Senin, 23 September 2019

Azyumardi: Kemunduran Islamisme (3)


Kemunduran Islamisme (3)
Oleh: Azyumardi Azra

Kegaduhan dan kegaduhan yang terus berlanjut secara internal di banyak negara Muslim di Timur Tengah, Asia Barat, dan Afrika Utara juga di Afrika membuat negara bersangkutan gagal dalam pembangunan dan modernisasinya. Keadaan ini membuat mereka rentan dan tidak berdaya menghadapi pengaruh, hegemoni, dan dominasi kekuatan-kekuatan besar dunia sejak dari Amerika Serikat, Uni Soviet (kemudian Rusia sejak 1990-an) juga negara-negara Eropa, seperti Inggris atau Prancis.

Karena itu, banyak negara Muslim sangat bergantung pada kekuatan negara adikuasa, apakah secara keamanan atau ekonomi. Arab Saudi dan negara-negara Teluk Persia atau Teluk Arab bergantung pada militer AS untuk keamanan dan pertahanan; Mesir dependen pada bantuan AS untuk ekonomi dan pertahanan.

Kini rezim Syria yang berhadapan dengan banyak kekuatan perlawanan rakyat bergantung pada Rusia. Kekacauan berkepanjangan menjadi tanah yang subur bagi tumbuhnya kelompok Islamis yang mengusung ideologi Islamisme. Mereka melakukan berbagai aksi kekerasan untuk menumbangkan rezim otokratik yang didukung kekuatan internasional tertentu di negara masing-masing.

Sepanjang sejarahnya, berbagai kelompok Islamis berbeda di negara-negara tertentu di banyak wilayah Dunia Islam gagal mencapai tujuannya; tetapi mereka tetap berkecambah—bangkit kemudian mundur dan menghilang. Meski bangkit dan mundur, mereka tidak pernah lenyap. Sebaliknya, pecahan dan kelompok baru muncul; semula boleh jadi kecil, tapi kemudian dapat membesar ketika ideologi Islamisme yang mereka usung berhasil merekrut pendukung.

Dalam konteks inilah dapat dilihat kemunculan berbagai kelompok sempalan al-Ikhwan al-Muslimin di Mesir dan negara-negara Timur Tengah lain; lalu Taliban di Afganistan; berlanjut dengan al-Qaidah; lalu Boko Haram di Nigeria; al-Syabab di Somalia; dan terakhir ISIS (ISIL atau Da’is) di wilayah Irak dan Syria.

Bangkit serta mundurnya wacana dan praksis Islamisme seperti terlihat dalam kelompok dan gerakan seperti itu, sekali lagi juga terkait sebagai respons terhadap kekuatan internasional yang hegemonik di negara-negara Muslim. Taliban, misalnya, hadir sebagai perlawanan terhadap Uni Soviet.

Selanjutnya, kebangkitan al-Qaidah banyak terkait dengan AS, baik di Afganistan maupun di wilayah lain di Timur Tengah. Al-Qaidah dengan narasi dan retorika anti-Barat, anti-liberalisme, menyerukan ideologi Islamisme. Ini membuat kalangan Muslim tertarik bergabung—memunculkan gelombang radikalisasi di banyak bagian dunia Muslim.

Aksi militeristik AS di Afganistan dan di Irak pasca-9/11 (9 September 2001), hanya meningkatkan proses radikalisasi di kalangan kaum Muslim, baik di negara-negara dunia Muslim sendiri, termasuk di Indonesia—meningkatkan ekstremisme dan kekerasan, bahkan terorisme.

Proses radikalisasi juga terjadi di kalangan Muslim di negara-negara Eropa tertentu, seperti Inggris, Spanyol, atau Prancis. Berbagai individu dan kelompok yang dianggap memegang ideologi Islamisme melakukan aksi kekerasan dan terorisme di London, Madrid, Brussel, dan Paris sepanjang dua dasawarsa abad ke-21.

Peningkatan kebijakan dan sekuriti yang dilakukan negara-negara Eropa membuat berkurangnya aksi kekerasan dan terorisme di Eropa. Merosotnya aksi kekerasan sekaligus mengindikasikan surutnya Islamisme; tetapi masih terlalu dini untuk mengatakan telah berakhirnya ideologi Islamisme di Eropa dan Dunia Barat lain, khususnya AS.

Proses radikalisasi terus berlanjut—jika tidak meningkat—berbarengan dengan momentum kemunculan gelombang demokrasi yang sering disebut sebagai ‘Arab Spring’. Gelombang ini bermula di Tunisia pada Desember 2011 yang kemudian menyebar ke Mesir, Libya, Yaman, Bahrain, dan Syria.

Gelombang demokrasi berhasil menumbangkan rezim otoriter-diktatur di Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman. Tapi gagal di Bahrain dan Syria. Tumbangnya rezim lama memberikan harapan dan peluang bagi kebangkitan Islamisme di Mesir dan Tunisia.

Sedangkan di Libya, Yaman, dan Syria gelombang demokrasi berujung pada konflik bersenjata dan perang saudara berkepanjangan yang mengakibatkan ratusan ribu warga tewas; mendorong gelombang pengungsi ke mana-mana; juga menimbulkan kerusakan dan kehancuran lingkungan hidup.

Sementara itu, partai Islamis al-Nahdah yang sempat menang dalam pemilu memilih berkompromi dan mengakomodasi berbagai kekuatan politik lain. Sedangkan di Mesir, Partai bentukan al-Ikhwan al-Muslimun, Partai Hizb al-Hurriyah wa al-‘Adalah dengan Presiden Muhammad Mursi akhirnya diturunkan kekuatan militer (2013) di bawah pimpinan Jenderal Abdel Fatah El-Sisi yang menjabat presiden sampai sekarang. []

REPUBLIKA, 19 September 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar