Kemunduran Islamisme (3)
Oleh: Azyumardi Azra
Kegaduhan dan kegaduhan yang terus berlanjut secara internal di
banyak negara Muslim di Timur Tengah, Asia Barat, dan Afrika Utara juga di
Afrika membuat negara bersangkutan gagal dalam pembangunan dan modernisasinya.
Keadaan ini membuat mereka rentan dan tidak berdaya menghadapi pengaruh,
hegemoni, dan dominasi kekuatan-kekuatan besar dunia sejak dari Amerika
Serikat, Uni Soviet (kemudian Rusia sejak 1990-an) juga negara-negara Eropa,
seperti Inggris atau Prancis.
Karena itu, banyak negara Muslim sangat bergantung pada kekuatan
negara adikuasa, apakah secara keamanan atau ekonomi. Arab Saudi dan
negara-negara Teluk Persia atau Teluk Arab bergantung pada militer AS untuk
keamanan dan pertahanan; Mesir dependen pada bantuan AS untuk ekonomi dan
pertahanan.
Kini rezim Syria yang berhadapan dengan banyak kekuatan perlawanan
rakyat bergantung pada Rusia. Kekacauan berkepanjangan menjadi tanah yang subur
bagi tumbuhnya kelompok Islamis yang mengusung ideologi Islamisme. Mereka
melakukan berbagai aksi kekerasan untuk menumbangkan rezim otokratik yang didukung
kekuatan internasional tertentu di negara masing-masing.
Sepanjang sejarahnya, berbagai kelompok Islamis berbeda di
negara-negara tertentu di banyak wilayah Dunia Islam gagal mencapai tujuannya;
tetapi mereka tetap berkecambah—bangkit kemudian mundur dan menghilang. Meski
bangkit dan mundur, mereka tidak pernah lenyap. Sebaliknya, pecahan dan
kelompok baru muncul; semula boleh jadi kecil, tapi kemudian dapat membesar
ketika ideologi Islamisme yang mereka usung berhasil merekrut pendukung.
Dalam konteks inilah dapat dilihat kemunculan berbagai kelompok
sempalan al-Ikhwan al-Muslimin di Mesir dan negara-negara Timur Tengah lain;
lalu Taliban di Afganistan; berlanjut dengan al-Qaidah; lalu Boko Haram di
Nigeria; al-Syabab di Somalia; dan terakhir ISIS (ISIL atau Da’is) di wilayah
Irak dan Syria.
Bangkit serta mundurnya wacana dan praksis Islamisme seperti
terlihat dalam kelompok dan gerakan seperti itu, sekali lagi juga terkait
sebagai respons terhadap kekuatan internasional yang hegemonik di negara-negara
Muslim. Taliban, misalnya, hadir sebagai perlawanan terhadap Uni Soviet.
Selanjutnya, kebangkitan al-Qaidah banyak terkait dengan AS, baik
di Afganistan maupun di wilayah lain di Timur Tengah. Al-Qaidah dengan narasi
dan retorika anti-Barat, anti-liberalisme, menyerukan ideologi Islamisme. Ini
membuat kalangan Muslim tertarik bergabung—memunculkan gelombang radikalisasi
di banyak bagian dunia Muslim.
Aksi militeristik AS di Afganistan dan di Irak pasca-9/11 (9
September 2001), hanya meningkatkan proses radikalisasi di kalangan kaum
Muslim, baik di negara-negara dunia Muslim sendiri, termasuk di
Indonesia—meningkatkan ekstremisme dan kekerasan, bahkan terorisme.
Proses radikalisasi juga terjadi di kalangan Muslim di
negara-negara Eropa tertentu, seperti Inggris, Spanyol, atau Prancis. Berbagai
individu dan kelompok yang dianggap memegang ideologi Islamisme melakukan aksi
kekerasan dan terorisme di London, Madrid, Brussel, dan Paris sepanjang dua
dasawarsa abad ke-21.
Peningkatan kebijakan dan sekuriti yang dilakukan negara-negara
Eropa membuat berkurangnya aksi kekerasan dan terorisme di Eropa. Merosotnya
aksi kekerasan sekaligus mengindikasikan surutnya Islamisme; tetapi masih
terlalu dini untuk mengatakan telah berakhirnya ideologi Islamisme di Eropa dan
Dunia Barat lain, khususnya AS.
Proses radikalisasi terus berlanjut—jika tidak
meningkat—berbarengan dengan momentum kemunculan gelombang demokrasi yang
sering disebut sebagai ‘Arab Spring’. Gelombang ini bermula di Tunisia pada
Desember 2011 yang kemudian menyebar ke Mesir, Libya, Yaman, Bahrain, dan
Syria.
Gelombang demokrasi berhasil menumbangkan rezim otoriter-diktatur
di Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman. Tapi gagal di Bahrain dan Syria.
Tumbangnya rezim lama memberikan harapan dan peluang bagi kebangkitan Islamisme
di Mesir dan Tunisia.
Sedangkan di Libya, Yaman, dan Syria gelombang demokrasi berujung
pada konflik bersenjata dan perang saudara berkepanjangan yang mengakibatkan
ratusan ribu warga tewas; mendorong gelombang pengungsi ke mana-mana; juga
menimbulkan kerusakan dan kehancuran lingkungan hidup.
Sementara itu, partai Islamis al-Nahdah yang sempat menang dalam
pemilu memilih berkompromi dan mengakomodasi berbagai kekuatan politik lain.
Sedangkan di Mesir, Partai bentukan al-Ikhwan al-Muslimun, Partai Hizb
al-Hurriyah wa al-‘Adalah dengan Presiden Muhammad Mursi akhirnya diturunkan
kekuatan militer (2013) di bawah pimpinan Jenderal Abdel Fatah El-Sisi yang
menjabat presiden sampai sekarang. []
REPUBLIKA, 19 September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar