PAHLAWAN NASIONAL NU
Perjuangan KH Idham
Chalid Melawan Penjajah dan Kelompok Makar
Tak ada satu pun
orang yang menginginkan tanah airnya terjajah karena hanya memunculkan
penderitaan berkepanjangan. Penderitaan dalam proses perjuangan melawan
penjajah dirasakan betul oleh KH Idham Chalid (1921-2010) karena dirinya
mengalami pedihnya siksa ketika ditangkap oleh Belanda dan dimasukkan ke dalam
penjara.
Guru Idham Chalid,
begitu ia biasa disapa oleh tentara penjaga penjara sekalipun, bahkan mengalami
pembengkokan tulang belakang karena dampak siksaan tersebut setelah usia senja.
Ia mengakui dampak tersebut dalam buku memoarnya Napak Tilas Pengabdian
Idham Chalid: Tanggung Jawa Politik NU dalam Sejarah (2008). Pernah ia berobat
ke Belanda untuk meluruskan tulang belakangnya tersebut, namun tidak berhasil.
Dalam buku memoarnya
tersebut, ia pernah diinterogasi terkait keberadaan Hasan Basri, tokoh pejuang
yang sama-sama dari Banjar. Hasan Basri diketahui oleh Belanda satu almamater
dengan Idham Chalid ketika belajar di Gontor, Ponorogo. Kala itu, Idham
menjawab diplomatis karena nama Hasan Basri ia kenal tidak hanya satu. Tentu
saja bukannya dia sendiri tidak paham Hasan Basri yang dimaksud oleh Belanda.
Hasan Basri sendiri
merupakan Pahlawan Nasional dari Banjar selain Pangeran Antasari dan KH Idham
Chalid sendiri. Bahkan, saat ini wajah KH Idham Chalid menghiasi uang pecahan
5.000 rupiah. Kegigihan Idham Chalid melawan penjajah tidak hanya dilakukan
secara fisik, tetapi juga dipenuhi dengan ikhtiar batin.
Meskipun tubuhnya
lemah dan matanya tidak bisa melihat karena siksaan Belanda di penjara, Kiai
Idham Chalid tidak pernah putus berdoa dan menjalankan sembahyang. Di dalam
pengapnya penjara Belanda, ia pernah melakukan shalat hajat 41 kali atau 82
rakaat ditambah ujungnya shalat witir tiga rakaat, jadi 85 rakaat. Untuk
menghitung rakaat, dia memakai batu kerikil yang ada di dalam penjara.
Selain berjuang
melawan ketidakperikemanusiaan penjajah, Kiai Idham Chalid juga aktif dalam
jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Sebelum menjadi Ketua Umum PBNU selama 28 tahun
(1956-1984), ia aktif di Gerakan Pemuda Ansor (1952). Dua tahun kemudian yaitu
pada 1954, dia dipercaya menjadi Sekretaris Jenderal PBNU.
Melawan Kelompok
Makar
Setiap kiai dan
santri tentu saja bersinggungan dengan penjajah maupun kelompok-kelompok bughot
(pemberontak), baik PKI pimpinan Dipo Nusantara Aidit maupun DI/TII SM
Kartosoewirjo. KH Idham Chalid termasuk ulama yang turut melakukan perlawanan
terhadap kelompak-kelompok makar tersebut. Bahkan, perjuangan menghadapi mereka
menurut Kiai Idham merupakan perjuangan terberat.
Terhadap
gerakan-gerakan subversif ini, para kiai tidak tinggal diam begitu saja. Mereka
tidak mau bangsa dan negara yang telah dibangun atas dasar konsensus
(kesepakatan) kebangsaan menjadi hancur hanya karena kepentingan kelompok
tertentu yang a historis. Aksi gerombolan DI/TII bukannya menguntungkan umat
Islam tetapi malah menimbulkan malah petaka bagi Muslim itu sendiri. Tidak
sedikit umat Islam yang menjadi korban kekejaman DI/TII.
Gerakan DI/TII yang
sudah melampui batas kemanusiaan dan konsensus bersama negara berdasarkan
Pancasila membutuhkan pemikiran, bantuan, dan partisipasi aktif dari para kiai.
Dalam memoarnya (2008), KH Idham Chalid yang saat itu menjabat sebagai Wakil
Perdana Menteri II dan Kepala Badan Keamanan membentuk badan yang diberi nama
Kiai-kiai Pembantu Keamanan (KPK).
Kiai di dalam badan
disebut KPK ini utamanya untuk merespon anggapan DI/TII yang menganggap bahwa
negara ini adalah Republik Indonesia Kafir (RIK). Namun, sejumlah laskar yang
memang lahir dari rahim NU seperti Hizbullah dan Sabilillah turut membantu
mengantisipasi pemberontakan DI/TII maupun yang dilakukan oleh PKI kala itu.
KPK terdiri dari
sejumlah kiai dari beberapa provinsi yang di daerahnya ada gerombolan DI/TII.
KH Idham Chalid menunjuk KH Muslich sebagai Ketua KPK. Umumnya, setiap provinsi
hanya menunjuk satu orang kiai dalam mengkoordinir gerakan KPK. Kecuali
provinsi yang sudah pada kondisi gawat seperti Jawa Barat. Di tanah Priangan
ini, diangkat dua orang kiai.
Anggota KPK di Jawa
Barat adalah KH Dimyati (Ciparai) dan Moh. Marsid. Untuk Jawa Tengah dipimpin
oleh KH Malik, kiai terkemuka asal Demak. Di Jawa Timur ada KH Raden As’ad
Syamsul Arifin Situbondo.
Adapun di Kalimantan
KPK dimotori oleh KH Ahmad Sanusi, Lampung digerakkan oleh KH Zahri, Sumatera
Selatan dipimpin oleh ulama terkemuka di Sumsel dan Rais Syuriyah NU Bengkulu
KH Jusuf Umar, Sumatera Tengah KH Kahar Ma’ruf, Sumatera Utara dan Aceh Tengku
Mohammad Ali Panglima Pulen (pernah menjadi Ketua PWNU Aceh dan Anggota MPRS,
dan di Sulawesi KH Abdullah Joesoef.
Dari badan yang
dibentuk oleh KH Idham Chalis tersebut, semua kiai sepakat bahwa DI/TII adalah
kelompok pemberontak yang mengganggu keamanan bangsa dan negara secara nasional
sehingga perlu dilawan. Apalagi mereka sudah terbukti memakan korban manusia
yang tidak sedikit.
Para kiai di dalam
KPK menyatakan, penilaian dan anggapan DI/TII yang menyebut Indonesia sebagai
Republik Indonesia Kafir (RIK) tidaklah benar. Karena berdasarkan konsensus
bersama, seluruh warga negara bebas menjalankan ibadah sesuai keyakinan
masing-masing. Sebab itu sebagai negara kesatuan, tidak sepatutnya seorang atau
kelompok menginginkan bentuk negara lain yang tidak sesuai dengan kemajemukan
bangsa Indonesia.
Perdebatan dengan DN
Aidit
Pemilu pertama dalam
sejarah Indonesia ini disebut-sebut berjalan demokratis. Namun demikian, PKI
memunculkan kegaduhan dengan menyalahi ketetapatan Menteri Dalam Negeri Mr. R.
Sunaryo perihal lambang partai. Semua partai menyepakati ketetapan Mendagri,
kecuali PKI.
Tanda gambar PKI
berupa palu arit dibubuhi tulisan “PKI dan orang-orang tak berpartai” diprotes
oleh NU namun PKI tetap bertahan. Terjadi silang pendapat di antara NU dan PKI
yang berujung pada Mr. R. Sunaryo untuk memanggil perwakilan dari kedua partai.
Dilakukanlah
musyawarah yang menghadirkan wakil-wakil NU dan PKI disaksikan Mendagri dan
Ketua Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) S. Hadikusumo. Partai NU mengutus Idham
Chalid dan Munir Abisudjak, sedangkan PKI mengirim DN. Aidit dan Sudisman.
Terjadilah perdebatan sengit di antara mereka seperti yang diungkap KH
Saifuddin Zuhri dalam memoarnya Berangkat dari Pesantren (LKiS, 2013)
sebagai berikut:
Mr. R. Sunaryo: Saya
persilakan wakil NU untuk mengemukakan keberatan-keberatannya.
Idham Chalid: Menurut
NU, tanda gambar atau simbol PKI selama ini cuma palu arit, tak ada embel-embel
kalimat, ‘dan orang-orang tak berpartai’.
DN. Aidit: PKI
berpendapat bahwa banyak sekali orang-orang tak berpartai tetapi memercayakan
perjuangan politiknya kepada PKI. Karena hasrat yang mulia itu kami
tampung.
Idham Chalid: Tetapi
tidak semua orang tak berpartai simpati kepada PKI. Dengan menyamaratakan semua
orang tak berpartai seolah-olah simpati PKI jelas bahwa ada niat PKI mencatut
nama rakyat bahkan hendak mengelabui mata rakyat.
DN. Aidit: Saya
protes saudara menuduh PKI mencatut nama rakyat bahkan mengelabui mata rakyat.
Idham Chalid: Protes
saudara saya tolak. Saya sekadar menyatakan kenyataan yang saya rasakan.
Sudisman: Dari mana
saudara merasakan PKI mengelabui mata rakyat?
Idham Chalid: Dari
kenyataan yang ada dalam masyarakat. Di sana banyak orang-orang tak berpartai
yang bersimpati kepada NU, kepada Masyumi, kepada PNI dan sebagainya. Kalau
terhadap mereka yang pandangan hatinya berbeda-beda lalu dituntut seolah-olah
mereka juga ikut PKI semua, apakah ini bukan mencatut nama rakyat dan
mengelabui mereka?
Karena situasi
musyawarah semakin panas, Mendagri Sunaryo mengambil alih dan menyela
perdebatan.
Mr. R. Sunaryo: Saya
harap saudara Aidit mengindahkan keberatan pihak lain!
S. Hadikusumo: Saya
kira PKI tidak boleh mengikuti kehendak sendiri. Semua tanda gambar dalam
pemilu harus diputuskan melalui kebulatan bersama.
DN. Aidit: Kalau
begitu saya usulkan agar NU juga menambah kalimat, ‘NU dan semua orang Islam’
di bawah tanda gambarnya.
Idham Chalid: Tidak
bisa! Bagaimana saya harus melakukan hal-hal yang saya sendiri memprotesnya?
Orang-orang Islam yang tidak berpartai itu hati kecilnya mempunyai simpati kepada
partai tertentu. Ada yang bersimpati pada Masyumi, PSII, Perti, dan ada yang
kepada PNI maupun IPKI dan sebagainya. Saya tidak ingin NU mencatut nama
orang-orang tak berpartai seolah-olah pro NU semua.
DN. Aidit dan
Sudisman akhirnya tidak mempunyai argumen-argumen lain untuk membantah Idham
Chalid. Pada kesempatan ini, akhirnya Mendagri Mr. R. Sunaryo dan Ketua PPI S.
Hadikusumo memutuskan bahwa PKI dilarang menyematkan kalimat ‘orang-orang tak
berpartai’, kecuali tanda gambar palu arit.
Setelah pertarungan
dalam pemilu usai, berikut perolehan suara partai-partai dalam pemilu 1955
tersebut: PNI (57 suara), Masyumi (57 suara), NU (45 suara), PKI (39 suara),
PSII (8 suara), Parkindo (8 suara), Partai Katolik (6 suara), PSI (5 suara),
Perti (4 suara), IPKI (4 suara), Murba (2 suara), Partai Buruh (2 suara), dan
Gerakan Pembela Pancasila (2 suara). []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar