Memilih Bahagia atau Sedih
di Hari Asyura?
Hari Asyura mempunyai sejarah panjang. Di
antaranya adalah momen diselamatkannya Nabi Musa bersama kaum Bani Israil dari
kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. Saat itu Nabi Musa diperintah Allah
memukulkan tongkat yang biasa ia gunakan untuk berjalan dan menggembala kambing
ke laut. Dengan berbekal tawakkal penuh, tiba-tiba terbelahlah lautan
menjadi daratan atas izin Allah subhanahu wa ta’ala. Setelah Nabi Musa lewat,
Fir’aun dan tentaranya pun ikut mengejar, tapi Allah berkehendak menutup jalan
dan kembali menjadikan lautan sebelum Fir’aun melewatinya. Dengan demikian,
Nabi Musa bersama sahabat-sahabatnya selamat, sedangkan musuh-musuhnya celaka.
Atas kebahagiaan tersebut, Nabi Muhammad ﷺ meluapkan
kebahagiannya di antaranya dengan cara berpuasa. Sebagian ulama mengatakan
“Barangsiapa yang berbahagia atas terlematkannya Nabi Musa dari musuh-musuh,
maka dia adalah orang yang benar. Karena para Nabi dan Rasul diberi keselamatan
pada hari tersebut.”
Sebuah hadits merekam cara Nabi mengisi
peringatan keselamatan Nabi Musa dari Fir’aun:
قَدِمَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ فَرَأَى اليَهُودَ
تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: «مَا هَذَا؟»، قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ
صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ،
فَصَامَهُ مُوسَى، قَالَ: «فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ»، فَصَامَهُ،
وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Artinya: “Nabi Muhammad ﷺ datang ke kota
Madinah. Beliau kemudian melihat orang Yahudi puasa pada hari Asyura’. Lalu
Rasul bertanya ‘Ada kegiatan apa ini?’ Para sahabat menjawab ‘Hari ini adalah
hari baik yaitu hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka
kemudian Nabi Musa melakukan puasa atas tersebut.’ Rasul lalu mengatakan ‘Saya
lebih berhak dengan Musa daripada kalian’. Nabi kemudian berpuasa untuk Asyura’
tersebut dan menyuruh pada sahabat menjalankannya” (HR Bukhari: 2004).
Di sisi lain, pada hari Asyura’ atau 10
Muharram ini terdapat kejadian yang memilukan dan menyedihkan yaitu terbunuhnya
Sayyidina Husain radhiyallahu anhu, seorang cucu Nabi Muhammad ﷺ. Kepalanya dipenggal oleh musuh-musuhnya pada hari itu. Siapa
yang tidak sedih mengenang tokoh mulia dihabisi nyawanya dengan cara yang amat
keji? Karena itu, bersedih hati pada hari Asyura’ atas meninggalnya Husain juga
memiliki relevansi dari sisi sejarah, bahkan berhubungan dengan kecintaan pada
Rasulullah ﷺ.
Yang berbahaya adalah ketika ada orang yang berbahagia atas wafatnya Sayyidina
Husain dan bersedih atas terselamatkannya para nabi.
Hanya saja, menurut tarekat Bani Alawi, jika
pada hari yang sama terdapat kebahagiaan dan kesedihan, maka al-farah
yaghlibul huzn (kebahagiaan mengalahkan kesusahan). Hal ini berdasarkan
pada tanggal 12 Rabiul Awwal yang merupakan hari lahir dan sekaligus hari
meninggalnya Baginda Rasulullah ﷺ. Kita semua merayakan tanggal 12 Rabiul Awal tidak karena
merayakan meninggalnya Rasul, tapi merayakan hari lahir Rasulullah.
Oleh karena itu, kita diajarkan Rasulullah ﷺ jika dalam sehari
kita mendapatkan kebahagiaan dan kesusahan maka kita lebih didorong untuk
mengingat kebahagiaan.
Di Tarim ada sebuah tempat yang dikenal
sebagai pekuburan seribu wali. Wali Quthubnya ada 80 orang. Berapa wali yang
meninggal di tanggal dan bulan yang sama? Bila setahun ada 365 hari maka
niscaya hari-hari kita bakal penuh dengan ratapan kesedihan ketimbang tawa
gembira.
Andai seseorang berbahagia pada hari Senin,
ketahuilah Al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Alwi Ba Alawi wafat di hari itu.
Selasa adalah meninggalnya Syekh Abdul Qadir al-Jilani, dan Rabu merupakan hari
wafatnya Imam Dasuqi. Apabila seperti ini, kita akan selalu mengalami
kebingungan, tidak akan pernah merasakan kesenangan. Belum lagi wafatnya para
nabi yang jumlahnya 124 ribu. Tentu akan amat merepotkan.
Orang mulia yang meninggal secara tragis
tidak hanya Sayyidina Husain. Banyak pula nabi yang wafat dalam keadaan
terbunuh. Nabi Zakariya meninggal terbunuh. Bahkan Nabi Yahya meninggal setelah
kepalanya dipenggal menjadi dua.
Sangat wajar bila sejarah meninggalnya
Sayyidina Husain menyisakan bekas kesedihan. Namun di sana terselip kebanggaan
karena beliau meninggal dalam keadaan syahid. Cucu Rasulullah itu menutup masa
hidupnya dalam kondisi membela kebenaran sampai titik darah terakhir. Sejarah
itu memuat pelajaran-pelajaran berharga. Peristiwa-peristiwa buruk penting
untuk diingat, bukan untuk memelihara dendam, melainkan agar tak terulang.
Walhasil, karena berkumpulnya peristiwa sedih
dan bahagia sekaligus pada momen Asyura maka—menurut tarekat Bani
Alawi—seseorang dianjurkan untuk mengutamakan kebahagiaan, tanpa mengurangi
sedikit pun penghormatan pada Sayyidina Husain. []
Disarikan dan dikembangkan dari ceramah Habib
Jamal bin Thoha Baaqil, Senin, 9 September 2019 di Masjid Al-Huda, Embong Arab,
Malang.
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren
Raudhatul Quran an-Nasimiyyah, Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar