imam al-Baihaqi, al-Jâmi’ li
Syu’ab al-Îmân, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2000, juz 5, h. 290-291)
****
Kita, sebagai manusia, jangan sampai memakai
hak prerogatif Tuhan dalam menilai orang lain, “mâliki yaumid dîn—Tuhan yang
menguasai hari pembalasan.” Karena “lagak” menggunakan hak itu akan berdampak
pada beberapa hal secara tidak disadari. Salah satu yang paling berbahaya
adalah, seakan-akan menutup pintu taubat Tuhan. Padahal, pintu taubat Tuhan
terbuka lebar untuk dimasuki siapa pun.
Dengan melaknat dan menghakimi orang lain,
seakan-akan kita telah mendahului Tuhan dan memastikan predikat buruk orang tersebut.
Kita lupa bahwa ia adalah orang hidup, yang terus berubah dan berkembang. Bisa
saja di suatu hari ia akan meninggalkan semua perilaku buruknya dan memperbaiki
dirinya. Apalagi rahmat Allah tidak bisa diprediksi dengan banyak atau
sedikitnya amal. Indikator masuk-tidaknya orang ke surga pun penuh dengan
misteri. Contohnya seorang pelacur wanita yang diampuni seluruh dosanya
gara-gara satu amalnya yang tulus. Rasulullah bersabda (HR. Imam al-Bukhari):
غُفِرَ
لِامْرَأَةٍ مُومِسَةٍ مَرَّتْ بِكَلْبٍ عَلَى رَأْسِ رَكِيٍّ يَلْهَثُ قَالَ
كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ فَنَزَعَتْ خُفَّهَا فَأَوْثَقَتْهُ بِخِمَارِهَا
فَنَزَعَتْ لَهُ مِنْ الْمَاءِ فَغُفِرَ لَهَا بِذَلِكَ
“Seorang pelacur diampuni (dosa-dosanya). Dia
melewati seekor anjing yang menjulurkan lidahnya di tepi sumur. Anjing itu
hampir mati kehausan, kemudian wanita (pelacur itu) melepaskan sepatunya lalu
mengikatnya dengan penutup kepalanya dan mengambilkan air untuk anjing
tersebut. Maka Allah mengampuni (dosa-dosanya) dengan sebab perbuatannya itu.”
Seorang pelacur yang bergelimang dosa, dengan
satu amalnya terhadap seekor anjing, ia mendapatkan ampunan dari Allah. Ini
menunjukkan ampunan Allah tidak terbatas, dan bisa mengenai siapa saja, seburuk
dan sebaik apapun orang tersebut. Karena tidak ada yang benar-benar pasti dalam
kehidupan. Selama kita hidup, kita selalu bertemu dua kemungkinan; meninggal
dalam keadaan husnul khatimah (akhir yang baik), atau meninggal dalam keadaan
su’ul khatimah (akhir yang buruk). Jadi, sebanyak apapun amal seseorang, ia
harus terus menjaga dirinya, termasuk dari mencela para pelaku dosa, apalagi
jika celaannya didasarkan pada rasa “lebih baik” dari pelaku dosa tersebut.
Karena itu, Sayyidina Abu Darda’ (w. 32 H)
mengajukan pertanyaan menarik. Ia bertanya, “Tidakkah kalian lihat, andai
kalian mendapatinya (terjebak) di dalam sumur, tidakkah kalian akan
mengeluarkannya dari sumur?” Meski terkesan biasa, sebenarnya pertanyaan ini
mengandung makna luar biasa. Dengan bertanya seperti itu, Sayyidina Abu Darda’
masih meyakini kebaikan yang ada di hati orang-orang tersebut, selain juga
menyadarkan orang-orang tersebut bahwa ada kebaikan di hati mereka. Itu
terbukti dengan jawaban mereka, “Tentu saja.”
Setelah sisi kebaikan itu sedikit terbangun,
Sayyidina Abu Darda’ mulai masuk dengan memberi nasihat, “Janganlah kalian
mencela saudara kalian, dan pujilah Allah ‘azza wa jalla yang memberikan
kesehatan kepada kalian.” Kalimat “kesahatan kepada kalian” juga mengandung
daya tarik tersendiri, seakan-akan Sayyidina Abu Darda’ ingin menyadarkan
mereka bahwa tanpa kesehatan “kalian tidak akan bisa mencela” dan “berpikir
untuk menilai orang lain”. Jadi, lebih baik kesehatan itu digunakan untuk
memuji Allah dan mendoakan orang yang melakukan dosa tersebut.
Kemudian mereka bertanya, “Bukankah kita
(harus) membencinya?” Pertanyaan ini menunjukkan kesadaran mereka mulai
terbangun, karena mereka tidak mengatakan, “kita harus membencinya, dia seorang
pendosa.” Di samping itu, pertanyaan tersebut juga menunjukkan bahwa mereka
perlahan-lahan mulai mengakui kesalahannya. Setelah setting siap, Sayyidina Abu
Darda’ masuk ke inti persoalan dengan mengatakan, “Yang harus dibenci adalah
perbuatannya. Jika ia meninggalkan perbuatan (buruknya), ia adalah saudaraku.”
Beginilah seharusnya kita bersikap, memandang semua orang dengan kasih,
sebagaimana yang diajarkan Sayyidina Abu Darda’, sahabat nabi yang mulia.
Sebab, jika kita memandang seseorang hanya
dari keburukannya, perlahan-lahan pikiran kita tidak sehat, secara tidak sadar
kita sedang menumpuk kebencian, yang semakin lama, semakin menggunung. Bisa
jadi ini adalah salah satu penyebab ekstremisme dalam beragama. Salah satu
contoh yang menarik adalah dialog Syekh Mutawalli al-Sya’rawi (1911-1998 M)
dengan seorang ekstrimis muda (syâb mutasyaddid). Syekh al-Sya’rawi bertanya:
“Apa agama membolehkan pengeboman klub malam?” Pemuda itu menjawab: “Tentu
saja. Membunuh mereka itu boleh.” Syekh al-Sya’rawi berkata: “Seandainya kau
membunuh mereka dalam keadaan mereka bermaksiat kepada Allah, di manakah mereka
akan ditempatkan?”
“Tentu saja di neraka,” jawab pemuda itu.
Syekh al-Sya’rawi berkata: “Artinya kau dan setan memiliki tujuan yang sama,
memasukkan orang ke dalam neraka.” Karena secara tidak langsung, dengan
membunuh mereka, ia telah menutup kemungkinan para pelaku maksiat itu menjadi
orang baik. Dan yang paling diuntungkan dalam peristiwa ini adalah setan.
Dengan demikian, kita harus mulai
meningkatkan kesadaran dan menahan diri dalam mencela dan menghakimi. Yang
harus kita benci adalah perbuatannya, bukan orangnya. Dengan cara pandang
seperti ini, kita akan terus berupaya memisahkan keburukan darinya, dengan cara
yang santun dan ma’ruf. Jika perasaan hendak mencela datang, kita harus
bergegas memohon ampun, memberishkan ruang hati, dan berdoa kepada Allah agar
dijauhkan dari merasa “lebih baik” dari orang lain. Tidak mudah, tapi tidak
mustahil untuk dilakukan.
Wallahu a’lam bish shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP.
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar